Telah kukaji berkali-kali tulisan itu. Satu, dua, tiga dan seterusnya, semua bisa dikaca. Asa yang ditiup, berteman sepi dan rindu. Tapi, bagaimana jika tak ada yang dikenang? Atau, kenangannya terlalu buruk dan sakit?
Ditarik aku ke sebuah mimpi. Di sana aku berteman dengan sepi lagi. Dia datang. Dia datang. Dia datang. Aku teriak dalam sepi yang menjadi sepi. Rona bahagia kupancarkan pada diri sendiri. Tak ada yang tahu, tak ada yang mau tahu. Sampai sebuah sudut menjadikannya terlihat berbeda. Pandanganku sepertinya tak pernah sama dengan manusia lain.
Aku tak bisa bangun. Titik itu menyadarkanku tentang satu hal. Ini bukan mimpi. Jika itu sakit maka sakitlah hati. Jika itu suka, maka berlarilah duka. Ceriaku kuharap jadi ceriamu. Dan sakitmu, bagilah padaku. Kuterima itu dengan senyum, dengan tawa, dengan aliran dari mata.
Tak ada yg bisa bersaksi. Toh, orang terdekatku tak pernah tahu rasanya jadi aku. Pun, orang terdekatmu yg tak pernah jadi kamu. Ya, kita dekat. Kita sering sok kuat. Maka, biarlah sebuah perjalanan jadi cerita. Tentang kebodohan yg selalu diulang, tentang kata yg tak bisa dikata. Tentang hidup dan kehidupan.
Kukatakan di sini sajakah? Baiklah. Aku tak bisa menghentikan batuk, seperti halnya tak bisa menghentikan laju kereta ini.
Sebuah asa dan rasa bercampur aduk dalam pikiran. Setan iblis yang selalu menghantui hari haruku, kisah masa lalu dan ploting masa depan, kukira, kekhawatiran itu memang sebuah bom. Aku mencoba pelit air mata. Tapi, kenapa jadinya malah cuma-cuma? Duh, aku takut mati tiba-tiba.
Sebuah satu untukmu. Dua, tiga dan seterusnya, nanti kan kutulis juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar