Halo!
Malam ini, suasana hati sendang tidak baik. Tapi, kalo nggak dipaksa nulis malah anxiety gak ketulungan.
Hm, mau bahas apa ya? Lanjut tentang Reply 1988 kemarin? Nggak deh. Aku juga belum selesai nonton. Sebagai gantinya aku akan cerita tentang obrolanku dengan ibu kemarin setelah nonton Reply 1988. Mengenai apa-apa yang kukepoi tentang tahun sekian.
Awal nonton series Reply, aku udah ngira-ngira. Di Indonesia, di sini, seperti apa ya? Kalo dalam film sih, latar yang disajikan udah top. Tapi, apa perbedaan perkembangan teknologi dan informasi bikin Indonesia cenderung primitif?
Ketika aku bercerita betapa aku takjub melihat di Korea pada masa itu sudah ada berbagai alat rumah tangga yang canggih, ibu tidak begitu banyak merespon. Tentang briket yang ditanam di suatu tempat untuk penghangat atau kompor gas, aku bercerita juga.
"Ya di sini juga sudah ada kompor gas! Apa ya merknya dulu? Hm Hitachi?" ibu menanggapiku sambil mengingat-ingat. Cabai, tomat, bawang, trasi, gula dan garam pada cobek di depannya sudah lumat jadi sambal trasi.
"Itu tahun 1988. Emang sampean umur berapa itu? Sudah di Surabaya?" ibu hanya mengiyakan pertanyaanku. "Apa di sini sudah ada alat untuk ngerekam gitu? Kayak kaset terus dimasukan di tape."
"Loh, ya ada dong." Kali itu ibu bersemangat. "Dulu, ibu sering rekaman-rekaman gitu. Bikin sandiwara radio."
Aku takjub ketika ibu menjelaskan lebih banyak. Ibu sudah sering bikin rekaman seperti yang kumaksud ketika masih duduk di bangku SMA. Itu artinya jauh sebelum tahun 1988. Sebentar, tahun berapa ya tepatnya? Mungkin sekitar awal tahun 80an. Pada saat itu, beliau membikin semacam rekaman teater. Katanya, ibu selalu berperan sebagai ibu-ibu. Haha, aku sedikit geli.
Cerita melebar. Meski aku banyak bertanya tentang bagaimana pemerintahan Suharto, ibu tidak dapat banyak menjelaskan. Meski lahir dan besar selama masa Suharto, ibu sepertinya tidak memiliki kesan yang bisa diceritakan--atau belum.
"Masa sampean nggak pernah ikut demo buk?"
"Yo nggak beranilah. Dulu itu, kalo ada orang dianggap jahat dikit langsung hilang."
What?
"Kalo demo demo ke sekolahan sih ibu berani. Malah ibu dulu yang mimpin." Lanjut ibu sambil beranjak dari tempatnya, berjalan menuju kompor. Aku terus menyimak sambil terus memarut singkong. "Sampai sekarang ini kalo teman-teman ibu telpon gitu, selalu bilang kalo ibu dicari kepala sekolah."
"Masa sih buk?"
"Iya, itu kebetulan guru Kimia. Ibu sering nggak masuk."
"Ha?" aku terkejut. "Ibu kenapa bolos?"
"Pulang."
"Yek, ibu dulu bolosan? Ya udah kalo aku bolos kelas jangan dimarahi." Dalam hati, aku mengingat-ingat jika selama ini pun ketika aku bilang sedang bolos, ibu emang nggak pernah marah. Cuma ngingetin aja.
"Ya dulu kan ibu masih SMA, kamu sudah kuliah. Beda dong. Lagian ibu bolos karena pelajaran Kimia hari Sabtu sore, bareng sama jadwal ibu pulang." Maksud ibu pulang adalah pulang kampung ke rumah. SMA ibu ada di kota tetangga, sekota sama kampusku saat ini.
"Lha aku dulu SMA nggak pernah bolos sama sekali. Sampean masih SMA sudah bolos. Kalo misal sampean dulu kuliah gimana nakalnya?"
"Ya nggak gitu dong, kan beda kondisi. Lagian kalo ngomongin nakal, temen ibu dulu nakal-nakal tapi ibu enggak terpengaruh. Mabuk dan main perempuan banyak. Cuma ibu bergaul ya seperlunya. Kalo cuma nolongin mereka pas mendem gitu, ibu sudah biasa. Tapi, nggak pernah ikutan."
"Nah, iya Buk. Temen-temenku sebenernya juga banyak yang kayak gitu. Apalagi pas teater." Setelah berpikir panjang sambil mendengarkan ibu bercerita, akhirnya aku menceritakan tentang sesuatu yang belum pernah aku ceritakan, hehe.
"Lha itu. Ibu sudah menyangka kayak gitu." Aku sedikit lega dengan jawaban ibu. "Temen-temen ibu yang ibu ceritakan tadi kebanyakan anak teater juga. Sandiwara radio tadi."
Ah.
Selanjutnya kami saling berbagi cerita. Dariku, tidak seluruhnya. Pintar-pintar aku menjelaskan tanpa celah dan sejujur mungkin. Tentang kenakalanku selama Teater 2 yang--ah! Sudahlah.
15 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar