Halo selamat malam. Kembali aku menyapa dari tempat sepi yang penuh batas. Haha, tinggal dua hari lagi challenge ini berakhir. Banyak list topik kusiapkan. Tapi, sayang. Aku hanya menulis curhatan-curhatan yang terjadi tiap harinya.
Hari ini, aku juga ingin curhat haha. Tentang Sabtu manis. Sabtu yang sangat manis. Dan kalian tahu? Apa-apa yang berlebih tidak baik. Manis itu bisa jadi pahit. Pahit sekali.
Pagi tadi, aku diminta bulek nganter sepupu ke kantor pos. Karena lama tidak keluar, kami sekalian belanja. Ya, kebutuhan pribadi kami. Di jalan, sepupuku tadi cerita kalau semalam dia iseng baca cerpenku yang ada di laptopnya. Aku tidak apa-apa. Toh, selama ini aku berharap ada yang baca cerita-ceritaku secara sukarela, bahkan cerita novel garapanku yang berada di laptopnya.
Dia melanjutkan cerita. Katanya, dia hanya scroll-scroll tanpa membaca detail cerpen itu. Tapi lama kelamaan dia masuk ke cerita itu. Kebetulan di sebelahnya ada adiknya--yang tentu adik sepupuku, ikutan baca. Pada bagian tertentu di akhir cerita, dia menengok ke adiknya. Mereka saling pandang. Si adik sudah menangis sesenggukan. Dan ya, si kakak yang jarak umurnya setahun lebih muda dariku itu juga menangis. Ahaha, aku bahkan tidak pernah melihat dia menangis. Bagaimana bisa mereka menangis seperti itu? Hahaha.
Perjalanan berlanjut. Setelah naik turun dan berputar-putar swalayan, aku dan sepupu yang seumuran denganku itu tidak menemukan barang yang kami cari. Akhirnya, kami masuk pasar. Kebetulan, ibu juga nitip belanjaan dan obat. Ketika masuk jalan kecil menuju pasar, warung-warung masih berjajar ramai seperti biasanya. Wah, wah! Bahkan aku melihat warung bakso langganan ibu yang dulunya sepi malah ramai. Setelah melewati beberapa toko dan warung-warung bakso lain, aku menemui warung bakso langganan bapak yang dulunya ramai malah sepi. Ah, lama sekali aku tidak main-main ke daerah itu. Padahal, jaraknya tidak begitu jauh dari SMA-ku. Dulu, Mie Ayam jadi andalan kami,
RYFAR, ketika makan di luar. Mana sempat mengunjungi warung-warung bakso dekat pasar begitu.
RYFAR, ketika makan di luar. Mana sempat mengunjungi warung-warung bakso dekat pasar begitu.
Kenangan untuk warung bakso langganan ibu tidak banyak. Beberapa kali kami mengunjungi tempat itu berdua. Seperti ketika menonton karnaval, belanja di pasar atau ketika mencabut gigi di puskesmas yang juga dekat dengan tempat itu. Hanya beberapa kali. Lain itu, kami datang lengkap dengan bapak dan abang. Kalo warung langganan bapak satunya, lebih sering lagi kami kunjungi. Yang terhebat buatku ketika bapak mengajak para keponakan dan sepupu makan di sana saat ulang tahunku. Yep, if u read my blog early, may u know it, hehe. Juga, es buahnya yang menawan. Dulu sekali, aku mengenal rumput laut ala-ala es buah ya di tempat itu. Bapak sendiri seringan pesen balungan di tempat itu. Minumnya, temulawak. Ahaha. Kalo abang, tempat makan favoritnya ya nasi goreng seberang jalan di antara dua warung bakso tadi. Hmm, ingatan buruk ini tidak detail memunculkan memori masa kecilku. Yang jelas, waktu itu aku bahagia.
Setelah bebelanja di pasar, kami memutuskan mampir di warung bakso langganan bapak. Padahal kami sama-sama makan sebelum berangkat. Sampai di sana, kami di sambut bapak-bapak yang wajahnya sangat tidak asing. Dia sedikit bercanda. Ah, andai bapakku bisa ikut bercanda. Sudah lama sekali kami tidak ke sini. Mungkin, terakhir kali ya saat SD dulu itu. Dan oh, ketika sesosok ibu-ibu sepuh datang mengantarkan minuman, aku ingat betul wajahnya. Dia ibu dari bapak-bapak tadi. Ah, senangnya bertemu orang-orang lama. Karena makan di tempat, aku harus menahan aroma hand sanitizer yang menyengat selama makan. Hehe, aku pake beulang-ulang.
Setelahnya, kami pergi ke konter hape. Membeli beberapa keperluan lain. Ironisnya, sampai di sana aku teringat bapak lagi. Dua mbak-mbak berwajah judes menyambut dengan ramah. Aku tahu salah satu yang melayaniku itu semacam pemilik. Ah, aku nggak tahu pemilik konter yang berangsur-angsur besar itu siapa, yang jelas kalau ada sesuatu, karyawan lain selalu tanya ke mbak itu. Ah, dulu, aku sering sekali ke sini. Dari semenjak SMA sampai kuliah. Karena konternya dekat sekolahku, jadi bapak selalu nitip belikan saldo. Kadang aku menolak ketika ada latihan marching. Biasanya sampai malam, hehe. Selanjutnya, saat aku kerja. Aku dan bapak sama-sama berjualan pulsa. Itu berlanjut sampai aku kuliah. Ah, aku tidak sebegitu detail menghitung untung rugi. Saldo-saldo pulsa masuk sebagai uang jajanku di rantau. Juga, sebagai bahan obrolan dengan bapak untuk mengalihkan teks atau obrolan template.
"Pak, pulsaku habis. Pak saldoku habis. Pak, kalo nanti sampean SMS aku nggak bales, berarti masa aktifku habis. Pak, Pak, Pak Pak..."
Buruk sekali. Aku hanya mengabari ketika butuh uang. Sedang bapak selalu menghubungiku untuk menanyakan kabar. Sedang apa, di mana, sudah makan belum, jaga diri dan meminta untuk belajar sungguh-sungguh. Ah, aku hampir lupa hal itu.
Biasanya aku mendatangi konter itu bersama bapak. Ah, jalan-jalan ke sana adalah sebuah kesenangan. Bersama bapak, rasa senang dan percaya diriku naik berkali-kali lipat. Aku sering merecoki bapak. Bahkan, ketika sudah banyak umur begini, aku akan ngintil kemana pun bapak pergi. Hehe.
Ah, rasanya seluruh tempat, mengingatkanku pada bapak. Meski tidak sesakit dulu, rasanya ada setitik lubang yang bisa menarikku dari dunia ini ke mimpi buruk yang nyata. Dalam setiap kerinduanku, ada sebersit keinginan untuk segera bertemu dengannya. Ah, bapak. Tega sekali bapak meninggalkanku seperti itu. Betapa aku sangat menyayangimu.
Oh, Sabtu manis. Saat ini, malam Sabtu legi penanggalan Jawa. Hari di mana bapak pergi. Saat di mana dengan bodohnya aku diberi kabar kalau bapak meninggal. Ah, Tuhan. Bukan maksud abang mengabariku langsung di tengah-tengah latihan teater yang memuakkan itu. Hanya, kepanikannya membawa pada kekeliruan. Dikiria nomerku nomer istrinya. Bagaimana aku tidak terkejut? Aku dan kakak bahkan baru berolok di chat sebelumnya karena aku memamerkan potongan baru rambut pendekku. Ah, bapak belum tahu itu. Mungkin dia akan mengomel. Ah, iya tidak bisa.
Kenapa-kenapa bisa begitu? Ibu, bagaimana dengan ibu? Ah, aku baru saja mengeluh tentang saldo pulsa yang habis padanya. Dengan bapak, aku lupa obrolan terakhir kami yang mana. Tentang keluhan serupa masalah saldo? Ah, tidak. Sepertinya hanya panggilan di waktu subuh yang menanyakan bagaimana kabarku dan bertanya kenapa aku tidak pernah bertanya kabar beliau. Oh Tuhan, benar. Aku tidak pernah punya waktu untuk bapak bahkan sekedar sapaan online. Pantas saja, bapak tidak mengijinkan ibu dan kakak untuk menghubungiku saat selang-selang oksigen terpasang di tubuhnya. Duh, Gusti katanya aku sibuk dan beliau tidak ingin belajarku terganggu...ah...
Sabtu legi, setelah maghrib. Saat duniaku runtuh. Hatiku remuk. Hantaman terbesar sepanjang masa hidupku. Bapak. Asa di setiap laku dan tingkahku. Harapan semu yang kubuat harusnya tak hanya sekedar halu. Tempat sambat yang berakhir dengan debat. Bapak, aku tahu bapak tidak pernah membeda-bedakan kami anak-anaknya. Tapi, aku hanya merasa aku berbeda. Bapak lebih sayang padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar