Dikisahkan pada suatu masa, di suatu dunia yang mirip dunia kita, seseorang berkesempatan mengunjungi dunia lain. Jika kalian pernah menonton film Narnia, ya semacam itulah. Tapi, ini ada di dekat kita. Sangat dekat. Lahir dari imaji yang terkunci dunia sesungguhnya. Menyelinap masuk seperti pencuri dengan mempertaruhkan hidup.
Berkat ketidakmampuan, dia berkesempatan merasakan sempitnya hidup yang dikekang keadaan. Juga, karena kelancangannya, dia mengenal pesohor lewat keanehan yang berulang. Pintu, jendela, lukisan. Pintu, kuda, siluman. Pintu, lantai, kasur. Pintu, pintu, kosong. Ah, dia muncul. Dia telah datang.
Tubuhnya seperti manusia. Tapi, bukan manusia. Separuh ke bawah seperti kuda. Tapi, bukan juga kuda. Hmm, iya seperti makhluk di film Narnia itu. Tapi, berbeda. Tangannya hilang. Kakinya juga tidak lengkap empat. Oh, astaga. Maaf, dia cacat.
Aku bergidik. Bukankah kami tadi berbicara mengenai duyung? Bangsa duyung. Itu, manusia setengah ikan yang cantik-cantik. Ya, di cerita dongeng cantik. Tapi, kenapa bukannya air, kami malah menemui titik ajaib mengejutkan lainnya. Dan lagi, apa hubungannya dengan tetangga yang kaya raya? Pintar? Tampan? Ah, lebih dari itu. Si baik hati yang beruntung. Luas. Kami bertemu dan saling kenal. Ada harap di sana. Juga, mantra-mantra cinta. Kami satu dunia. Bertandang ke dunia baru bersama. Terketuk pintu dan dada. Si putri duyung tak juga berkunjung.
Akhirnya, aku terbangun. Mengingat dan mengingat lagi. Aku ada di kamar bapak yang baru sempat kubersihkan beberapa hari yang lalu. Ruang sempit? Tidak sesempit mimpiku tadi. Dan oh, ibu sudah memanggil-manggil hampir marah. Mark Kaban. Apa? Siapa? Bagaimana kelanjutannya?
Aku kembali ke alam itu. Tak ada yang aneh. Cukup menakjubkan ketika aku bertemu 'teman cacat' tadi. Mari kita sebut Tralala. Dia baik. Umurnya jauh lebih tua. Tapi di dunianya, mungkin kami seumuran. Dia banyak bercerita dan kami senang mendengarkan. Tidak seperti kelihatannya, dia amat baik. Tralala juga berkisah tentang Mark Kaban. Bodohnya, aku lupa bagaimana ia bercerita. Aku juga bertanya mengenai putri duyung. Apa Tralala mengenalnya? Sungguh, aku lupa jawabnya.
Kemudian aku terbangun lagi. Panjang sekali mimpi tadi. Apa sekarang sudah siang? Bukannya ibu tadi memintaku bertakziah ke sanak yang meninggal dunia? Kenapa masih tenang saja.
Aku bangkit. Ibu sedang menata gawan. Sedang keponakan yang entah kapan datang sudah wara-wiri merecok. Aku berjalan ke kamarku. Melirik ponsel yang, oh, masih sangat pagi. Belum juga setengan tujuh. Tapi, sepertinya tidurku lama sekali. Ah, Mark Kaban. Setelahnya, aku bertekad. Mark Kaban harus hidup. Harus.
Sampai akhirnya malam ini. Di detik-detik terakhir tanggal 19 ini, Mark Kaban belum juga bangun dari alamnya. Aku, jembatan penyambung sekaligus pembawa kisahnya masih haha hihi dengan penyakit diri. Juga, waktu-waktu jahat yang membikin aku terus menyesal. Ah, tidur. Menyebalkan sekali. Ah, bangun. Aku lelah.
Berjalan pergi. Menolak ajakan tapi terus mengajak. Menerima ajakan tapi terus menyesal. Mengajak dan terus mengajak. Aku, padu. Lelah, lelah. Dunia. Ada tamu. Tidak apa. Agak sedih. Dari luar kota. Tidak apa. Teman mengobrol ibu. Ya, apa lagi. Mereka juga sama sedih. Ketika main ke sini, tidak ada si dalang lagi. Haha, aku memilih tidak ambil pusing dan tersenyum seumum mungkin. Lalu, ke kamar dan berpura-pura tidur. Ah, jadi ingat seseorang. Pak dalang.
Lalu, aku dibangunkan oleh tamu-tamu tadi. Mereka berkata akan pulang. Aku bangun di tengah tidak tidurku. Menjabat tangan satu per satu dengan enggan. Ibu? Saling berpelukan dan saling tersenyum kecut. Ah, tidak biasanya begitu. Ya, biasanya biasa, enggak gitu. Saling mendoakan kesehatan iya, tapi nggak gitu. Serius.
Mereka pergi. Mobil berwarna hijau yang aku yakini pagi tadi sempat bersalipan denganku di jalan meninggalkan halaman. Ah, sudah lama sekali tidak ada Mobil terparkir di depan rumah. Terakhir? Mobil ambulan? Ah, tidak. Beberapa kali sempat ada tamu-tamu lain. Rekan pak dalang yang bertandang. Tidak banyak dan terasa kosong.
Ah, kosong. Kosong. Kosong.
Lama betul aku tak berulah menceritakan betapa aku rindu beliau di blog ini. Rasanya, rasanya, ah Mark Kaban. Aku sudah lupa bagaimana cerita Mark Kaban yang sesungguhnya. Waktu yang panjang ini, kenapa singkat sekali. Bahkan, malamku. Malam yang tak kuhabiskan untuk beribadah atau menuntut ilmu, tidak pernah benar-benar jadi milikku.
Haha, sekian kisah membingungkan malam ini. Semoga bertemu dengan kisah Mark Kaban di lain waktu. Semoga juga pak dalang bahagia di sana. Semoga, kita semua juga bahagia. Selamat malam.
19 Mei 2020
23.23
23.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar