Minggu, 17 Mei 2020

Ditra Sambega


Halo selamat malam.

Jika kalian membaca blog ini karena penasaran dengan judul, aku rasa meneruskan membaca bukan hal yang tepat. Aku nggak akan menjelaskan arti kata itu secara leksikal atau gramatikal tapi semiotik wkwk. Apasih?! Sok-sokan bahas materi kuliah.

Ingatan lemahku ini banyak lupa dengan peristiwa-peristiwa yang sudah lalu. Pun, aku lupa dengan penjelasan dari Pak Eko atau para senior mengenai DSB alias Ditra Sambega Band, nama grup marching band di SMA-ku dulu. Intinya, DSB sangat berarti. Air mata sahabat dekatnya. Nggak sedih, nggak seneng, selalu deh ada.

Tiba-tiba pengen nulis sesuatu tentang DSB. Yakin, satu kali duduk ini nggak bakal selesai nulis keseluruhan cerita. Cuma, bingung mau nulis tentang apanya. Tentang awal masuk yang bikin malu? Iya, saat itu aku malu banget. Dari sebelum masuk SMA itu, aku udah membulatkan niat untuk ikut marching. Keponakan dan teman kakak yang kebetulan di SMA ikut DSB. Aku jadi semakin semangat. Eh, tapi aku telat. Ingat betul, saat itu bulan puasa, seperti sekarang ini. Pendaftaran selesai dan teman-teman sudah mulai latihan.

Aku bercerita ke orang tuaku mengenai hal itu. Bapak, yang kebetulan mengenal Pak Eko, pembina marching, mengajakku ke rumah beliau saat lebaran. Kali itu kami cuma berdua. Kakak dan ibu nggak ikut. Sampai di sana rumah beliau ramai dengan tamu lain. Bapak dan Pak Eko mengobrol beberapa hal tentang kehidupan mereka. Hingga pada akhirnya bapak menyampaikan keinginanku untuk ikut DSB. Pak Eko merespon dengan senang dan penuh kebanggaan. Beliau berkata jika para tamunya itu, orang-orang yang juga ada di depan kami saat itu, anak-anak DSB. Ah, Tuhan, pantas saja. Aku seperti tidak asing dengan mereka. Ya Tuhan, aku malu sekali. 

Pasalnya, gabung di marching bukan perkara mudah. Tentu, proses registrasi ada di nomer sekian. Yang susah ya menjalin hubungan dan mengasah kemampuan. Dan pertemuanku dengan para senior saat itu, tidak menjadikanku bisa dengan mudah berhubungan dekat dengan mereka. Justru, itu membuatku canggung tatkala bertemu.

Tahun pertama di DSB sangat menyenangkan, dan menyedihkan. Aku suka sekali marching bell alias pit, namun kuota untuk instrumen itu sudah penuh. Dengan legawa aku manut-manut saja ketika dibilang cuma akan ikut kirab. Tapi, setiap hari masih saja ikut latihan bahkan hingga menginap di sekolah alias TC. Siang, malam. Panas, hujan. Dengan tujuh kawan lain yang bernasib sama di pit, aku senang-senang saja. Mendapat kawan baru. Menyaksikan pertunjukan para ahli serta mendapat motivasi-motivasi adalah perkara lain yang menguntungkan. Belum lagi image anak marching sangat keren kala itu.

Sebentar-sebentar, sepertinya aku pernah menulis tentang ini. Tapi di mana ya? Ah ingat. Di diary wkwk. Iya, judulnya, DSB yang Dulu, Kemarin, dan Sekarang. Maksudnya yang dulu ya yang kuceritakan barusan. Kemarin, waktu kepemimpinan Mas Amad. Kalo sekarang, masanya angkatanku.

Baiklah, lanjut. Masa Mas Amad ini nggak sebegitu ketat dan berkesan dibanding sebelumnya--Mas Renold, Mas Agung, Mas Ridho, dan Mbak Mbem, lima dari 9 orang kelas duabelas yang tersisa. Setelah Mas Renold cs lulus, kelas 12 selanjutnya banyak yang perotol. Kami, adik kelas nggak punya role model lagi. Mas Amad, seganteng sebagus apapun tiupannya, nggak bisa se-wise angkatan sebelumnya. Apalagi, kepsek yang tetiba ganti. Ah, ngerusak banget itu pokoknya. 

Oiya, saat itu sekolahan dan pelatih yang biasanya, juga lagi kres. Akibatnya, kami ganti pelatih yang lebih professional katanya. Orang-orang PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia) langsung. Hampir semua instrumen dirombak playernya. Aku? Aku yang kala itu coba ikut pindah ke trompet karena nggak ada temen di pit ternyata malah lolos ke T1 alias nada sopran tertinggi. Kami belajar lagi deh lagu-lagu baru yang katanya mahal banget dapetinnya. Eh, tapi beberapa bulan sebelum kejurkab, orang-orang PDBI itu pada ngilang. Aku nggak tahu sih apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, pelatih yang lama balik. Lima lagu baru yang kami pelajari nggak kepake. Karena waktu yang mepet, akhirnya pelatih lama ngasih lagu lama juga. 

Waktu itu rasanya seneng  gitu. Meski di trompet aku harus belajar lagi dari awal lagu lama--kalo di pit kan udah hafal di luar kepala, tapi seneng karena keinginanku yang dulu kelaksana. Main UG dengan lagu-lagu lama. Fire Dance, Dust in The Wind sama Danza, tiga lagu utama selain lagu daerah dan perfom perkusi yang lebih banyak visual untuk brass (alat musik tiup).

Tahun ke tiga, harusnya kelas 12 udahan. Biasanya cuma beberapa yang bertahan. Bangsatnya, aku salah satunya yang masih exist. Saat itu aku kena buli anak-anak sekelas. Dikira maniak banget ke marching. Selain karena cinta, e ciye, lebih karena ngga ada lagi yang mau bertahan bantuin adik-adiknya yang sumpah, kala itu bandel banget. Sebandel-bandelnya mas-mas dulu, senakal-nalalnya anak-anak angkatanku, engga sebandel mereka. Kebanyakan anak baru itu udah pernah ikut marching di SMP mereka. Tapi, attitude-nya ga ada. Duh, nggak tahu deh kalo mereka ketemu ama senior yang dulu. Habis kali. 

Apalagi, saat itu DSB makin diperbesar dengan menambah alat musik besar seperti Bariton dan Tuba. Weh, aku pernah tuh diminta main Trombon pas diesnat SMA aja, beratnya minta ampun. Bentar doang mainin lagu warkop udah kemeng tangan. Apalagi mouthpiece-nya yang besar banget. Haduhh.

Singkat cerita, kami ada even ke Madiun. Tapi, DSB kekurangan SDM. Pelatih mendaftar berbagai cabang. Jika biasanya hanya LUG, LBB dan Padarampak, saat itu mereka mengikutkan kami di dua lomba lain yang waw. Aku lupa apa penyebutannya, pokoknya kami harus berjalan jauh seperti kirab tapi dengan aturan-aturan tertentu. Juga, lari dengan memainkan alat dengan sangat cepat mengitari stadion belasan kali. Ah, lupa. Yang jelas kelas 12 yang hanya sedikit dan kesemuanya perempuan--ahaha de javu kan-- butuh laki-laki. Alhasil, dua temen cowo di bras yang udah keluar diminta gabung lagi. Player baru dari kelas dua direkrut dan langsung diikutkan lomba--ah, beruntung sekali mereka. 

Hasilnya? Ah panjang sekali. Banyak hal terjadi selama di lomba itu. Kami memenangkan beberapa perlombaan tapi tidak jadi juara umum. Nama DSB tidak lagi tersohor. Bukan, bukan hanya karena prestasi. Sekolah yang tebang pilih dengan kegiatan ekstrakurikuler manjadi pikiran terkuatku. Sesuai kesukaan kepsek--ups, sepak bola dan futsal selalu didukung. DSB? Boro-boro. Mengeluarkan uang beberapa puluh juta aja dikoar-koarkan saat upacara. Itu juga kami masih harus patungan untuk dana lainnya. Memang, marching membutuhkan banyak modal. Alat, dan seragam, hal terumum itu saja tidak umum harganya. Ah, rindu kepsek sebelumnya yang bahkan mengeluarkan dana sampai ratusan tapi tidak perhitungan--untuk yang satu itu aku baru tahu di akhir masa sekolah. Ah, maaf julid. Tapi sekolah lebih julid. Bahkan, DSB nggak diikutkan di foto kalender buat data ekstrakurikuler. Daebak!

Setelah lulus SMA, aku sangat gatal ingin meniup trompet. Jika libur kerja dan ada teman, aku menyempatkan ke sekolah. Syukur-syukur pas ada yang lagi latinan. Sekali dua kali tiupuan sudah mengobati. Dan ya, ada kabar duka. Aku lupa kapan tepatnya. Kembaranku, adik kelas yang katanya mirip denganku, meninggal dunia. Fadil, satu-satunya pemain Queen setelah Mas Rois lulus sudah nggak ada. Hahh, sedih sih. Tapi, pernah kenal dia rasanya senang sekali. Ah, sudah lama ya.

Sebelum nulis ini, aku coba search nama DSB di google. Lalu, pencarian diarahkan ke Twiter sekolahku. Aku menemukan foto Almarum Fadil tengah bermain Queen ketika diesnat 2014. Ah, jadi rindu. Untung kerinduanku tadi nggak bikin aku ngeritweet foto Fadil. Ya gimana wong postingan itu hasil retweet sekolahku dari akun Pak kepsek wkwk. Love u Pak kepsek. Terimakasih telah menjadi orang baik. At least ke keluarga saya.

17 Mei 2020
23.32 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar