Selasa, 31 Desember 2019

AKU DAN BAPAK

1.3 31 Desember 2019

Malam tahun baru, akhir dari bulan Desember, bulan yang baru-bari ini sangat kubenci. Ya, aku masih dendam dengan kesialan yang bertubi-tubi ini. Asal tahu saja, hidupku belakangan benar-benar berat. Sungguh.

Sebelumnya, aku pernah bertanya-tanya, kenapa rasanya hidupku berjalan mulus. Maksudnya, masalah apapun yang aku alami saat itu, selalu bisa kuatasi. Apapun masalahnya dan bagaimanapun caranya, semua terlewati begitu saja. Memang, alasan ingin kuliah dan tinggal jauh dari zona nyamanku dulu adalah ingin dapat masalah dan mengatasinya. Namun, akhir-akhir itu, masalah seakan benar-benar kompleks. Mulai dari jatuh cinta hingga perkara remeh tugas aku sangat sial. Sebuah usaha aku lakukan, dan pada akhirnya semua jadi sampah di pikiran. Lalu, sedikit banyak drama bermunculan. Bangsat! Aku masuk di dalamnya pula. Lalu kemanakah cita? Masa bodoh.

Di tengah-tengah itu, aku masih tulus mengerjakan tanggung jawab di lain hal. Tapi lagi-lagi, sakit hati ini ketika itu tidak dihargai. Aku hanya bisa tertawa di tengah lelucon bodohku. Tak tahu saja, getir hati ini mengingat saat itu. Semuanya, seperti ada dan tiada. Kekecewaan tak pernah benar kusebutkan. Tapi, aku kasihan hatiku. Karena dia terus menerus sok kuat, akhirnya sakit juga. Ya, menular ke otak dan jadilah bodoh.

Haha, lucu sekali. Jika tahun ini kembali kuingat,—lewat ingatan pendekku yang tidak begitu detail—setahun ini mungkin adalah gambar hidup bapak. Awal tahun, dengan takut-takut dan berbagai rasa baru yang ada, aku menghadapi tanggung jawab baru. Anggap itu sebuah hubungan. Aku sangat cinta. Aku melakukan segala hal untuknya. Aku, tak kenal egois untuk itu. Ya, meski dari sudut pandangku sendiri. Tapi tetap saja, sebuah hubungan pasti ada masalah. Terlepas siapa yang salah. Sambil meraba-raba aku tetap berjalan.

Setelah melewati pemanasan yang cukup panas, di pertengahan tahun, aku mulai jatuh lagi. Sulit kuakui, tapi menurut analisis orang-orang pada umumnya, itu namanya cinta. Biar sudah, aku ingin fokus pada cintaku yang sebelumnya. Baru saja aku mampu berdiri, keadaan menyuruhku lari. Semua terasa semakin berat.

Dan kuliah? Aman. Meski aku kesal karena ketidakadilan yang kualami selama proses belajar mengajar terhadap nilai yang muncul, tapi itu sudah cukup. Aku tak mau menambah pikiran. Ternyata, kaki yang sibuk berlari itu, tidak juga lelah. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan—dengan berbagai konsekuensi dan sakit hati.

Sibuk. Satu kata itu yang bisa menggambarkan situasinya. Aku lupa ada aspek keluarga di dunia ini. Hal yang sangat-sangat aku sesali. Pada akhirnya, memang penyesalan selalu berada di akhir. Kenyataan bahwa bapak telah pergi, adalah pukulan telak bagiku—bagi seluruh keluargaku, tentunya. Kuliahku berantakan. Harapanku hilang.

Pikirku saat itu, di hari akhirnya pun, bapak menyebalkan. Kenapa bapak tidak memberi firasat? Apa aku saja yang tidak menangkapnya? Foto terakhir yang sering di post para kakak itu, kenapa aku tidak merasa? Kenapa aku tidak berpikir dan masih saja memikirkan hal-hal tidak penting? Sial sial sial. Sial sekali. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan berada di sebelahnya saat banyak selang rumah sakit berada di tubuh bapak. Kebaikan hati bapak yang melarang aku untuk tahu, adalah hal tersakit. Keputusan bapak selalu berlawanan denganku. Kami tidak pernah sepakat.

Bapak selalu melarang jika aku berkata akan potong rambut, beliau tidak tahu saja rambutku sudah kupotong pendek. Tentang aku yang belajar menjadi perempuan karena peran, bapak pasti senang. Beliau tidak tahu itu. Aku belum bercerita juga jika aku yang gendut menjadi lebih kurus. Berita baik untukku, tapi entah untuk bapak.

Aku belum siap, benar benar belum siap. Kalo saja aku anak laki-laki, pasti aku tidak sesedih ini. Kodrat seorang anak perempuan ya begini, akan selalu butuh bapak. Aku iri pada kakak-kakak, bapak menyaksikan mereka tumbuh sampai usia mereka sekarang. Sedangkan aku? Aku baru 21 tahun. Benar, itu usia cukup untuk disebut dewasa tapi tetap saja aku iri. Sangat iri. Bapak sempat menimang dan menyayangi anak-anak mereka, sedangkan aku? Aku dulu masih sempat melihat wajah kakek, ayah bapak, sedangkan anakku kelak? Aku jauh dari tipikal orang yang ingin cepat-cepat berumah tangga memang. Aku ingin bermain, mencari pengalaman dan berpergian. Tapi, jika jadinya seperti ini maka aku menagih segala perspektif masyarakat yang harusnya aku alami juga. Aku masih ingin dimarahi bapak yang sangat cerewet dan baik hati.

Tiba-tiba saja aku teringat, aku tidak pernah tahu wajah ayah dari ibu, kakek. Hahaha, anakku kelak mungkin akan menjadi seperti itu. Hanya kisah-kisah masa lalu, kebaikan hati bapak dan segala leluconnya mungkin akan menemani lewat bayangan. Semoga saja, kisah yang terulang-ulang itu tidak benar-benar sama. Ibu, orang yang lebih patah hatinya daripada aku, harus hidup lebih lama dari nenek. Ibu, orang yang benar-benar kehilangan, harus lebih kuat terlepas dengan segala hal di hidupnya yang mau tidak mau berubah atas meninggalnya bapak. Ibu, orang tua satu-satunya yang kumiliki saat ini, harus bahagia.

Prihal hidup bapak yang hampir sama dengan setahunku ini, itu karena sepertinya hidup bapak tidak pernah mudah. Saat kugali rekam jejaknya, itu sungguh berat. Tapi dengan tawanya, kelucuannya, keikhlasan dan kebaikan hatinya, semua terlewati. Segala sakit hati yang kualami, mungkin bentuk hukuman dari Tuhan karena aku sering menyakiti hati bapak. Bapak, segala janji-janjiku belum satu pun terlaksana. Rencana masa depan kami, pupus. Tidak ada lagi asa. Tidak ada motivasi. Ibu cukup kuat untuk sejenak aku lupakan. Kecerdasan ibu menutup segala kesedihan sehingga aku takabur. Aku masih punya seseorang. Tidak utuh. Hatiku juga. Tapi, kata ibu, bapak pasti tidak mau aku kalah begitu.

Akhirnya aku bisa melihat wajah tenang bapak bersama para kakak dan juga adik-kakak beliau sebelum pemakaman dilanjutkan. Bapak bukan orang yang begitu hebat, tapi tanpa bapak rasa percaya diriku hilang. Sekarang, aku harus tersenyum di akhir tahun ini. 

Selasa, 24 Desember 2019

AKU DAN BAPAK


1.2 Jember 25 Desember
Berkali-kali aku membayangkan, bagaimana jika aku mati sebelum pementasan? Apakah teman-teman akan sedih? Apa pementasan itu akan gagal? Sepertinya tidak. Atau, bagaimana jika ada sanak keluarga yang meninggal? Apa tetap tidak ada pilihan untuk pulang? 

Saat itu, aku benar-benar ingin menghilang. Pergi dari duniaku yang sudah carut marut. Membayar semua kekesalan dengan stok cerita berbulan-bulan kepada orang-orang rumah. Suatu siang yang lelah, ketika dosen tak kunjung masuk, aku mengirim pesan teks kepada ibu. “Gak kangen aku to, Buk?” sebelumnya, aku tak pernah mengirim pesan semacam itu. Balasannya bukan kata “rindu”, tapi sebuah narasi singkat yang kurang lebih menyatakan, “Ya mau gimana lagi?” ibu tentu rindu. Setelahnya aku sering mengirim foto diri. Tidak seperti biasanya, aku benar-benar sering berfoto. Aku ingin menghilang.

Aku memikirkan skenario untuk lenyap selain mati. Tapi rasanya, apa yang kulakukan dan terlintas dipikiran ya mati. Entah tertabrak saat menyebrang, keracunan makanan bahkan kelaparan atau kekenyangan menjadi alibi bodoh untuk mati. Lalu, kebingungan lain muncul. Bagaimana orang-orang akan mengurus kematianku nanti? Apa aku akan dibiarkan saja? Apa mereka akan menggunjing? Apa mereka akan mengobrak-abrik kamarku yang sudah berantakan? Apa mereka akan menghubungi keluargaku? Ah, orang tua. Seketika, aku tak ingin mati. 

Aku ingin bertemu mereka dan mengatakan semua kenakalanku, apa-apa yang selama ini terjadi di hidupku. Tentang betapa sulitnya bertahan di tengah-tengah kesakitan yang datang dari berbagai arah. Aku ingin bercerita banyak, sangat banyak. Hal yang benar-benar terbersit di benak adalah, aku ingin memeluk bapak. Bapak saja. Entah, mungkin kisah salah seorang dosen yang ditinggal mati bapak ketika semester lima serta oedius complex-nya membuat aku kepikiran bapak. Tidak terlalu, hanya saja rasanya ingin memeluk beliau. Tidak juga terbersit dipikiran jika aku mungkin saja mengalami hal itu, tidak. Cuma ingin bertemu, menebus rindu. Aku pulang, atau bapak ke mari, keduanya sangat aku inginkan. 

Suatu malam, ada panggilan masuk. Bapak. Aku bilang aku di luar. Bapak bertanya sebelah mana. Aku menjawab. Beliau bertanya lagi posisi pastinya. Aku menjelaskan. Lalu saat aku tanya apakah beliau di sini, bapak menjawab iya. Senang bukan kepalang. Apalagi mendengar ada suara ibu di sebelah, membuat aku semakin semangat bertanya posisi mereka. Saat ponsel beralih ke ibu, bapak tertawa terbahak-bahak. Seketika aku sadar, bapak bohong. Ya, lelucon biasa yang tidak lucu. Betapa aku sangat rindu mereka. 

Sebenarnya aku lupa kapan pastinya obrolan terakhirku dengan bapak. Entah, saat beliau bertanya apa saldo pulsaku sudah masuk, atau  saat membikin lelucon itu, atau juga saat bertanya kenapa aku tidak pernah menghubunginya, yang jelas panggilan terakhirnya selalu kutolak. Beberapa kali dan itu sebulan yang lalu. Lucu sekali.

Pikiranku selalu menjawab, “Sebentar lagi pulang, sebentar lagi pulang, tahan tahan tahan.”
Banyak sekali yang ingin kupamerkan. Tentang perjalanan ke Semarang serta kota Surabaya yang penuh kenangan; tempat bertemu bapak dan ibu dulu. Juga aku ingin memamerkan beberapa hal lain yang sudah kucapai. Pun banyak hal lain yang ingin kutanyakan. Semua itu, tak mampu ditembus dan ditebus oleh waktu. 

Terakhir kali aku pulang ke rumah, tidak banyak waktu yang ada untuk bisa menatap wajah bapak. Untung sekali aku terjaga saat bapak pulang dari luar kota. Tidak banyak mengobrol hanya saling... ah aku bahkan lupa apa yang terjadi waktu itu, yang jelas besok paginya aku balik ke sini lagi. Sangat singkat.

Pertemuan terakhir itu sangat sangat singkat. Setelahnya penuh dengan sesal---

Kamis, 12 Desember 2019

AKU DAN BAPAK


Here we go.

SEBUAH PENYESALAN
1.1 Kamis, 12 Desember 2019
Tujuh hari setelah bapak berpulang. Aku pikir, kematian harusnya tidaklah mengejutkan toh setiap manusia akan mati. Tapi sampai sekarang, aku masih saja berpikir jika ini mimpi. Lucu sekali. Sudah satu minggu dan aku masih belum bangun. Bahkan, jika pun ini memang benar-benar mimpi, itu pasti adalah mimpi yang paling menyakitkan.
 
Sungguh. Akhir bulan kemarin aku ingin sekali menulis blog ini. Banyak hal terjadi. Pundak dan hatiku hampir-hampir tak kuat atas bebannya. Satu dua kata tertulis di warung kopi. Kemudian berhenti. Waktuku tak pernah cukup. Waktuku tak pernah ada untuk diriku sendiri, menulis. Ah, juga keluarga. 

Ingat sekali, masih di tempat yang sama, saat aku mengeluh tentang keluarga, seorang teman berkata, “Ya, itu juga tanggung jawabmu.” Ya, selayaknya organisasi atau tetek mbengek mata kuliah terkutuk itu harusnya pilihanku jatuh pada keluarga. 

“Kalo aku sih milih egois.” Kata temanku yang lain sore tadi.

“Maksudnya?” aku bingung.

“Aku lebih milih egois dan pulang.” Ah, begitu rupanya. Ya, dan aku menyesal tidak menggunakan egoku untuk berbuat demikian. Aku menyesal memilih tanggung  jawab yang benar-benar menjungkirbalikkan hidupku ini, yang benar-benar membuat dadaku sangat sesak bahkan untuk sekedar berbicara dan tertawa. 

Aku bertingkah sangat sibuk. Entah latihan, entah syuting, entah rapat, entah nugas atau sekedar diskusi di warung kopi, aku bilang aku sibuk. Saat senggang dan berniat menghubungi keluarga, ada saja kendala. Tidak diangkat, tidak ada sinyal, sudah tidur dan masih tidur, atau kesibukanku yang ‘tidak dianggap’ lainnya, dapur beban. 

Suatu pagi, panggilan masuk dari nomor yang tidak kusimpan. Bapak. Setelah bertanya sudah bangun atau belum, sudah makan atau belum, mau apa hari ini dan hal-hal template seperti biasanya, bapak menambahkan, “Sampean kok nggak tau ngehubungi Bapak to, Nduk?” 

Deg. Iya. Aku menjawab jika aku mengirim pesan ke ibu.

“Yo iku kan Ibumu, Bapak yo nggak eroh to.”

Sudah.

Setelahnya masih biasa saja. Aku tidak berniat pulang. Jadwal yang padat dan mulut-mulut gatal tak memungkinkan untuk aku bersekongkol dengan waktu merencanakan pelampiasan rindu. Ah, memalukan disebut rindu. Mungkin itu hanya sebuah rasa saja. Entah apa namanya, aku ingin pulang. Tidak untuk alasan rebahan, menulis, bermain piano atau sekedar ketemu orang tertentu, tidak. Hanya ingin. Tidak yang benar-benar ingin, hanya saja, ada rasa yang kuat.

Hari-hari itu, aku menonton beberapa drama Korea. Tidak sampai benar-benar mengikuti, hanya sekedar untuk teman makan atau membunuh waktu di kampus yang kadang mempermainkanku. Seperti biasanya, sedikit banyak cerita kehidupan boleh jadi pandangan dunia baru. Saat itu juga imanku sedang goyah-goyahnya. Lagi-lagi dalil kesibukan jadi alasan. Juga jadwal haid yang maju mundur membikin semakin stres saja. Lagi-lagi, aku meninggalkan jalanku. Bukan kali pertama, tapi saat dunia masih berjalan dengan manusia-manusia ‘beragama’, kenapa aku tidak demikian? Selanjutnya, rasa bersalah yang dulu sering kurasakan tidak lagi mengikuti. Sebagai gantinya, seakan ada gumpalan hitam tersimpan di hati, keras dan tajam. Aku berhasil lalai.

Hei, aku tidak sepenuhnya berbalik arah, apalagi murtad, TIDAK! Aku masih sadar sesadarsadarnya. Aku memilih karena tahu konsekuensi. Aku bertanya, berdiskusi dan bercerita pada beberapa teman dari latar belakang yang jauh berbeda. Tak ada ketetapan hati. Bahkan, saat aku tanya ke kakak, aku tidak mendapatkan pegangan. Sekeras itukah hatiku?

Masalah tidak hanya datang dari diriku. Lingkar kehidupan kampus yang tidak sehat serta drama bangsat yang terus menerus semakin rumit tiap harinya membuat aku sakit kepala. Bagaimana tidak, masalah seorang teman yang tidak sengaja kudengar saja bisa bikin aku tidak bisa tidur semalaman, apalagi hal yang mau tidak mau aku terlibat di dalamnya. Aku benci pikiranku!

Singkat cerita, drama itu hampir mencapai klimaks. Tinggal hitungan jari kupikir semua akan selesai. Aku akan bebas dari jerat tanggung jawab dan ikatan-ikatan palsu itu. Dalam hati, kutenangkan batin yang semakin berteriak. Sebentar lagi pulang, tahan-tahan. Aku mulai berbenah. Berdamai dengan logika dan mencoba menjadi aku yang aku. Tak benar-benar terjawab, tapi paling tidak aku menahan sedikit emosi dan apa-apa yang ingin aku keluarkan—bahkan sampai saat ini.

Dan taraaa, aku pulang---