Wah challenge ke-20 ini aku telat. Padahal sudah menyiapkan sesuatu untuk dibahas: antara Teori dan Praktik, serta ucapan ulang tahun untuk Abang. Hehe. Ya, tahu sudah terlambat karena ketiduran atau apapun juga tetap terlambat namanya. Nggak bisa diulang. Dan jikapun di blog nantinya masih tanggal 20 Mei, itu artinya setting di blog yang keliru.
Oke, aku cuma ingin bercerita tentang apa yang terjadi hari ini--kemarin deng, lalu dikaitkan dengan teori dan praktik. Jadi, ibu adalah penganut aliran, "semua pake teori". Sedang aku yang masih belum banyak tahu ini, sering keliru dan banyak lupa. Tentang apa saja. Nah, tadi ibu mengajak memindahkan buffet ke tempat semula sebelum dipindah ke salah satu sisi tembok saat meninggalnya bapak lima bulan lalu. Ibu bilang, televisinya berat jadi tidak kuat. Oke, aku iyain. Dan bener, tv tabung itu berat banget. Kalo dibandingkan tv tabung lain dengan ukuran sama di kamar bapak--yang sepertinya sudah tidak bisa digunakan--itu jauh lebih berat. Aku yakin kalaupun bapak yang angkat, pasti butuh bantuan orang lain. TV berhasil dipindah. Selanjutnya buffet.
Aku bilang ke ibu untuk mengeluarkan barang-barang di dalamnya. Tapi ibu menolak. Ayolah, beratnya kayak gimana kalo engga dipindah dulu? Meski ibu bilang tidak, aku tetap mengeluarkan empat laci berisi perkakas. Ya, paling tidak mengurangi bebannya. Karena satu dan lain hal, aku ke belakang. Kelelahan dan berbaring di kamar bapak. Membuka ponsel dan melihat ini itu hingga menjadi bosan lagi. Menunggu untuk dipanggil. Tapi, tak ada suara. Aku keluar dan melihat ibu telah memindahkan buffet itu ke tempat yang kami inginkan. Menggeser 90° sendirian.
"Lah kok bisa?" tanyaku. Iya, aku masih saja terkejut padahal ibu sering melakukan berbagai hal seperti itu. Bahkan, dulu saat bapak masih ada ibu mampu melakukan pekerjaan rumah semacam itu sendirian.
"Pake Teori." Jawaban dari ibu adalah jawaban yang sudah kuduga.
"Buk, ini kurang mepet ke sana." Aku masih saja mengomplen hasil kerja ibu. "Itu, masih ada sedikit ruang. Dimepetkan aja sekalian."
Setelah sedikit berdiskusi karena ibu punya pertimbangan kenapa tidak dimepetkan--istilahnya sama ibu diskusi, kalo sama bapak berdebat, apaan sih hehe--akhirnya buffet dimepetkan saja ke tembok. Aku pengen bantu angkat dong. Tadi udah ga nolongin. Dan oh, ternyata susah. Berat banget anjir. Nggak ke geser sama sekali di sisi yang kuangkat.
"Sek, ngaleh." Kata ibu. Aku minggir. Kami bertukar tempat. Lalu aku mencoba mengangkat lagi. Tapi, lagi-lagi sisi yang sebelahku tidak bergerak.
"Kok, engga bisa sih." Aku menggerutu sebal. Lelah dengan ketidakmampuan otak dan tenaga, aku mundur.
"Pake teori." Kata ibu tenang. Sesaat kemudian, aku mengamati buffet itu bergeser tanpa aku sentuh. Haha iya, ibu menggesernya sendiri.
"Beh, kok bisa sih." Sahutku. Aku mendekat dan mencoba membantu. Tapi sepertinya meski tanganku menyentuh buffet, bergesernya buffet ya karena 'teori' ibu. Hahaha.
Sebelum meletakkan kembali TV di atas buffet, ibu bilang alangkah lebih baiknya jika diberi alas. Yah, kenapa sih? Toh sebelumnya nggak ada. Ibu, bilang biar nggak lecet. Dan, ya ternyata banyak bekas goresan di sana. Hmm, aku ingat deng. Dulu awal punya itu buffet diberi alas juga. Hehe. Kami memutuskan untuk membeli plastik.
Langit yang mendung akhirnya mencurahkan hujan. Aku dan rencana-rencanaku akan keluar dengan ibu tertunda hingga sore tiba. Saat itu hujan tinggal rintik. Kami batal melakukan beberapa hal. Ibu hanya menyuruhku pergi ke toko perabot langganan untuk membeli plastik. Sebenarnya, aku malas untuk keluar. Malas sekali. Tapi, kalo enggak beli ini buffet bagaimana? Ya sudah, aku mau asal sama ibu. Kami berangkat.
Sampai di sana kami disambut si pekerja. Aku diam. Kan aku cuma mengantar. Eh, tapi ibu juga diam. Lirih ibu bergumam bilang cari perlak--ya kami memang berencana beli perlak juga. Si mbak pekerja menunjukkan barang yang kami cari. Lalu, bertanya ini itu secara canggung. Mbak ini bukan yang biasanya, dan aku baru ingat jika aku memang belum pernah ke sini dengan ibu. Jadi, meski pemilik toko ini mengenaliku pun, dia mungkin tidak familiar dengan ibu. Ah, iya. Aku jarang melihat ibu praktik. Jadi, ingat dulu-dulu ketika kami keluar berdua. Ya, memang demikian ibu. Selalu berpikir panjang untuk melakukan sesuatu, berbanding terbalik dengan bapak.
Biasanya, aku ke toko itu dengan kakak sepupu. Kalo butuh apa-apa, ibu nitip ke kakak sepupu, lalu dia kuantar. Begitu. Beberapa kali aku juga ke sana dengan bapak. Membeli perabotan yang aku dan bapak inginkan, dengan banyak wanti-wanti dari ibu karena bapak sering khilaf belanja. Seperti biasanya, bapak orangnya sangat supel. Pandai bergaul dan mencarikan suasana. Terlepas dari profesinya dulu pertama kali tinggal di sini yakni jadi supir selep keliling yang membuat beliau banyak kenalan termasuk pemilik toko itu, bapak ya memang suka mengobrol. Saking ekstrovert--mungkin--nya bapak, keramahannya bisa bikin bapak menyapa orang yang bahkan nggak dia kenal. Bermodalkan senyum orang lain, beliau senyum juga. Perjalanan dari rumah ke swalayan saja--sekitar 2 km--klakson motornya bisa bunyi puluhan kali. Kadang aku malu jika sesekali bapak salah menyapa orang. Tapi, bapak santai saja.
Kembali ke toko perabotan tadi, pernah sekali aku menyarankan bapak beli kursi plastik untuk menambah kursi di rumah jika banyak tamu. Bapak langsung beli delapan kursi astaga. Aku geram saat di toko itu. Tapi, bapak tetap haha hihi sama orang-orang di sana. Sampai rumah, ya aku ngambek. Padahal aku yang menyarankan. Bapak keseringan praktik tanpa perhitungan yang matang. Emang kita mau buka warung apa gimana kok banyak banget? Itu semua dijejer di ruang tamu juga nggak muat. Akhirnya bapak membagikan kursi-kursi itu ke kerabat. Ya Tuhan bapakku~
Pernah lagi, bapak inisaitif nanam cabai tanpa bilang ibu. Ya, pikiran bapak biar ibu terkejut gitu. Dan benar, ibu terkejut sekali. Bapak nanam cabai tepat di tempat jatuhnya air hujan. Sepanjang batas genteng samping rumah, bapak menanam bibit cabai. Bayangkan, bukannya hidup, tiap kali hujan, derasnya air akan langsung turun ke cabai-cabai itu. Saat itu, awalnya aku berpikir, apa yang salah? Bapak sudah berusaha bikin ibu senang. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari ibu, aku tahu, teorinya salah.
Hal seperti itu sering terjadi. Bapak banyak melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Ya karena kurang pertimbangan. Sedang ibu, selalu memberitahu aku untuk jadi orang yang supel. Tapi, ibu sendiri pada praktiknya lebih banyak diam. Ya, mungkin ada unsur kecenderungan kepribadian. Aku baru sadar jika mungkin saja ibu seorang introvert. Pada orang-orang dan situasi-situasi tertentu ibu bisa menjadi supel sekaligus super. Tapi tidak di segala hal. Sedangkan bapak yang super banyak omong. Beliau bisa berbaur di banyak tempat. Bahkan saat sedang marah dengan anak-anaknya, bapak bisa langsung haha hihi jika bertemu orang-orang. Itu kadang membuat aku dan kakak berpikir jika kami telah dimaafkan. Padahal ya memang demikian beliau. Jadi ya, saat bapak tidak suka atau sedang marah ke orang tersebut, barulah beliau lebih banyak diam. Dan jarang sekali aku menemui hal ini. Ah, jadi rindu kelakarnya.
Aku kadang takjub dengan ibu yang bisa melakukan banyak hal bahkan saat sendirian. Entah pekerjaan rumah yang umum dilakukan oleh seorang ibu atau bahkan yang biasa dilakukan seorang ayah. Membenahi genteng misal. Membersihkan selokan atau tanam menanam ibu bisa sendiri.
Aku juga terkesan dengan relasi yang dimiliki bapak. Teman seprofesi atau bahkan bos-bosnya, memperlakukan beliau secara sama. Teman masa muda hingga di akhir hidupnya masih sambung. Aku kadang bosan dengan obrolan template bapak ke teman-temannya via telpon. "Halo, kawan. Posisi di mana?" Ketika ke kampung halaman bapak, entah di daerah rumah nenek atau kakek, Kediri dan Jombang, beliau kenal setiap orang yang ditemuinya. Ah, jadi ingin mudik.
Ya sudah, itu sih yang ingin aku ceritakan. Entah teori atau praktik, keduanya sama-sama dibutuhkan. Untuk ekstrovert atau introvert, itu bukan acuan untuk kita menentukan langkah. Apa iya sih bapak atau ibu melakukan kebiasaan mereka karena cap kepribadian? Toh cap introvert dan ekstrovert baru kudapatkan tadi. Aku? Aku nggak tahu bagaimana aku di mata orang lain. Yang jelas jika dibilang banyak relasi, enggak juga. Dan kalo dibilang pinter karena teori, juga engga. Nggak tahu deh, akhir-akhir ini aku jadi tumpul. Susah bicara dan susah berpikir rasional. Mungkin efek WFH kali ya? Atau karena people changes aja. Cause losing someone changes me a lot.
Terakhir, di ulang tahun Abang ke 26 tahun ini (iya abang ulang tahun), semoga dia jadi orang yang baik. Nggak perlu sebaik bapak, tapi sebaik dirinya sendiri saja. Nggak usah muluk pake teori-teori kayak ibu kalo referensinya YouTube doang. Endingnya nanti cuma bilang kalo bumi itu datar dan corona selesai tanggal 7 Mei. Mending ngobrol dan berdiskusi layaknya orang dewasa. Kalo mau ngelucu silakan. Meski tentu, nggak lebih menyenangkan dari banyolan bapak. Tapi please, jangan jadikan aku objek lagi ya. Kalo kita berantem gak ada yang marahin, jadi stop.
Abang, mas, kakak. Dia bukan cuma my old brother. Dia seorang ayah sekaligus suami. I know I can't reach u as I want. But, I still love u and hate u so much. I know u can't reach this blog. I'm not your priorities of course. And if you get this link to, I'm sure you choose ignoring. But, it's okay. Thanks to be my second man in my life. One again, I hate u.
Date: in my brother birthday
Tidak ada komentar:
Posting Komentar