Aku tak yakin angka berapa yang ada di sudut ponsel datarku itu. Apakah kacamata ini sudah aus atau karena retak disudut ponsel setahun lalu membuat layarnya semakin buram? Adzan subuh belum terdengar bukan? Berarti paling tidak aku masih punya tiga jam untuk menyelesaikan laporan yang tinggal sepuluh persen lagi.
"Oah...." Entah yang keberapakalinya aku menguap. Tiga hari ini aku telah menghabiskan setoples permen kopi hanya untuk menemani bergadang. Hanya tinggal tiga biji yang tersisa dan kantukku semakin menjadi, belum lagi gigi yang terasa ngilu karena permen-permen itu.
"Greek... ngiik...jegreek...." Suara ensel pintu yang seret serta gebrakannya mengagetkan di keheningan. Sudah tentu itu Lili, siapa lagi yang bangun tengah malam dan membanting pintu sekeras itu kalau bukan dia? Aku sudah hafal gerak-geriknya di tengah malam begini. Dialah orang paling rajin ke kamar mandi, entah untuk kencing atau wudhu sholat malam.
Aku kembali memfokuskan diri pada laporan-laporan yang masih setia melambai-lambai seakan aku tak memiliki hal lain yang harus dilakukan selain menyentuhnya. Namun, gebrakan pintu barusan sukses membuatku kehilangan gagasan yang tadinya sudah muncul di otak. Ayolah... hanya tinggal kesimpulan, kenapa stuck seperti ini? Lain kali Lili harus kuperingatkan--lagi--untuk lebih halus menutup pintu.
Aku menggamit ponsel yang daritadi hanya kupandang dari jauh. Sebenarnya jam berapa sih sekarang? Ah, masih pukul tiga. Sepertinya aku masih punya waktu lebih, bolehlah sedikit merefresh diri. Segera kuaktifkan sambungan wifi yang tersedia di kosku. Enampuluh sembilan pesan dari duabelas chat, tiga diantaranya dari grup kelas, dua yang lain dari grup ormawa, satu dari mama dan sisanya personal chat. Malam-malam begini siapa yang iseng mengirim pesan? Padahal baru lima jam yang lalu aku off.
Ternyata enam orang itu hanya mengomentari status yang kubuat sebelumnya. Ya, aku bukan kids jaman now yang punya berbagai akun medsos. Satu-satunya media komunikasiku hanya ini dan itupun aku jarang mengupdate status. Jadi pantas saja selarut ini mereka berani bercuit.
Aku membuang napas berat saat tahu satu diantaranya adalah dia. Dia, lelaki itu adalah orang yang baik, sangat baik malah. Dia yang setia kepadaku sejak kami masih mengenakan seragam putih dan biru tua. Dia yang selalu mengingatkanku untuk sembahyang saat waktunya tiba. Dia yang selalu membangunkanku di pagi buta pada waktu-waktu ujian. Dia yang selalu memberiku nasehat-nasehat bijak kala aku terpuruk. Dia yang.... Ah, dia hanya temanku.
Aku membalas pesan singkatnya yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan statusku. Malas, ku alihkan perhatian pada status teman-teman. Hana, gadis itu selalu mengupdate hadist dan sunah-sunah dalam agamanya. Aku tak paham apa maksudnya tapi kelihatannya selama kami punya jarak karena keadaan, kepribadiannya berubah. Tak heran juga, dia kuliah di perguruan tinggi yang syarat akan nilai agama.
Lain dengan Hana, Mala sangat random. Kadang berpuitis ria menelurkan kalimat-kalimat yang kadang susah dicerna. Kadang memamerkan kesehariannya yang konyol. Kadang bernostalgia dengan memasang foto-foto kami dulu. Kadang menulis tulisan asing--Korea--yang, ayolah siapa juga yang bisa membacanya.
Aku menskip status Mala yang sudah seperti mesin jahit di lingkarluarnya serta beberapa teman lain. Kemudian menscrool kebawah mencari status Vera dan ternyata nihil. Sejak awal dia memang tak sekalipun menampakkan diri, apalagi sekedar status seperti itu.
Tepat di urutan terbawah tertera nama Ame. Dia hanya menulis kata-kata sederhana tentang kerinduan. Rindu? Kepada orang tuanya kah? Bukankah dia yang paling sering mengunjungi orang tuanya? Eh, apa mungkin dia merahasiakan sesuatu? Memang tak terlihat puitis tapi kata-kata rindunya seakan dia sedang jatuh cinta sekaligus patah hati. Whats wrong with her?
Tepat saat aku akan mengakhiri hiburan singkat itu, ponsel ini bergetar. Dia membalas. Belum sempat aku membaca pesannya, muncul satu pesan baru. Dari Mala. Aku menyentuh tulisan namanya terlebih dahulu sebelum dia meneror. Benar saja, belum satu menit dia telah menjejaliku banyak pesan. Satu diantaranya membuatku terbelalak.
Jangan bilang kamu nugas sambil chatting sama dia.
Bagaimana Mala bisa tahu?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar