Ini kali ketiga aku menginjakkan kaki di pulau yang penuh manusia-manusia berkulit putih pucat dan rambut warna-warni. Aku sempat takjub ketika kali pertama dulu, sedang yang kedua mulai biasa dan sekarang biasa saja.
Bukan rencanaku kemari. Jika Sonya tidak mengirim tiket gratis minggu lalu, aku tak akan mau repot-repot mengeruk kantong hanya untuk sebuah liburan.
"Sudah berapa tahun kita nggak ketemu?" Sonya yang masih sumringah atas kedatanganku bertanya dengan antusias. Koper mungil yang tadi ada di tanganku kini ia rebut saat gerbang kosnya berhasil terbuka.
Meski Sonya bilang ibu kosnya muslim, nuansa Bali tak luntur di rumah kosnya. Hanya saja tak ada tempat sembahyang di halaman seperti rumah-rumah lain yang aku amati sepanjang perjalanan melewati gang-gang sempit itu.
"Hampir dua tahun, kan?" Sonya menjawab pertannyaannya sendiri. Aku mengangguk membenarkan. Mengikuti langkah lebarnya yang terlihat tak sabar. Saat pintu kamarnya terbuka, masuklah kami. Tapi, hal ganjil terjadi. Seorang pria sebaya kami terlihat keluar dari kamar sebelah dan pergi begitu saja dengan motor matik yang terparkir di depan tadi.
"Ini Pulau Bali, jangan samain sama Pulau Jawa, Beb!" Seru Sonya seraya meletakkan beberapa makanan ringan dari kulkas kecil di sudut kamar.
"Aku tahu, Sonya. Aku sudah tahu tentang hal itu. Tapi, kamu nggak pernah cerita kalau kos kamu juga begitu." Sungutku. Aku bukan seorang muslimah yang akan menentang segala hal ganjil semacam itu. Tapi, mengingat kejadian seorang teman dekatku di kampus yang kehilangan mahkota tertingginya, membuatku semakin cemas, takut hal buruk itu menimpa orang-orang terdekatku lagi. Sonya tahu itu.
"Tenang, nggak ada yang lebih aman dari kos ini. Ibu kosnya kan muslim, jadi pengamanannya ketat. Kamu tahu, kos khusus putri maupun putra tak terjamin lagi keamanannya." Jelas Sonya membuatku sedikit tenang.
Malam harinya kami memasak nasi goreng sederhana di kamar mungil Sonya dan paginya ia mengajakku berkeliling gang untuk sekedar menghirup udara segar. Semangkuk bubur ayam langganan Sonya yang telah terjamin kehalalannya kami lahap habis. Setelahnya, kampus Sonya menjadi tujuan kami. Aku menemaninya mengikuti kelas terakhirnya minggu ini.
"Makasi ya, tiketnya," kataku saat kami berada di salah satu tempat perbelanjaan yang tak begitu besar.
"Makasi sama takdir sana." Jawabnya sambil tertawa. Sonya mendapat give away tiket gratis dari agen travel langganannya, tapi ia tidak menggunakannya dan malah memberikan tiket mahal itu padaku. Katanya, liburnya terlalu singkat. Apalagi kegiatan yang padat membuatnya mengurungkan niat pulang kampung semester ini. Sedang jadwalku sendiri terlalu longgar. Dua bulan libur bukan hal yang mengasyikkan. Kebosanan pasti menyerang.
"Eh, dompetku mana ya?" seruku panik sambil mengobrak-abrik tas tangan kumalku. Sonya ikut panik dan melihat sekeliling. Tak ada tanda-tanda seorang penjahat disana.
"Ibu-ibu yang ngepel tadi-" kataku asal. Sebelumnya kami sempat ke kamar mandi dan ada seorang wanita separuh baya sedang mengepel lantai, yang sesekali menatapku. Ah, tidak, dengan intens dia menatapku, tapi saat ku balas pandangannya, ia menunduk dan buru-buru enyah.
Setengah jam kemudian, setelah kami melapor, ibu itu duduk di kursi sebelahku, di hadapan seorang satpam tanpa seragam.
"Saya tidak mengambilnya, Pak, sungguh!" keluh wanita itu berkali-kali.
"Kalo Ibu tidak mengambilnya, kenapa Ibu tidak bisa menjelaskan alasan Ibu menatap gadis ini?" seru satpam itu dengan nada tinggi. Jujur, aku kasihan melihat hal ini. Tapi, ibu itu sungguh aneh. Ketika keluar dari kamar mandi, ia terekam cctv tengah berlari ketakutan seakan berbuat salah, bahkan sempat jatuh saking paniknya.
"Bu, dompet itu sangat penting. Uangnya tidak seberapa, tapi kartu-kartu dan tiket pulang saya ada disana." Kataku pelan kepada si ibu yang tiba-tiba menunduk. "Saya bukan orang berada, Bu. Saya hidup dan berkuliah mengandalkan tabungan saya sendiri. Ya, memang orang tua saya sesekali mengirim uang, tapi ibu tahu, pekerjaan ibu menghasilkan lebih banyak rupiah daripada mereka." Kataku panjang lebar tak tahan. Gelagat ibu itu semakin aneh. Ia mendengarkan segala ceritaku dengan tertunduk. Tak lama kemudian datang seorang gadis sebayaku dengan wajah angkuh.
"Ini!" gertaknya sambil meletakkan sesuatu yang kami cari-cari dengan tangan kirinya. Aku tertegun melihat tangan kanannya yang sebatas siku. Sedang tangan kirinya tadi tak benar-benar sempurna. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang difabel secara langsung. Tapi, kenapa terjadi di situasi yang salah begini?
"Kamu siapa?" Si satpam angkat bicara. Nadanya kaku. Ingin membentak tapi terdengar tak kuasa.
"Ayo, Bu." Gadis itu mengabaikan ujaran satpam dan berusaha menarik lengan baju ibunya dengan tangan kirinya. Ibunya berdiri tapi masih terus tertunduk.
"Tunggu!" cegah Sonya. "Kamu harus jelasin dulu apa yang terjadi!" tandasnya.
Gadis difabel itu berbalik dan dengan santainya berkata, "Aku berniat mencurinya. Tapi, tak jadi karena tak ada yang bisa diambil." Baik aku, Sonya, Pak satpam, bahkan ibunya tertegun.
"Apa kamu tidak salah bicara, Nak?" tanya Si satpam pelan.
Gadis itu menjawab dengan gelengan mantap tanpa mengubah wajah angkuhnya.
Pak satpam tak merasa perlu mengurus masalahku lebih dalam karena aku melarangnya. Aku kasihan sekaligus penasaran. Sepertinya gadis itu berbohong. Hal aneh sangat nyata terlihat dari gelagat sang ibu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar