Sabtu, 28 September 2019

Aku dan Kisahku

3.48 WIB

Halo, hehe...
Selamat pagi mata. Sambatan biarlah sebatas dengung lagu. Irama balada dengan lirik delik.

Tidak ada hal spesial untuk kisah kali ini. Hanya ingin. Baru saja ingatan berjalan ke masa lalu. Bukan sebatas membaca atau mengenang saja. De javu yang tersengaja. Ah, bangsat sekali hidup ini. Bodohnya ya aku tetap memasang senyum. Iya senyum. Bodoh.

Baiklah, mari berbicara masa lalu yang berhubungan dengan mimpi dahulu. Ya mimpi secara istilah, harfiah atau apapun itulah. Pada dasarnya, kecintaanku pada Korea memang terikat oleh waktu. Rindu playlist lama yang itu-itu saja membawa pada bincang panjang perjalanan remaja. Ngerekam soundtrack drama Korea yang tayang pake hape Nokia 6300 tanpa kartu memori. Terus didengerin deh suara kemeresek itu pas mau tidur. Kedenger tuh suara ibuk pas teriak-teriak bilang jangan nonton TV terus.

Sampai beberapa waktu kemudian suara itu dirindukan. Saat mengingat masa dulu, padatnya aktivitas rumah (memasak, mencuci dan lainnya), tugas dan tanggungan belajar, masih sempat-sempatnya ya nontonin drama Korea sekalian nulis lirik yang tidak jelas itu. Dan dari rekaman menumpuk itu, yang dirindukan tidak hanya lagu, instrumen atau feelnya saja, tapi omelan ibuk. Jika aku sudah terbiasa ditinggal ke luar kota oleh bapak, maka saat itu aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup jauh dengan ibuk.

Saat itu SMP, jamannya City Hunter, 49 Days, Secret Garden, Dong Yi, Bread Love and Dream, The Moon, dan buanyak lainnya. Ga bisa kesebut satu-satu dong. Dan, saat terlewat saja satu segmen atau beberapa detik saja, hancur sudah hariku. Apalagi jika pas sore ada pertandingan bola, bisa sehari aku bakal monyong di depan bapak. Lampu mati itu mimpi buruk. Ah, di tengah-tengah itu semua aku masih ngerjain semua tugas rumah, belajar, bikin-bikin kerajinan tangan aneh-aneh kayak di TV, nulis catatan harian, baca novel, bikin puisi, berimajinasi dan nangis. Sekarang ma apa aku? Bisanya cuma mikirin hal ga penting, hehe.

Masa SMP itu tuh masa paling berkesan. Sekaligus masa-masa yang nggak ingin banget aku alami lagi. Bahkan, jika beneran ada time treveller ngajakin jalan-jalan gratis ke masa lalu, aku tidak ingin!

Bisa lulus dengan nilai empat besar tertinggi pararel dan pernah memenangkan beberapa lomba di kondisi saat itu bener-bener survive rasanya. Tapi, kebanggaanku pada diriku masa itu lebur karena pikiran bodoh yang terus muncul. Ah, bangsat. Kenapa dulu aku tidak berpikir jika orang baik tidak selalu baik?

Jadi, saat kelas VIII, aku masuk ke kelas eee eksklusiflah~ banyak dong murid pinter. Tapi, banyak juga sih yang bacod. Eh, tapi setelah persami, waktu itu, tiba-tiba saja.... ah... bodoh ah... bodo amat dah!

Intinya, selama kelas VIII aku kena buli gegara omongan ga bener anak-anak. Ada yang bilang aku suka sama seorang temen di kelas yang pada kenyataannya sama sekali enggak. Kalaupun iya, ya kenapa juga gitu? Pokoknya kejadian itu bener-bener bikin aku jadi mundur dari pergaulan. Bangsat memang! Dan parahnya lagi, dengar-dengar isu itu muncul dari temen pendiem yang tidak pernah kuduga. Kemudian jatuh pada lambe-lambe julit yang ke sekolah buat nampang doang. Astaghfirullah... hehehe.

Sejak saat itu, aku menghindar dari temen laki-laki. Bahkan, temen-temen deket laki-laki kelas VII dulu kuhindari juga. Aku juga tidak saling sapa dengan teman laki-laki yang sangat dekat sejak kecil di sekolah. Efeknya besar sekali buatku. Gila saja, omongan-omongan goblok itu tersebar ke seluruh angkatan, bangsat. Padahal itu cowok yang dibilang anak-anak tidak begitu mengangumkan. Sampai lulus, hanya beberapa nama yang kuingat menjadi nama baik. Lainnya, hanya tokoh antagonis dan pengikut-pengikutnya.

Jangan dikira SMA beda. Beberapa dedengkot dan bahkan tokoh-tokoh kontroversial dalam masalah itu sialnya satu almamater lagi. Tak ada bahasan mendalam tentang itu. Klarifikasi-klarifikasi hanya untuk orang-orang yang mau berpikir saja. Sisanya ya sama asumsi masing-masing. Gerakku nggak bebas.Mata-mata mereka seakan masih menyorot tajam seperti di kelas dulu. O iya, ada yang satu ekskul pula. Mendebarkannya hidupku.

Untung saja aku bertemu dengan RYFAR, Almh. Ristin, Yesi, Fikoh, Aku dan Rima. Kekanakan memang, tapi dengan mereka aku benar-benar bahagia. Terserah mau bilang kami introver atau apa, toh kenyamanan orang beda-beda. Sampai detik ini sepertinya mereka sendiri tak tahu jika mereka obatku. Cerita kelam yang tidak pernah kuumbar-umbar tentunya. Ah, rindu mereka. Mereka yang tak lagi bersama.

Alasan lain mengapa aku dulu tidak ingin kuliah di universitas negeri terdekat adalah kemungkinan bertemu orang-orang itu. Dan saat takdir membawaku pada masa lain dan dengan orang-orang asing, aku bersyukur. Meski takdir membawa pada tempat yang sama, masa kami berbeda. Itu lebih baik.

Aku ya tetap aku. Dari dulu ya emang begini. Khususnya pas SMA, palingan pas ngereceh gitu diledek dan ditinggal pergi. Siapapun itu, temen yang mana saja. Cuma ya gitu, pas ada ledekan yang bener-bener ga bener. Apapun itu, kadang suka gedek. Setelah kelam-kelam SMP itu sih aku mencoba berpikir positif. SEMUA OMONGAN GA BENER ADALAH GUYON. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang berlebih. Nyali  ilang. Seingatku, baru ada satu orang yang pernah kuceritakan kisah ini. Dua, dengan adik sepupu deng. Jelas, ini menyakitkan. Peduli amat misinformasi atau disinformasi, mereka aja ga peduli kok itu info bener nggaknya. Dan, saat aku berani menulis di sini, aku belajar lagi. Tidak, bukan untuk memaafkan, karena maafku murah, mudah. Hanya obat. Saat aku berstatus pasien, Tuhan mengambil obatku. Jadi, saat aku sehat begini (semoga), semoga sakit itu bisa hilang.

Selamat pagi. Adzan Subuh sudah berkumandang 40 menit yang lalu. Ah, lagi-lagi antusias menulis datang saat banyak tugas. Ah... Ah... Ah.... Ya sudah sih. Emang pertolongan pertama pada rasa sakit hati kayaknya menulis deh. Semoga hari yang 'seperti' hari ini tidak menyakitkan lagi. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar