Kamis, 28 Mei 2020

Just About Love

Hoho. Sangat terlambat ya.

Let's talk about Just About Love real version. Yap, jika mengikuti beberapa tulisanku sebelumnya mengenai Just About Love 1 sampai 5 serta Catatan Akhir Tahun, itu nggak lebih dari kisahku dan teman-teman yang kufiksikan. Awalnya iseng cuma buat salah satu temen yang nggak demen baca cerita fiksi. Bahkan, saat dia ngambil jurusan Sastra Indonesia yang normalnya suka sastra, dia sama sekali belum pernah nuntasin satu novel pun. Sebagai teman yang baik, ehem, mungkin bikin cerita fiksi dari kisah kami bakal bikin dia tertarik. Eh, nggak tahunya, bahkan sampe aku download-in aplikasi baca novel online dan kirim-kirim link tulisan itu nggak begitu pengaruh buat dia.

Setelah POV (point of view) pertama temen yang nggak suka baca fiksi itu aku lanjut ke temen-temen lain. Di kisah itu ada Ame, Aryn, Hana, Vera dan Mala. Aku juga ada di salah satu tokoh itu hehe. Bisa tebak aku yang mana? Hm, Mala. Aku memutuskan menggunakan nama seseorang yang mungkin aku benci untuk diriku sendiri, hehe. Iya, Mala-petaka wkwk. Sayang, cerita itu stuck. Banyak alasan yang bikin nggak lanjut. Padahal, aku ingin banget bercerita tentang kelima teman masa SMA-ku itu. Kalo kalian mengikuti blog ini sebelum challenge, mungkin ingat tentang RYFAR. Ya, merekalah RYFAR. Salah satu hal yang membuat aku bersyukur pernah sekolah di sana.

Sudah lama kami saling mengenal. Awal masuk SMA, tahun 2013. Aku, kebetulan duduk di sebelah Aryn--wkwk aku gunain nama fiksinya juga. Aryn ini lucu-lucu ngeselin gitu--kayaknya hampir semua gitu deh. Obrolan pertama kami ya tentang asal. Ketika dia mengatakan alamat rumahnya, aku bilang aku punya banyak saudara di sekitar situ. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Kami semakin akrab saja. Lalu, suatu hari aku curiga jika rumah yang dimaksud saudaraku adalah rumah Aryn karena clue-clue-nya sama. Dan, ternyata benar. Saat hari raya galungan, kami bertemu di rumahnya. Dia saudara yang kumaksud. Ah, ingatanku sangat buruk. Sedang Aryn, dia lola. Jika pun dia ingat tentang aku, pasti nggak akan mudeng tahu di mana. Wkwk.

Aryn Hindu. Teman-teman dekatku di SMP dulu juga Hindu. Tiap naik kelas, ada saja teman Hindu baru, jadi mudah saja aku bergaul dengan Aryn. Btw, ayah Aryn Islam. Seorang Islam yang rajin. Sedang ibunya Aryn juga rajin ke Pura. Aku selalu takjub ketika mendengar Aryn bercerita tentang keluarganya. Ah, bahasan agama kadang jadi isu sensitif. Tapi, tinggal dari mana dan bagaimana kita memandang kan? Aku yang dari kecil tidak mendapat ilmu agama langsung dari orang tua melainkan dari TPQ, mudah menerima dan--mungkin--bertoleransi. Aku juga punya saudara jauh lainnya yang malah punya tiga agama. Ini bukan karena meme yang baru-baru ini naik ya, itu beneran dan sudah lama sekali.

Lanjut, ah cerita tentang Aryn masih banyak padahal.

Ame. Dia teman yang jadi tujuan pembacaku sebelumnya. Dia yang satu jurusan denganku, Sastra Indonesia. Teman-teman RL pasti tahu siapa wkwk. Ame, tentu jadi satu-satunya teman yang masih dekat selama kuliah sampai sekarang--jika tidak sedang ada masalah atau pandemi, hehe. Aku dan Ame masuk ke kampus setelah melewati satu tahun penantian. Jika aku bekerja, maka Ame lain. Dia ke Pare untuk belajar bahasa Inggris.

Cerita tentang Ame, sama banyaknya dengan yang lain. Tapi, karena di kampus kami juga bersama--sebelumnya, maka akan rancu jika kutulis segala emosiku juga. Hehe. Jika Aryn lola alias loading lama, maka Ame lemot. Hm, apa ya istilahnya? Oh iya, kurang peka. Jadi, Ame kalo engga ditujukin berkali-kali suatau hal, dia nggak mudeng. Ya karena nggak peduli mungkin. Kalo Aryn kan gampang peka, cuma kayak pura-pura nggak tahu dan endingnya nggak tahu beneran. Bisa bayangin ketika aku dihadapkan sama mereka berdua. Sering nggak nyambung anjir.

Kayak kemarin. hari kedua lebaran, pagi-pagi Ame sudah ke rumah. Yaya, physical distancing. Tapi serius aku nggak open house. Cuma mereka aja yang datang lewat bawah tanah wkwk. Kami ngobrol lama di rumahku. Tapi, lanjutan obrolan di rumah Ame lebih lama. Yep, di sana aku bisa curhat tanpa takut kedengeran ibu hehe. Dan oh, aku sangat berharap teman-temanku lainnya juga bisa bergabung. Menyambungkan obrolan mereka susah sekali.

Aku berharap ada Vera saat itu. Teman yang mirip Google itu sangat pendiam. Tapi, sekalinya bicara pasti didengar. Kebalikanku deh pokoknya. Selain karena dia paling tua di antara kami, sikap Vera juga sangat dewasa. Ah, aku suka mengobrol dengan dia--padalah jarang bicara wkwk. Ketika masa setahun menunggu itu, Vera satu-satunya teman yang bisa kudatangi. Tentu aku lebih banyak bicara. Apapun topik yang kubahas dia bisa mengimbangi--dengan diam. Mau pake bahasa Using, Inggris, Korea bahkan bahasa Isyarat dia paham. Ah, Vera.

Vera tidak melanjutkan kuliah. Setelah gagal test yang kedua kalinya, dia kembali bekerja. Aku lebih dahulu bekerja. Tapi, Vera lebih lama--bahkan, sampai sekarang. Respect dengan ketahanan dia. Aku tahu bagaimana rasanya bekerja. Ada rasa jenuh dan kesal. Dan untuk tempat kerja Vera, ketika aku mendengar tentang tempat itu, itu tidak lebih baik dari pabrik. Entahlah, mungkin sekarang aturan yang berlaku di tempat kerjanya berbeda. Sudah lama kami tidak mengobrol. Terakhir saat di rumah Ame itu, aku tidak tahan dengan mereka berdua dan menelpon Vera. Ya, dia menghilang sedari pagi jadi kami tidak bisa menghubungi. Katanya, dia nggak boleh keluar sama ayahnya. Ya, sudah tidak apa.

Selain Vera, ada Hana yang bisa dengan sabar menghadapi kami. Ah, bahkan Hana bisa menyambungkan kami dengan anak-anak kelas kami lainnya. Dari semenjak teman-teman lain menyebut kami Vera CS, Hana memulai hubungan dengan teman-teman lainnya. Dengan otak cemerlang dan kepolosannya, dia bisa tertawa bersama--semoga--dengan teman-teman lain. Aku dan Hana sering jadi bahan bercanda teman-teman bangsat itu. Tapi, Hana lebih sering karena dia selalu merespon balik ejekan mereka. Kalo RYFAR lagi ngumpul dan engga ada Hana, rasanya juga nggak seru. Nggak ada bahan buli. Hehe. Meski aku gampang kena buli aku juga gampang ngebuli hehehe. Btw, ejekan atau bulian yang dimaksud ini yang versi guyon ya.

Sepandai-pandainya Hana, test SNMPTN cuma meloloskan mereka yang beruntung dan tepat sasaran. Dari kami berlima, hanya Aryn yang lolos. Ia terbang ke Malang. Aku yang nekad mempertaruhkan keberuntungan dengan bersikap bodoh dan bunuh diri, ya mati. Lalu, setelah test SBMPTN, hanya Hana yang keterima. Sayang, Hana tidak mengambilnya. Aku lupa, diterima di mana. Entah pendidikan matematika atau matematika murni, yang jelas dia malah memilih kuliah jurusan agama di kampus swasta dekat rumah dengan jaminan dari saudaranya jika lulus dari sana bisa langsung mengajar--jauh juga sih sebenernya.

Ame, aku dan Vera masih test SBMPTN lagi di tahun selanjutnya. Vera gagal dan mundur. Ame, juga gagal. Tapi, dia ikut test mandiri lagi. Dan wouw, aku terkejut ketika tahu tiba-tiba ada nama dia di daftar teman seangkatan di jurusanku. Ame banting setir dari jurusan kesehatan ke bahasa. Awalnya kupikir karena ikut-ikut aku saja, tapi dia mengelak dengan berbagai alasan. Ya, sudah iya.

Aku meminta Ame untuk segera membikin akun WhatsApp karena segala info maba dari sana. Obrolan di grup Line kami beralih ke WhatsApp. Teman-temanku itu, tidak ada yang kecanduan sosmed. Hanya aku dan Hana yang aktif di Facebook dan Instagram. Ame, baru membuat Facebook dan Instagram ketika kami minta. Vera, dia punya. Tentu, tanpa intervensi kami. Ouw, Vera kebalikan dari Ame yang mudah terpengaruh. Tapi, Vera jarang aktif. Sejarang dia berbicara wkwk. Dan Aryn, dia tidak punya sosmed. Ah, akun Facebook yang dulu sering kami tag adalah akunnya ketika SMP yang sudah mati. Instagram? Apalagi! Seingatku selama menyimpan kontak WhatsApp-nya, dia hanya sekali bikin story emot pohon. Ah Aryn.

Ketika mengenal istilah introvert dan ekstrovert lebih dalam, aku berpikir jika definisi introvert ada pada mereka. Kecuali Hana yang lebih ambivert. Ya, keaktifan Hana bersama teman-teman lainnya pun ada di saat-saat tertentu. Sedangkan aku? Hm, mungkin aku dulu cenderung introvert--atau kuper. Pada orang-orang baru atau orang-orang tertentu, aku memilih diam alih-alih berbicara. Pun, hal sebaliknya, juga kulakukan pada orang-orang tertentu. Ya, aku mengaku introvert dulu. Terlepas itu karena kurang pergaulan atau apa, yang jelas sekarang tidak. Ah, bukan maksudku aku sekarang gaul, bukan. Tidak! Hanya saja, membuka diri pada orang-orang baru itu perlu. Proses itu sulit, tapi terkurung pada masa lalu atau hal baru sungguh menyakitkan. Sampai detik ini, aku juga masih nyaman mengobrol dengan orang yang itu-itu saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk berbaur dengan yang lain. Jika dulu aku menghindar tiap teman-teman lainnya mengobrol hal tidak penting, sekarang juga iya wkwk. Ah, apasih ngelantur.

Jadi, ya kalau di Cerita Akhir Tahun itu aku terkesan menyedihkan, yaiya. Saat itu Aryn kuliah di Malang. Ame, di Kediri. Hana, sibuk sekali kuliah, mengajar dan berorganisasi. Sedang Vera terikat dengan tempat kerjanya. Ah jadi rindu berkumpul bersama. Beli kentaki di kantin tengah sambil gibah, makan bakso di Pak Lan pake kuah banyak, jajan es krim dan pedes-pedes di kantin depan sekolah, ah!

Sekarang, meski kami punya waktu dan tidak ada pandemi begini, rasanya kumpul berlima adalah mustahil. Hana, sudah di surga. September 2018, Hana meninggalkan kami. Dia kecelakaan ketika buru-buru berangkat ke kampus. Ah, aku ingat bagaimana bar-bar Hana dulu menyetir. Karena mengejar waktu sebuah acara pelantikan, dia kehilangan nyawa. Astaga, organisasi kuning Hana. Ah, semoga doa-doa dari sana juga menemani kepergian Hana. Temanmu ini, tidak begitu yakin doa-doanya akan terkabul hehe.

Ah, kalo ngomongin mereka nggak ada habisnya. Sudah dulu. Bye~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar