May Day, My Day.
Halo, selamat malam. Ah, iya, aku nulisnya malam. Hm, mulai dari mana ya?
Baiklah, jadi ini hari pertama tantangan 31 hari menulis blog. Kebetulan, banyak
unek-unek yang rencananya pengen aku bongkar di sini. Salah satunya ya
melanjutkan hutang-hutang cerita sebelumnya. Tentang cinta, hehe. Tapi, enggak
deh untuk tantangan pertama, masa iya mau umbar aib lagi. Baik, sudah dulu basa
basinya, mari ke kisah sesungguhnya.
Terakhir kali nulis di Aku dan Kisahku part 3 tentang cinta, aku menyinggung
tentang Malapetaka kan? Teman kerja di pabrik yang banyak menyita perhatianku.
Baik, sebelum lanjut membayar kisah cinta part 4, mari berkisah tentang pabrik,
roti, dan impian.
Sebenarnya aku sedikit penasaran, kenapa challenge yang diadakan
Bang Wiro ini dimulai tanggal 1 Mei. Aku tidak cukup waktu untuk menemukan
jawabannya lewat stalking (mungkin setelah ini bakal tahu). Berkat seorang
teman yang me-mention diriku di Twitter, aku bertemu Bang Wiro. Ah, anak
bawang sepertiku agaknya perlu banyak belajar dan mengenal lebih lagi perihal
literasi. Nah, momen pembuka tantangan ini tepat dengan rencanaku meneruskan
babak baru dari kisah sebelumnya selain cinta, buruh pabrik.
Mengacu pada pandangan duniaku, drama Korea, Bread, Love and Dream boleh
jadi judul yang tepat untuk kisah kali ini. Tidak ada part tentang
perselingkuhan atau saling tundung kekuasaan, hanya tentang mimpi, dan cinta
yang berkembang di pabrik roti. Oleh seorang buruh yang mengejar mimpi. Mari,
berjelajah waktu ke kisah masa lalu.
Agustus 2016, entah kapan tepatnya, aku dan seorang teman yang baru kukenal
beberapa hari, pergi bersama ke Bali. Mengendarai motor metiknya, kami
bergantian menyetir dari Banyuwangi selatan menuju Denpasar, dan berakhir di
Tanah Lot. Awal kisah, aku yang gagal masuk PTN, dikira frustrasi. Bapak dan
ibu mengira demikian setelah aku batal ikut seorang teman untuk bekerja di rumah
makan di Bali. Singkat cerita, aku batal
bekerja di Polo mengikuti jejak kakak sepupu sebagai guide turis Korea--just
like my dream. Masalahnya sepele, aku takut dengan kisah mistis di sana. Bagian
itu, aku ingin bercerita di hari berikutnya.
Akhirnya aku pulang. Kangen notebook nggak ketulungan. Selanjutnya, aku
hanya mengisi hari-hari dengan menghadap notebook, menulis dan menonton, kadang
bikin video dari kameranya. Lama-lama jadi mikir, kenapa aku enggak kerja?
Lalu, para tetangga yang usil sibuk ngasih lowongan kerja. Ya, ini, ya itu.
Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja waktu itu sudah daftar dan wawancara di
sebuah pabrik roti yang lumayan besar di daerahku. Produknya sudah terkenal.
Aku sempat takjub kala menyadari jika roti-roti yang aku lihat di warung-warung
atau swalayan, diproduksi di sana. Tapi, lagi-lagi aku ingat judul drama tadi.
Aku ke sini kerja buat mengisi waktu luang, mencari pengalaman untuk bahan
tulisan. Menunggu SBMPTN tahun depan, sambil mengumpulkan rupiah.
Sadar, aku bukan orang berada dengan mimpi yang muluk. Bahkan ponsel pintar
yang kala itu adalah pesawat sederhana yang benar-benar sederhana untuk
sebagian orang, adalah hal mewah bagiku. Mimpiku kala itu, mengumpulkan uang
untuk membeli ponsel, membayar UKT awal dengan perkiraan UKT terendah, serta
sisanya untuk membayar kos, transport dan kebutuhan lain. Mendiang bapak tidak
pernah melarang atau menyuruh kuliah. Beliau hanya tidak bisa menjanjikan yang
satu itu. Tapi dengan segala tekad dan keinginan, aku malah yang berjanji pada
beliau untuk bisa mengurus diri, juga tetek mbengek perduitan. Untuk itu, aku
bekerja.
Hari pertama bekerja adalah hari terberat. Sungguh, benar-benar berat. Aku
yang cuma punya mimpi, tahu apa tentang banting tulang? Pekerjaan pertamaku
pitil. Ya, istilah disana pitil. PitIl, begitu fonetisnya. Sepanjang hari,
rasanya ingin berbicara kotor—kala itu aku tidak pandai mengumpat. Padahal, saat
itu belum juga setengah hari terlewat. Tapi, jari-jari sudah keram memitil
roti-roti coklat dari loyang ke mesin korin (mesin untuk membungkus roti). Punggung
juga serasa mau copot. Serius, dari yang tegak ke agak bungkuk ketika melempar,
dan begitu seterusnya. Belum lagi Mbok (panggilan untuk atasan, semacam mandor)
yang cerewet. Tidak tahu apa, aku masih belum pakai seragam? Masih magang!
Masih butuh waktu! Tapi, sudah kena marah terus. Yang ada di pikiranku saat
itu, “Sudah, cuma sehari aja. Besok enggak mau lagi. Pokoknya harus berhenti!
Peduli amat dengan gaji!”
Dari tempatku berdiri, aku memandang salah seorang tetangga yang telah
beberapa bulan bekerja di tempat itu. Tanpa senyum di balik maskernya, tanpa
sapa di sudut matanya, dan tak ramah raut mukanya, terlihat antusias membungkus
roti satu per satu di mesin klep. Setelahnya baru aku tahu dia kerja borongan.
Setengah hari terlewat. Saat istirahat makan siang, tangan kaku, bgsd!
Bahkan, untuk menyendok nasi sakit sekali. Lalu, ibu-ibu yang tadi bekerja
denganku menjalankan mesin korin, berkata jika aku bukan satu-satunya yang
demikian. Setiap harinya, pabrik membawa orang-orang baru, anak magang. Paking tidak tiga orang. Ketika kutanya dimana keberadaan mereka sekarang,
ibu itu menjawab jika kebanyakan dari mereka tidak sampai sehari sudah mundur.
Ah, begitu rupanya. Ibu itu bercerita dengan sedikit mengejek, seakan berkata, “Anak
muda bisa apa?”
Setelah perbincangan itu, aku malah sayang sama beliau. Ya, kata-katanya
memang sedikit menusuk, tapi serius, itu pecutan bagiku. Hari itu selesai.
Bertroli-troli loyang berisi roti telah kupitil. Meski mesin sering berhenti
dan bahkan sampai Mbok turun tangan membantuku pitil untuk mengejar target,
hari itu benar-benar selesai.
Tentu saja saat sampai rumah aku bercerita panjang lebar. Mengeluh dan
menceritakan setiap detail kejadian di pabrik, serta seluruh rasa takjubku. Ibu
hanya bilang, “Orang bekerja ya gitu, capek.” Aku masih terus mengeluh. Berkata
tak mau lagi bekerja. Mending nulis, titik. Padahal kalo aku baca lagi
tulisanku dulu, aww malu bgt~
Besok paginya, subuh, ibu membangunkanku. Ibu menyiapkan air hangat dan
sarapan. Bapak ngeler nasi untuk bekal. Duh, tiba-tiba semendal
rasanya. Aku bangun dengan kesakitan. Seluruh badan rasanya pegal. Sakit.
Njarem. Aku urung. Tapi, mengingat hari itu hari Kamis, dan kudengar bayaran
setiap minggunya diberi pada hari Sabtu, aku berniat kerja tiga hari saja.
Setelah hari Jumat, berhenti, pikirku.
Setengan enam pagi, aku berangkat. Dengan helm dan jaket tebal aku menuju
pabrik yang jaraknya dua kali lebih jauh dari SMA-ku, tiga kali lebih jauh dari
SMP-ku, dan enam kali lebih jauh dari SD-ku. Tidak ada cerita tidak kedinginan
kala itu. Sampai di sana, aroma roti menyambut. Seriously, that’s what I like.
Ya, meski sebenarnya aku tidak begitu suka roti. Waktu itu, kali pertama masuk
pagi (hari pertama masuk jam delapan). Aku bekerja serabutan. Disuruh ini,
suruh itu tapi endingnya tetep pitil.
Agak siang sekitar jam delapan, beberapa
orang tanpa seragam memasuki pabrik. Menggunakan masker, penutup rambut, serta
celemek, mereka digiring ke bagian depan pabrik (pintu masuk pabrik di
belakang). Lalu, Bu Warda, ibu-ibu yang pitil bersamaku menyahut, “Itu pasti
ditaruh di bagian forming.”
Aku menyahut, menanyakan apa maksdunya dengan krama bahasa jawa. Beliau
menjelaskan jika itu bagian membuat adonan roti. Di sana jam kerjanya lebih
lama dan seringnya tidak sesuai sif kerja pada umumnya, bergantung pada adonan roti.
Ah, begitu rupanya. Aku jadi ingat Nanda, remaja sebaya yang berkenalan
denganku saat wawancara dan mendapat panggilan bersama. Seingatku, dia dibawa
ke arah sana, forming itu. Ah, jika di bagian packing saja sudah semelelahkan
ini, lantas bagaimana di sana?
Aku menengok ke depan, setelah dua mesin korin di depanku, ada Mbak Nana,
dan Mbak Asri. Mereka sama-sama masuk kemarin bersamaku. Mereka berdua
seumuran. Mbak Nana, baru berhenti dari tempat kerjanya di rumah makan. Sedang
Mbak Asri seorang single parent. Aku lupa riwayat kerjanya, cuma dia bilang pernah
kerja di Bali. Ah, aku melihat dua orang itu sangat semangat. Ya mau bagaimana,
teman-teman magang yang sama-sama masuk kemarin, ternyata tinggal mereka
bertiga.
Lalu besoknya, aku bekerja. Lagi dan lagi. Gaji pertama yang harusnya 129
ribu rupiah dalam tiga hari, dipotong untuk membeli celemek dan dua seragam. Tapi
karena rasa uang yang begitu menagihkan, serta kata-kata pedas yang muncul tidak
hanya dari Bu Warda, aku terus bekerja. Lagi, dan lagi. Sampai aku akrab dengan
beberapa orang di sana. Karyawan lama dan karyawan baru. Perempuan dan
perempuan yang menyerupai laki-laki. Ibu-ibu dan para gadis. Janda, eks luar
negeri dan ibu-ibu borjuis. Bermacam-macam orang aku kenal. Antagonis dan
protagonis juga. Nanti, selanjutnya, akan kuceritakan ya.
Untuk hari ini, cukuplah. May Day-ku kali ini, cuma lewat cerita. Ah,
curhat!
Sebentar, apa aku belum menyebutkan jika tahun lalu, saat aku juga
mengenang kisah-kisah di pabrik, aku tengah menyaksikan teatrikal bertema buruh
di bundaran DPR di tempat rantauku? Ah, iya belum. Saat itu sih, sedang
liputan. Bukan aku, temanku. Aku menemani. Kami saling menemani. Liputan, dan
bertukar pikiran. Ah, romantisme yang sudah tak bisa ditemui. Sudah ah, sudah.
Besok lagi. Masih ada 30 hari lagi.
Selamat hari buruh, Buruh.
1 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar