Tiba-tiba aku teringat salah satu lagu yang diajarkan guru TK-ku dulu.
Rukun Islam yang lima. Syahadat. Sholat. Puasa. Zakat untuk si bapak. Haji bagi yang kuasa. Siapa belum sholat? Dosa. Siapa belum zakat?
~~~
~~~
Aku lupa bagaimana lirik lanjutannya, yang jelas lagu itu dinyanyikan menggunakan nada balonku ada lima.
Malam tadi--ah sekarang malam juga, pikiran tentang 'zakat adalah rukun islam', terbersit begitu saja. Lalu, mengingat lagi. Apa rukun Islam yang lain? Ya, nada lagu balonku itu muncul begitu saja. Dalam hati aku bernyanyi. Sepertinya aku sudah melakukan rukun Islam tersebut selain haji. Haji bagi yang kuasa.
Syahadat, tanpa aku gaungkan pun aku auto melewati fase itu. Sholat? Aku akrab dengan aktivitas itu sedari kecil. Eng, nggak bener-bener konsisten, tapi pernah khusyuk hehe. Cuma akhir-akhir ini, hmmm ya begitulah. Lalu tentang puasa, aku akrab juga. Dulu, aku nggak tahu hukum wajib yang kayak gimana. Intinya, mengerjakan aktivitas islami yang udah jadi tradisi. Nggak ada role model tertentu untuk itu. Hanya kebiasaan.
Syahadat, tanpa aku gaungkan pun aku auto melewati fase itu. Sholat? Aku akrab dengan aktivitas itu sedari kecil. Eng, nggak bener-bener konsisten, tapi pernah khusyuk hehe. Cuma akhir-akhir ini, hmmm ya begitulah. Lalu tentang puasa, aku akrab juga. Dulu, aku nggak tahu hukum wajib yang kayak gimana. Intinya, mengerjakan aktivitas islami yang udah jadi tradisi. Nggak ada role model tertentu untuk itu. Hanya kebiasaan.
Soal zakat, itu perkara yang ingin aku kisahkan lebih panjang. Ya, malam ini zakat. Aktivitas tahunan berdasarkan tahun hijriah malam ini adalah takbir. Takbir pertama tanpa Bapak. Zakat pertama tanpa Bapak. Ah, sayang.
Setelah buka puasa tadi, pintu rumah terketuk. Ada tamu. Seorang tetangga datang memberi zakat. Ibu berterima kasih. Aku yang sedang berada di kamar, tengah menyusun kata untuk update status Facebook. Rasanya, lama sekali tidak posting di sana. Akhirnya, salah satu draft kata-kata kukirim.
Kata, "sekeluarga" kini sangat menyakitkan.
Aku sadar itu kalimat sensitif jika berada di dunia Facebook yang kebanyakan sanak dan tentangga yang peduli, tapi malah bikin sedih. Padahal I just want to express my feeling. Nggak sampe satu menit, aku dengar suara isak. Kutengok ibu berlinang air mata. Ah, shit. Why? Tanpa pikir panjang aku langsung hapus status Facebook barusan. Ah, aku yakin ibu menangis bukan karena status itu. Tapi karena zakat barusan.
Hmm, tahun-tahun sebelumnya kami juga dapat zakat sih. Tapi, entah kenapa sekarang rasanya bikin nelangsa gitu. Aku sedikit sok kuat di depan ibu. Bilang, ngapain sih nangis. Cuma gitu aja. Udahlah, nggak usah ditangisi. Dengan sedikit nyelekit aku kembali ke kamar mainin hape. Sambat di Twiter. Oh, guys if my tweets about my dad bother you, please skip.
Seperti rencana semula, aku siap-siap ke musola untuk zakat. Yaz, pikiranku udah kacau karena tangisan ibu. Aku nggak bisa membayangkan pergi ke musola sendiri dengan membawa dua kantong beras. Ah, biasanya urusan zakat, bapak dan aku yang mengantar. Dua tahun terakhir, kami hanya membawa tiga kantong karena Abang sudah berkeluarga sendiri. Sedang tahun ini, aku membawa dua kantong saja. Sendiri. Ah, how I can hold back these tears?
Aku ke rumah sepupu. Ngajakin dia barengan. Singkat cerita, aku ikut mereka. Pas balik ke rumah, ibu masih sesenggukan. Hahaha, aku sok kuat lagi. Mengalihkan perhatian dengan nanya gimana niat zakat. Aku ketawa haha hihi memamerkan kebodohanku kepada ibu karena lupa niat zakat. Lalu, aku ke kamar mandi. Ngapain? Wudhu. Iya, aku bilang wudhu. But, I'm crying. Fucking my self. I just need my father here. He did everything when lebaran coming. Who care about food and set the house. Who got mad and talk to more with me. And the final, on the day, he kiss me. Oh, God. How.
When I think again, ahhhh.
Setelah balik dari musola, saat aku akan merekam podcast dengan teman-teman, seorang teman menghubungi. Ah, kami sedang dalam masa renggang. And taraaa, dia telpon video dengan mata merah. Katanya, dia takut mau menghubungiku. Dan aku sendiri sudah muak. Ya, dia mungkin 'sedikit' melakukan kesalahan. Tapi, aku mencoba memaklumi itu lagi karena dia pernah melakukan hal yang lebih menyakitkan lainnya. But, when I talk to her about what I feel. Tentang apa yang aku lakukan sekarang, apa yang terjadi padaku saat ini, aku nggak bisa menahan tangis. Bangsat. Aku menangis sesenggukan. Dia hanya menungguku menangis. Aku, sambil mengingat-ingat lagi hal-hal menyakitkan yang baru-baru ini terjadi, yang aku coba untuk tidak mengkambinghitamkan dia, aku tetap menangis. Ah, menyedihkan. Aku malu dengan ibu yang pasti mendengar dari luar. Aku, aku malu kepada diriku sendiri.
Pernyataan tentang yang lebih cinta ialah yang lebih merasa tersakiti dan selalu mengalah sudah terpatri di pikiranku dari dahulu. Tentang cinta itu, ubahlah ke bentuk perasaan lain. Teman. Oh, teman.
Ya begitu saja. Perkara lebaran dengan new normal begini, nggak apa. Sakitnya iya. Sedihnya juga. Ah, nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi besok. Dari sepanjang puasa, ketidakhadiran bapak sudah merupakan hal berat. Sangat. Apalagi besok. Hahaha. Aku sedikit berterimakasih dengan pandemi ini. Berkat adanya dia, aku tidak perlu repot-repot buka rumah untuk menerima tamu. Bapak, pak dalang yang sudah berpulang, tidak bisa menerima tamu. Kami, keluarganya yang belum juga terbiasa menghadapi obrolan semacam itu dari orang asing, dihindarkan dari situasi demikian. Tapi, lebih dari itu, panggilan seorang teman tadi sedikit mengalihkan perhatian. Dari satu kesesakan ke kesesakan lainnya.
Jahat memang. Tapi, Tuhan, lebih dari apapun, dosaku Kepada-Mu tak terkira. Maaf dan terimakasih. Teman dan para pembaca sekalian, terimakasih. Pukulan di tengkukku harusnya lebih sakit lagi. Mohon maaf lahir dan batin.
Ya begitu saja. Perkara lebaran dengan new normal begini, nggak apa. Sakitnya iya. Sedihnya juga. Ah, nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi besok. Dari sepanjang puasa, ketidakhadiran bapak sudah merupakan hal berat. Sangat. Apalagi besok. Hahaha. Aku sedikit berterimakasih dengan pandemi ini. Berkat adanya dia, aku tidak perlu repot-repot buka rumah untuk menerima tamu. Bapak, pak dalang yang sudah berpulang, tidak bisa menerima tamu. Kami, keluarganya yang belum juga terbiasa menghadapi obrolan semacam itu dari orang asing, dihindarkan dari situasi demikian. Tapi, lebih dari itu, panggilan seorang teman tadi sedikit mengalihkan perhatian. Dari satu kesesakan ke kesesakan lainnya.
Jahat memang. Tapi, Tuhan, lebih dari apapun, dosaku Kepada-Mu tak terkira. Maaf dan terimakasih. Teman dan para pembaca sekalian, terimakasih. Pukulan di tengkukku harusnya lebih sakit lagi. Mohon maaf lahir dan batin.
23 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar