Here we go.
SEBUAH PENYESALAN
1.1 Kamis, 12
Desember 2019
Tujuh hari setelah bapak berpulang. Aku pikir, kematian harusnya
tidaklah mengejutkan toh setiap manusia akan mati. Tapi sampai sekarang, aku masih
saja berpikir jika ini mimpi. Lucu sekali. Sudah satu minggu dan aku masih
belum bangun. Bahkan, jika pun ini memang benar-benar mimpi, itu pasti adalah
mimpi yang paling menyakitkan.
Sungguh. Akhir
bulan kemarin aku ingin sekali menulis blog ini. Banyak hal terjadi. Pundak dan
hatiku hampir-hampir tak kuat atas bebannya. Satu dua kata tertulis di warung
kopi. Kemudian berhenti. Waktuku tak pernah cukup. Waktuku tak pernah ada untuk
diriku sendiri, menulis. Ah, juga keluarga.
Ingat sekali,
masih di tempat yang sama, saat aku mengeluh tentang keluarga, seorang teman
berkata, “Ya, itu juga tanggung jawabmu.” Ya, selayaknya organisasi atau tetek
mbengek mata kuliah terkutuk itu harusnya pilihanku jatuh pada keluarga.
“Kalo aku sih
milih egois.” Kata temanku yang lain sore tadi.
“Maksudnya?” aku
bingung.
“Aku lebih milih
egois dan pulang.” Ah, begitu rupanya. Ya, dan aku menyesal tidak menggunakan
egoku untuk berbuat demikian. Aku menyesal memilih tanggung jawab yang benar-benar menjungkirbalikkan
hidupku ini, yang benar-benar membuat dadaku sangat sesak bahkan untuk sekedar
berbicara dan tertawa.
Aku bertingkah
sangat sibuk. Entah latihan, entah syuting, entah rapat, entah nugas atau sekedar
diskusi di warung kopi, aku bilang aku sibuk. Saat senggang dan berniat
menghubungi keluarga, ada saja kendala. Tidak diangkat, tidak ada sinyal, sudah
tidur dan masih tidur, atau kesibukanku yang ‘tidak dianggap’ lainnya, dapur
beban.
Suatu pagi,
panggilan masuk dari nomor yang tidak kusimpan. Bapak. Setelah bertanya sudah
bangun atau belum, sudah makan atau belum, mau apa hari ini dan hal-hal template
seperti biasanya, bapak menambahkan, “Sampean kok nggak tau ngehubungi Bapak to,
Nduk?”
Deg. Iya. Aku
menjawab jika aku mengirim pesan ke ibu.
“Yo iku kan
Ibumu, Bapak yo nggak eroh to.”
Sudah.
Setelahnya masih
biasa saja. Aku tidak berniat pulang. Jadwal yang padat dan mulut-mulut gatal
tak memungkinkan untuk aku bersekongkol dengan waktu merencanakan pelampiasan
rindu. Ah, memalukan disebut rindu. Mungkin itu hanya sebuah rasa saja. Entah
apa namanya, aku ingin pulang. Tidak untuk alasan rebahan, menulis, bermain piano
atau sekedar ketemu orang tertentu, tidak. Hanya ingin. Tidak yang benar-benar
ingin, hanya saja, ada rasa yang kuat.
Hari-hari itu,
aku menonton beberapa drama Korea. Tidak sampai benar-benar mengikuti, hanya
sekedar untuk teman makan atau membunuh waktu di kampus yang kadang
mempermainkanku. Seperti biasanya, sedikit banyak cerita kehidupan boleh jadi
pandangan dunia baru. Saat itu juga imanku sedang goyah-goyahnya. Lagi-lagi
dalil kesibukan jadi alasan. Juga jadwal haid yang maju mundur membikin semakin
stres saja. Lagi-lagi, aku meninggalkan jalanku. Bukan kali pertama, tapi saat
dunia masih berjalan dengan manusia-manusia ‘beragama’, kenapa aku tidak
demikian? Selanjutnya, rasa bersalah yang dulu sering kurasakan tidak lagi
mengikuti. Sebagai gantinya, seakan ada gumpalan hitam tersimpan di hati, keras
dan tajam. Aku berhasil lalai.
Hei, aku tidak
sepenuhnya berbalik arah, apalagi murtad, TIDAK! Aku masih sadar sesadarsadarnya. Aku memilih
karena tahu konsekuensi. Aku bertanya, berdiskusi dan bercerita pada beberapa
teman dari latar belakang yang jauh berbeda. Tak ada ketetapan hati. Bahkan,
saat aku tanya ke kakak, aku tidak mendapatkan pegangan. Sekeras itukah hatiku?
Masalah tidak
hanya datang dari diriku. Lingkar kehidupan kampus yang tidak sehat serta drama
bangsat yang terus menerus semakin rumit tiap harinya membuat aku sakit kepala.
Bagaimana tidak, masalah seorang teman yang tidak sengaja kudengar saja bisa
bikin aku tidak bisa tidur semalaman, apalagi hal yang mau tidak mau aku
terlibat di dalamnya. Aku benci pikiranku!
Singkat cerita,
drama itu hampir mencapai klimaks. Tinggal hitungan jari kupikir semua akan
selesai. Aku akan bebas dari jerat tanggung jawab dan ikatan-ikatan palsu itu.
Dalam hati, kutenangkan batin yang semakin berteriak. Sebentar lagi pulang, tahan-tahan.
Aku mulai berbenah. Berdamai dengan logika dan mencoba menjadi aku yang aku.
Tak benar-benar terjawab, tapi paling tidak aku menahan sedikit emosi dan apa-apa
yang ingin aku keluarkan—bahkan sampai saat ini.
Dan taraaa, aku pulang---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar