Minggu, 24 Mei 2020

Terima Kasih

Halo selamat malam~

Hari ini lebaran Idul Fitri. Seketika aku lupa apa makna lebaran. Buat apa sih puasa? Kenapa zakat? Hanya rutinitas. Tapi, logika lain dalam pikiranku kembali mengobrak-abrik memori seputar ilmu pengetahuan agama. Sayang, meski ada kapasitas, hati belum bisa menerima dengan lapang. Ya apalagi kalau bukan keadaan yang telah benar-benar berubah.

Lebaran kali ini benar-benar menjadi yang pertama. Terlepas dari segala pandemi yang terjadi, tidak adanya bapak di dunia ini adalah pukulan maut. Ah, maut hahaha. Aku ingin terbenam. Menenggelamkan diri pada ketiadaan sehingga aku tak perlu bersikap seperti makhluk sosial lainnya. Aku butuh bapakku.

Bangun. Aku ingin bangun. Mimpi ini sangat membingungkan, menyesakkan. Ingat, suatu hari aku pernah bermimpi. Besok lebaran dan sekarang belum persiapan apa-apa. Haha, aku lupa kenapa bisa kami belum mempersiapkan apapun. Yang jelas, tidak ada sosok bapak di mimpi itu. Hanya kekhawatiran yang tidak habis-habis. Setelahnya aku bangun. Cuma mimpi. Lebaran tahun kemarin sudah terlewati.

Ah, lebaran. Aku hanya bisa mengenang.

Shit, playlist lagu ebit pas muter lagu Titip Rindu Buat Ayah.

Iya cuma mengenang. Bagaimana bahagianya aku di tahun-tahun lalu. Kebiasaan bersama bapak lengket dalam ingatan--sejauh ini. Kebersamaan keluarga, sangat-sangat aku rindukan. Ah, bapak.

Dulu, setiap kali ngelencer ke tetangga-tetangga begitu, bapak jadi pemimpin rombongan. Aku, bapak ibu, kakak, keluarga paman sekalian sama keluarga bude sekalian. Bapak, tak pernah kekurangan obrolan. Di setiap rumah kami masuki, selalu ada banyolannya. Ia bisa bicara blak-blakan bak pelawak, juga berbahasa santun dengan krama inggil yang kadang tak kutahu. Sekiranya akan berpamitan, bapak selalu menepuk pahanya beberapa kali. Awalnya itu seperti kebiasaan. Lama-lama kami menandai itu sebagai kode agar menyelesaikan makan, minum atau mengobrol. Kode itu juga kugunakan ke bapak ketika ingin segera pulang.

Ah, shit. It's just like a dream. Nggak ada yang menyangka. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana sepinya rumah tanpa beliau. Dan ya, sepi sekali. Salah mungkin, tapi aku tetap bersyukur dengan pandemi ini. Paling tidak, ada alasan lain untuk mengekang diri dari hiruk masyarakat. Tuhan, aku rindu.

Di pagi lebaran, bapak akan sangat cerewet. Menyuruh kami, aku dan kakak untuk beegegas. Dan ya, aku dan bapak bergantian menyapu, menata kue-kue juga karpet. Sekarang? Aku mencoba tidak peduli. Sakit ketika mengingat jika biasanya bapak juga yang melakukannya. Kalian tahu yang lebih haru? Saat selesai solat Ied. Sampai di rumah, setelah meletakkan berkat dari mushola, kami saling bermaaf-maafan. Bapak dan ibu mengawali. Mereka saling bermaafan. Lalu, ke kami. Tentu saja, bapak menciumku. Beberapa tahun ini aku menolak. Meski pada akhirnya kumis-kumis bapak menyentuh sebagian wajahku. Abang juga menolak, tentu saja. Tapi, sebenernya aku sendiri sangat senang diperlakukan demikian. Cuma malu.

Sedangkan saat ini? Di rumah hanya ada aku dan ibu. Ini tahun ke tiga Abang tinggal bersama istrinya. Aku bingung, apa yang akan kulakukan ke ibu. Jika aku melakukan tradisi biasanya, aku tidak bisa menjamin tidak menangis. Aku tidak ingin begitu. Kami berdua tidak ikut solat Ied jadi sedari pagi ya sama-sama sibuk di dapur. Masa sih tiba-tiba minta maaf. Aku berharap Abang segera datang. Ah, aku bingung.

Saat baru selesai mandi aku mendengar suara motor Abang. Dia datang. Ah, waktu yang tidak tepat. Dari belakang aku melihat kakak melakukan ritual itu. Aku pura-pura tidak menghiraukan dan masuk ke kamar untuk berpakaian. Setelahnya aku keluar. Tanpa a o u, aku mencium tangan ibu sekedarnya. Lalu ke kakak. Lucunya, dia berusaha seperti bapak. Menciumku. Hahaha sebenernya hal seperti itu tidak asing, tapi di momen ini aku tidak mau. Aku menolak.

"Biar seperti bapak," kata Abang. Aku semakin tidak mau dong. Setelah dengan paksaan, sambil berkata-kata hal yang membuatku malah sedih, kumis-kumis Abang benar-benar mengingatkan pada bapak. Oh Tuhan.

Setelah makan-makan Abang pergi. Dia ke rumah budhe lalu kembali ke rumahnya. Di daerah rumahku hampir tidak ada yang open house. Sedang di daerah rumah Abang masih ada. Sebenarnya aku kesal dengan hal itu. Setelah Abang, istri dan anaknya pergi rumah jadi sepi.

Ini kali pertama. 2020 yang sangat menggoda. Corona dan segala macam cerita. Derita dan sakit-sakit, silih berganti mendatangi. Terima kasih. Tahun ini, sungguh tak biasa. Aku dan cerita-ceritaku akan sangat berbeda. Aku dan segala kisah-kisahku akan sangat sempit. Mendorong ingatan pada ruang lalu yang menjadikanku halu. Masa lalu, selalunya jadi pandu. Aku, dan diriku, larut pada debu abu dan rupa-rupa lalu. Ya, sekali lagi, terima kasih. Berkat sakit ini, aku kembali mengenal Tuhanku. Berkat situasi ini, aku menyamarkan bekas lukaku. Berkat ketentuan ini, akan kuciptakan kisah-kisahku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar