2 Mei, 2020.
Lagi-lagi, selamat malam. Bertemu lagi dengan waktu untuk melegakan batin; menulis. Haha, baiklah mari lanjutkan.
Tepat hari ini, timeline-timeline media sosial penuh dengan ucapan untuk Hari Pendidikan Nasional. Sebenarnya, jika dikaitkan dengan lanjutan kisah tentang pabrik roti kemarin sangat cocok. I thought, I used to do everything for pendidikan. But, I have another story to tell.
Kemarin, ah dini hari tadi, selepas mengunggah tulisan di blog, aku iseng bikin roti panggang pake durian. Aroma durian yang hebat mengingatkanku pada bertong-tong krim durian di pabrik dulu.
Hampir pukul satu aku berjalan ke dapur. Menyiapkan perkakas dan bahan-bahannya. Tiba-tiba aku ingin menjadikan eksperimen itu konten. Kuambil ponsel dan merekamnya. Beberapa kali aku mengulangi pengambilan gambar.
Malu sama mata kuliah jika jelek jadinya hehe.
Malu sama mata kuliah jika jelek jadinya hehe.
Merekam dengan satu tangan cukup sulit sulit. Sedikit-sedikit, berhenti. Mulai dari membelah sampai memisahkan daging dengan bijinya, aku lakukan di tengah jalan antara ruang tengah dan dapur. Setelah selesai baru aku membawa semua tetek mbengek itu ke dapur, dekat kompor di pojok ruang.
Proses penggorengan tidak kalah lama. Berulang kali aku cetak-cetel mematikan dan menyalakan api cuma untuk dapat komposisi gambar yang bagus. Empat lembar roti kupanggang di atas teflon. Bodoh, aku membolak-balikkan roti-roti itu dengan tangan. Jadi, sekarang ini, mengetik ini, jari-jariku masih perih.
Saat semua roti telah terpanggang, aku mendengar suara-suara aneh di luar. Dari pintu dapur sebelah barat, kananku berdiri saat itu. Kupikir, itu pamah. Pintu itu berhadapan juga dengan pintu dapur rumah paman. Ya sudah sih, paling ngapain gotu beliau. Tapi, lama kelamaan, suara aneh itu tak kunjung pergi. Jika memang paman sedang ada urusan di luar rumah, seharusnya dia langsung masuk lagi kan setelah selesai. Suara langkahnya juga aneh.
Ada pikiran maling terlintas, tapi aku menampik. Mau ambil apa coba? Kemungkinan lain sih, setan atau kucing. Aku beranjak. Membereskan roti dan membawanya ke depan TV. Ibu yang tertidur di kasur depan tv kubangunkan. Aku bilang jika ada suara aneh di belakang. Ibu bangun. Lampu dan tv sudah mati sejak aku ke belakang tadi. Sedangkan lampu tengah dan dapur menyala.
"Matikan lampu dapur, dan bawa lauk sahur ke depan." Perintah ibu. Aku menurut dan kembali ke dapur.
Sebelum sampai sana aku menyadari suara langkah kaki itu semakin cepat, seperti lari yang grusa-grusu. Pikirku saat itu, si terduga maling mencoba masuk rumah paman. Ah, aku kembali ke depan, menyampaikan lagi pikiranku ke ibu dengan berbisik. Beliau menenangkan. "Mungkin kucing," kata ibu.
Kemudian aku mengajak sahur dan ibu minta diambilkan nasi sekalian. Aku mengambil piring dengan pelan. Tapi, sepinya pagi membuat suara dua piring yang beradu masih terdengar. Sosok yang kuduga maling itu sepertinya lari ke depan. Aku menyimak pergerakan suara dari bagian samping belakang rumah ke samping ruang tengah itu.
Aku terkejut ketika kusen yang ditutup gedek di bagian luar dan triplek di bagian dalam serta disandari pintu bergerak-gerak. Bangsat, itu pasti maling! Mudah sekali membobonya jika saja tidak ada lemari tepat di depannya. Adanya kusen tanpa pintu di situ sebenarnya karena akan dibuat kamar, tapi entahlah sampai sekarang masih dibiarkan begitu saja.
Aku ke depan lagi dan bersuara sangat-sangat pelan. Ibu bangkit, aku meraih ponsel di dekatnya. Berpikir untuk menghubungi seseorang. Ketika suara glodak berpindah dari pintu palsu tadi ke pintu asli di sebelahnya, tepat di depanku dan ibu berdiri saat itu, jantungku berdegup kencang. Aku seakan bisa melihat bayangan dirinya dari celah bawah pintu.
Bapak, bagaimana ini?
Aku mengirim pesan ke grup beranggotakan dua keponakan bujang yang tadi bilang mau begadang, serta dua sepupu perempuanku, anak-anak paman. Tak ada balasan, mereka semua offline. Semakin gugup, aku masuk ke kamar. Aku mengirim pesan ke grup keluarga yang kebanyakan tinggal jauh dari rumah, juga di luar kota dan luar negeri. Saat itu, Mas kakak Put laki-lakiku yang sudah berkeluarga dan tinggal di rumah dekat mertuanya merespon. Juga, seorang sepupu yang berada di luar negeri. Ibu masih di luar menyimak pergerakannya.
Mas Put sepertinya juga kebingungan di sana. Ia menelpon berkali-kali dan tidak kuangkat. Mana berani aku, di situasi mencekam begitu. Aku sudah mematikan suara ponsel saat menyadari ada maling.
Aku keluar kamar. Melihat sampai mana si bangsat itu beraksi. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki semakin banyak. Orang-orang yang cangkruk di seberang jalan mendekat. Aku dan ibu berjalan ke depan. Dari jendela ibu berkata, "Ke utara." Aku ikut mengintip dan bertanya, "Itu, bener orang-orang kita, Buk?" maksudnya, apakah mereka orang-orang sini. Kami masih mengintip. "Kalo iya, aku mau keluar." Sambungku
"Itu ada Lek Yat," jawab ibu. Aku juga mendengar ada suara keponakanku juga sana. Dengan hati-hati aku keluar. Rumahku sudah ramai saja. Orang-orang menyisir pekarangan samping dan belakang rumah.
"Nggak ada siapa-siapa," kata seseorang. "Sudah kabur." Kata yang lainnya.
Dari jalanan depan aku mendengar celetukan, "Setan mungkin." Ah, mungkin saja. Jangan-jangan aku halu. Rumah sebelah barat sudah bertahun-tahun kosong. Dan ya, bahkan dulu saat ada penghuninya, sudah terkenal dengan keangkeran. Apakah demikian?
"Lha ini bekasnya." Aku mendongak kebelakang. Mencari arah lampu senter bapak-bapak yang bersuara tadi. Bangsat! Maling beneran. Sebelumnya tidak begini, ada bekas congkelan di sana. Ya Tuhan.
Para warga bergegas mencari maling itu lagi. Ah, aku jadi ingat. Saat sedang menulis blog kemarin, aku mendengar kabar jika di daerah masjid dekat rumah ada aksi kejar-kejaran maling. Hmm bangsad, ke sini juga rupanya.
Di luar masih gaduh. Beberapa kali suara lari-larian di aspal jalan terdengar. Juga, suara kambing tetangga yang 'mungkin' kedatangan malingnya. Aku dan ibu kembali masuk ke rumah. Masih tak habis pikir dengan apa yang barusan terjadi. Untung Mas Put segera menghubungi salah satu saudara yang sedang ikut cangkruk.
Tidak ada acara makan roti panggang tadi. Tidak selera. Aku masih memantau pergerakan maling lewat pesan chat dengan keponakan serta waspada suara-suara yang mungkin saja si maling masih bersembunyi di sekitar rumah.
Sudah hampir jam tiga saat aku dan ibu berniat makan sahur lagi. Ketika ibu ke belakang, beliau menemukan pintu dapur samping kunciannya telah longgar. Pangklangnya juga. Ah, rumah kami rumah lama yang dipugar, jadi bagian belakang menggunakan kuncian seperti itu. Bangsat, bangsat, jadi sebelum mencoba masuk ke rumah paman ketika aku di dapur tadi, si maling sudah berusaha masuk rumah kami. Bodohnya aku yang tidak sadar padahal sedari tadi di dapur.
Setelah itu, kami berdua makan sahur sambil ngobrol banyak hal. Leluconku mengenai mendiang bapak, membuat cerita-cerita tentang masa lalu bapak muncul dari ibu. "Buk, harusnya tadi pas ada malinh aku teriak, Pak Pak e, enek maling Pak. Gitu, nanti kalo bapak datang beneran biar kapok." Haha, miris sih. Iya, tidak lucu. Tapi itu yang aku pikirkan saat itu. Dasar, maling bangsat!
Besok paginya ibu bercerita jika semalam, saat terjadi aksi di dekat masjid, beliau berkelakar dengan orang-orang di warung. Setelah ibu diberi tahu jika ada maling kepergok, beliau buru-buru pulang karena tidak mengunci pintu saat keluat tadi. "Jangan-jangan malingnya pindah ke rumah. Duh, tadi enggak dikunci dan Alit di kamar." Waktu itu, aku sudah mengunci pintu terlebih dahulu.
Karena kata-kata ibu itu, aku agak kesal dan takjub. Ibu sering sekali berkata sesuatu yang jadi kenyataan.
Siang tadi, Mas Put ke rumah. Dia memberi pangklang, atau apa gitu, sesuatu yang bisa menghadang agar pintu samping dapur itu tak bisa dibobol lagi. Kami juga memasang grendel tambahan di pintu samping. Untuk pintu palsu tadi, belum diapa-apakan. Semoga nggak ada maling goblok lagi. Nih, aku sudah sedia banyak kukit duren besar-besar buat ngelempar kalo-kalo datang lagi!
Ah, sudah. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar