Sabtu, 16 Mei 2020

Just About Love 3

Aku Hana Ayudyaningtyas. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam di salah satu universitas swasta yang berada tak jauh dari rumah. Keseharianku disibukkan dengan rengek anak-anak kecil. Mulai dari bayi sampai anak yang hampir baligh berkeliaran di sekelilingku.

Lelah rasanya seharian bergelut dengan diskusi-diskusi yang tak berujung. Entah dalam organisasi 'ekstra'ku ataupun BEM di kampus, keduanya sama-sama menguras tenaga. Untung saja akhir semester ini teman-teman--kampus--ku berwacana liburan bersama. Ada sedikit ambisi untuk menuju hari itu. Meski sebenarnya ingin rasanya liburan kali ini kuhabiskan di tempat lain.

Bukan, bukan, aku bukan orang yang haus akan liburan sampai harus menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk hanya dalam rangka liburan. Lebih dari itu, ada seseorang yang telah mencuri hatiku dan membawanya ke pulau seberang. Bagaimana aku bisa terus hidup tanpa hati?

"Maunyah iyaik mburhh." Aku berhenti saat keponakan yang belum genap dua tahun menarik rok panjang bermotif bunga-bunga yang kukenakan dari belakang. Entah apa yang diucapkannya barusan.

"Kakak mau ke masjid dulu, Dik. Nanti aja ya mainnya." Seruku sambil menggendong dia yang memasang wajah cemberut penuh kelucuan. Kuserahkan dia kepada ibunya yang tersenyum manis beberapa langkah dariku.

"Oh iya Han, Ibu tadi bilang kalo pengajuan yang kamu kirim di SD 5 diterima." Kata kakak iparku sebelum aku berbalik. Darimana ibu tahu?

"Benarkah Kak?" Tanyaku tak percaya. Pasalnya aku telah mengirim banyak pengajuan magang di berbagai SD negeri dan tak ada satupun yang menerima kecuali Madrasah Ibtidaiyah yang dua minggu ini menjadi tempatku magang.

"Iya, Ibu kan sudah pernah bilang, kepala sekolah di SD 5 masih kerabat kita." Ah, alasan itu rupanya. Aku tersadar. SD 5? Benar, selama ini aku menghindari mengajar disana karena hal tersebut.

"Sekarang Ibu dimana?" Tanyaku yang menyadari belum melihat sosok beliau untuk sekedar mencium punggung tangannya.

"Masih di sawah." Benar dugaanku. Ibu terlalu rajin hingga sesore ini masih betah di sawah. Padahal Kak Gibran telah melarang Ibu untuk ke sawah.

Mataku tak sengaja berpapasan dengan jam persegi berwarn emas dan perak di dinding. Ups, aku lupa bahwa aku telah terlambat. Para ustadz dan ustadzah yang lain pasti memaklumi keterlambatanku karena sibuknya kegiatan kampus, tapi bagaimanapun ini tanggungjawabku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar