Jumat, 01 Mei 2020

May Day My Day


May Day, My Day.

Halo, selamat malam. Ah, iya, aku nulisnya malam. Hm, mulai dari mana ya?

Baiklah, jadi ini hari pertama tantangan 31 hari menulis blog. Kebetulan, banyak unek-unek yang rencananya pengen aku bongkar di sini. Salah satunya ya melanjutkan hutang-hutang cerita sebelumnya. Tentang cinta, hehe. Tapi, enggak deh untuk tantangan pertama, masa iya mau umbar aib lagi. Baik, sudah dulu basa basinya, mari ke kisah sesungguhnya.

Terakhir kali nulis di Aku dan Kisahku part 3 tentang cinta, aku menyinggung tentang Malapetaka kan? Teman kerja di pabrik yang banyak menyita perhatianku. Baik, sebelum lanjut membayar kisah cinta part 4, mari berkisah tentang pabrik, roti, dan impian.

Sebenarnya aku sedikit penasaran, kenapa challenge yang diadakan Bang Wiro ini dimulai tanggal 1 Mei. Aku tidak cukup waktu untuk menemukan jawabannya lewat stalking (mungkin setelah ini bakal tahu). Berkat seorang teman yang me-mention diriku di Twitter, aku bertemu Bang Wiro. Ah, anak bawang sepertiku agaknya perlu banyak belajar dan mengenal lebih lagi perihal literasi. Nah, momen pembuka tantangan ini tepat dengan rencanaku meneruskan babak baru dari kisah sebelumnya selain cinta, buruh pabrik. 

Mengacu pada pandangan duniaku, drama Korea, Bread, Love and Dream boleh jadi judul yang tepat untuk kisah kali ini. Tidak ada part tentang perselingkuhan atau saling tundung kekuasaan, hanya tentang mimpi, dan cinta yang berkembang di pabrik roti. Oleh seorang buruh yang mengejar mimpi. Mari, berjelajah waktu ke kisah masa lalu. 

Agustus 2016, entah kapan tepatnya, aku dan seorang teman yang baru kukenal beberapa hari, pergi bersama ke Bali. Mengendarai motor metiknya, kami bergantian menyetir dari Banyuwangi selatan menuju Denpasar, dan berakhir di Tanah Lot. Awal kisah, aku yang gagal masuk PTN, dikira frustrasi. Bapak dan ibu mengira demikian setelah aku batal ikut seorang teman untuk bekerja di rumah makan di Bali.  Singkat cerita, aku batal bekerja di Polo mengikuti jejak kakak sepupu sebagai guide turis Korea--just like my dream. Masalahnya sepele, aku takut dengan kisah mistis di sana. Bagian itu, aku ingin bercerita di hari berikutnya.

Akhirnya aku pulang. Kangen notebook nggak ketulungan. Selanjutnya, aku hanya mengisi hari-hari dengan menghadap notebook, menulis dan menonton, kadang bikin video dari kameranya. Lama-lama jadi mikir, kenapa aku enggak kerja?

Lalu, para tetangga yang usil sibuk ngasih lowongan kerja. Ya, ini, ya itu. Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja waktu itu sudah daftar dan wawancara di sebuah pabrik roti yang lumayan besar di daerahku. Produknya sudah terkenal. Aku sempat takjub kala menyadari jika roti-roti yang aku lihat di warung-warung atau swalayan, diproduksi di sana. Tapi, lagi-lagi aku ingat judul drama tadi.

 Aku ke sini kerja buat mengisi waktu luang, mencari pengalaman untuk bahan tulisan. Menunggu SBMPTN tahun depan, sambil mengumpulkan rupiah. 

Sadar, aku bukan orang berada dengan mimpi yang muluk. Bahkan ponsel pintar yang kala itu adalah pesawat sederhana yang benar-benar sederhana untuk sebagian orang, adalah hal mewah bagiku. Mimpiku kala itu, mengumpulkan uang untuk membeli ponsel, membayar UKT awal dengan perkiraan UKT terendah, serta sisanya untuk membayar kos, transport dan kebutuhan lain. Mendiang bapak tidak pernah melarang atau menyuruh kuliah. Beliau hanya tidak bisa menjanjikan yang satu itu. Tapi dengan segala tekad dan keinginan, aku malah yang berjanji pada beliau untuk bisa mengurus diri, juga tetek mbengek perduitan. Untuk itu, aku bekerja.

Hari pertama bekerja adalah hari terberat. Sungguh, benar-benar berat. Aku yang cuma punya mimpi, tahu apa tentang banting tulang? Pekerjaan pertamaku pitil. Ya, istilah disana pitil. PitIl, begitu fonetisnya. Sepanjang hari, rasanya ingin berbicara kotor—kala itu aku tidak pandai mengumpat. Padahal, saat itu belum juga setengah hari terlewat. Tapi, jari-jari sudah keram memitil roti-roti coklat dari loyang ke mesin korin (mesin untuk membungkus roti). Punggung juga serasa mau copot. Serius, dari yang tegak ke agak bungkuk ketika melempar, dan begitu seterusnya. Belum lagi Mbok (panggilan untuk atasan, semacam mandor) yang cerewet. Tidak tahu apa, aku masih belum pakai seragam? Masih magang! Masih butuh waktu! Tapi, sudah kena marah terus. Yang ada di pikiranku saat itu, “Sudah, cuma sehari aja. Besok enggak mau lagi. Pokoknya harus berhenti! Peduli amat dengan gaji!”

Dari tempatku berdiri, aku memandang salah seorang tetangga yang telah beberapa bulan bekerja di tempat itu. Tanpa senyum di balik maskernya, tanpa sapa di sudut matanya, dan tak ramah raut mukanya, terlihat antusias membungkus roti satu per satu di mesin klep. Setelahnya baru aku tahu dia kerja borongan. 

Setengah hari terlewat. Saat istirahat makan siang, tangan kaku, bgsd! Bahkan, untuk menyendok nasi sakit sekali. Lalu, ibu-ibu yang tadi bekerja denganku menjalankan mesin korin, berkata jika aku bukan satu-satunya yang demikian. Setiap harinya, pabrik membawa orang-orang baru, anak magang. Paking tidak tiga orang. Ketika kutanya dimana keberadaan mereka sekarang, ibu itu menjawab jika kebanyakan dari mereka tidak sampai sehari sudah mundur. Ah, begitu rupanya. Ibu itu bercerita dengan sedikit mengejek, seakan berkata, “Anak muda bisa apa?” 

Setelah perbincangan itu, aku malah sayang sama beliau. Ya, kata-katanya memang sedikit menusuk, tapi serius, itu pecutan bagiku. Hari itu selesai. Bertroli-troli loyang berisi roti telah kupitil. Meski mesin sering berhenti dan bahkan sampai Mbok turun tangan membantuku pitil untuk mengejar target, hari itu benar-benar selesai.

Tentu saja saat sampai rumah aku bercerita panjang lebar. Mengeluh dan menceritakan setiap detail kejadian di pabrik, serta seluruh rasa takjubku. Ibu hanya bilang, “Orang bekerja ya gitu, capek.” Aku masih terus mengeluh. Berkata tak mau lagi bekerja. Mending nulis, titik. Padahal kalo aku baca lagi tulisanku dulu, aww malu bgt~

Besok paginya, subuh, ibu membangunkanku. Ibu menyiapkan air hangat dan sarapan. Bapak ngeler nasi untuk bekal. Duh, tiba-tiba semendal rasanya. Aku bangun dengan kesakitan. Seluruh badan rasanya pegal. Sakit. Njarem. Aku urung. Tapi, mengingat hari itu hari Kamis, dan kudengar bayaran setiap minggunya diberi pada hari Sabtu, aku berniat kerja tiga hari saja. Setelah hari Jumat, berhenti, pikirku. 

Setengan enam pagi, aku berangkat. Dengan helm dan jaket tebal aku menuju pabrik yang jaraknya dua kali lebih jauh dari SMA-ku, tiga kali lebih jauh dari SMP-ku, dan enam kali lebih jauh dari SD-ku. Tidak ada cerita tidak kedinginan kala itu. Sampai di sana, aroma roti menyambut. Seriously, that’s what I like. Ya, meski sebenarnya aku tidak begitu suka roti. Waktu itu, kali pertama masuk pagi (hari pertama masuk jam delapan). Aku bekerja serabutan. Disuruh ini, suruh itu tapi endingnya tetep pitil. 

Agak siang sekitar jam delapan, beberapa orang tanpa seragam memasuki pabrik. Menggunakan masker, penutup rambut, serta celemek, mereka digiring ke bagian depan pabrik (pintu masuk pabrik di belakang). Lalu, Bu Warda, ibu-ibu yang pitil bersamaku menyahut, “Itu pasti ditaruh di bagian forming.”

Aku menyahut, menanyakan apa maksdunya dengan krama bahasa jawa. Beliau menjelaskan jika itu bagian membuat adonan roti. Di sana jam kerjanya lebih lama dan seringnya tidak sesuai sif kerja pada umumnya, bergantung pada adonan roti. Ah, begitu rupanya. Aku jadi ingat Nanda, remaja sebaya yang berkenalan denganku saat wawancara dan mendapat panggilan bersama. Seingatku, dia dibawa ke arah sana, forming itu. Ah, jika di bagian packing saja sudah semelelahkan ini, lantas bagaimana di sana?

Aku menengok ke depan, setelah dua mesin korin di depanku, ada Mbak Nana, dan Mbak Asri. Mereka sama-sama masuk kemarin bersamaku. Mereka berdua seumuran. Mbak Nana, baru berhenti dari tempat kerjanya di rumah makan. Sedang Mbak Asri seorang single parent. Aku lupa riwayat kerjanya, cuma dia bilang pernah kerja di Bali. Ah, aku melihat dua orang itu sangat semangat. Ya mau bagaimana, teman-teman magang yang sama-sama masuk kemarin, ternyata tinggal mereka bertiga. 

Lalu besoknya, aku bekerja. Lagi dan lagi. Gaji pertama yang harusnya 129 ribu rupiah dalam tiga hari, dipotong untuk membeli celemek dan dua seragam. Tapi karena rasa uang yang begitu menagihkan, serta kata-kata pedas yang muncul tidak hanya dari Bu Warda, aku terus bekerja. Lagi, dan lagi. Sampai aku akrab dengan beberapa orang di sana. Karyawan lama dan karyawan baru. Perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Ibu-ibu dan para gadis. Janda, eks luar negeri dan ibu-ibu borjuis. Bermacam-macam orang aku kenal. Antagonis dan protagonis juga. Nanti, selanjutnya, akan kuceritakan ya. 

Untuk hari ini, cukuplah. May Day-ku kali ini, cuma lewat cerita. Ah, curhat! 

Sebentar, apa aku belum menyebutkan jika tahun lalu, saat aku juga mengenang kisah-kisah di pabrik, aku tengah menyaksikan teatrikal bertema buruh di bundaran DPR di tempat rantauku? Ah, iya belum. Saat itu sih, sedang liputan. Bukan aku, temanku. Aku menemani. Kami saling menemani. Liputan, dan bertukar pikiran. Ah, romantisme yang sudah tak bisa ditemui. Sudah ah, sudah. Besok lagi. Masih ada 30 hari lagi. 

Selamat hari buruh, Buruh.  
1 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar