Sabtu, 19 Februari 2022

Bisakah Kamu Mengukur Cinta?

Sebagai orang yang masih belum paham tentang jatuh cinta, aku pernah mengukur cinta. 

Ah, berlebihan menyebutnya cinta karena itu masih dalam tahap ke cinta, jatuh. Tepatnya dua tahun yang lalu, aku membuat parameter tentang itu. Sekali lagi, ini bukan sebuah cinta. Hanya tolak ukur untuk mengetahui apakah aku benar-benar jatuh cinta atau hanya jatuh saja. 

Parameter itu tak bernama. Hanya sebuah utas tak jelas seperti biasanya. Untaian angka-angka dengan aksara latin menggunakan bahasa Indonesia. Dimulai dari 'satu' karena dengan aku membuat utas itu adalah sebuah usaha jika aku telah menghapus dia. Setidaknya dari jejak digital yang seringnya membuat dadaku sesak sampai meledak. Jika orang itu lewat di pikiran, maka aku akan menulis ia lewat angka.

Saat itu aku mulai meyakinkan diri, jika aku tak sedang jatuh cinta. Hanya ketertarikan sesaat seperti biasanya. Sejak dulu kan begitu. Orang terakhir ditemui, adalah orang yang terberkas. Nah, konsepnya seperti itu. Meski tidak valid karena kami tidak bertemu seintens itu dan dia juga bukan orang terakhir, aku tetap menggunakan teori cacat itu. 

Selanjutnya, setelah angka 'satu' tercatat sebagai dasar, aku kembali ditarik ke kelaman. Magnetnya begitu kuat. Aku ada pada angka 'nol'. Angka yang harusnya netral itu jadi bernilai. Bernilai satu sebagai langkah mundur yang menunjukkan jika aku lengah. Ada dia di pikiranku. Singkat memang, tapu efeknya tak hanya sesaat. Sampai aku terus-terusan memikirkannya. Dan masih di hari yang sama, parameter itu telah menunjukkan angka dua. Tidak, bukan naik. Melainkan turun. Terus turun sampai ke 'negatif dua'. Aku kalah lagi. 

Keesokannya semakin parah. Negatifnya bertambah. Kini, 'negatif tiga'. Kemudian, untaian itu berubah aneh. Aku tak tahu pola matematika apa yang kugunakan. Tapi, aku menulsikan 'akar pangkat satu'. Tidak jelas. Maksudnya tetap satu? Ya karena misal aku lupa membubuhkan kata negatif, hasilnya ya tetap positif. Apakah ini alibiku untuk menyangkal perasaanku. Dengan memaksanya lompat ke daratan padahal harusnya aku harus menyelam? Nah kan, benar. Selanjutnya saja kuadrat. Ya apa bedanya kan?

Beberapa hari kemudian saat diriku sudah bernegosiasi dengan sebagian diriku yang lain hasilnya tiba-tiba jadi 'negatif tiga koma lima'. Pertanyaannya, memang gapnya sebanyak itu atau aku saja yang tak teliti membubuhkan negatif di keterangan angka yang sebelumnya. Entah. Yang jelas hari itu keterpurukan semakin menjadi dengan beralih ke 'negatif empat'.

Hari berikutnya seperti yang diduga, turun satu tingkat lagi jadi 'negatif lima'. Ini sangat mengkhawatirkan karena rasanya sulit untuk memberi rasionalisasi pada apa-apa yang kulakukan saat itu. Jadi, poin itu bisa saja bentuk kepasrahanku pada keadaan. 

Aku bisa sedikit mengendalikan diri keesokannya. Hasilnya bertambah satu. Poin sebelumnya, berubah jadi poin sebelumnya lagi, 'negatif empat'. Sayangnya, selang satu hari, poin kembali ke 'negatif lima' lagi. Menyebalkan. Dan alangkah menyebalkan huruf 'negatif' jadi diikuti angka 'tujuh' kala sampai tanggal tujuh di bulan favoritku, gila. Ya, aku semakin menggila. 

Huruf -huruf bertuliskan 'negatif delapan' tertera di utas selanjutnya. Setelah lewat dua hari, di hari yang sama angkanya turun lagi. Yap, di tanggal sembilan itu pula, nilainya jadi 'negatif sembilan'. Menyedihkan. Akhirnya aku mengakhiri utas itu di tanggal ke sepuluh dengan nilai 'negatif sepuluh'.

Tak kutulis alasan jelasku menghentikan utas itu karena tak kutulis juga alasanku memulainya. Namun, penjelasan yang kuungkap berhari-hari kemudian berkata jika kuteruskan hasilnya tetap akan terus menerus negatif. Aku menyerah dan pasrah. Memilih berjalan beriringan bersama. Seperti kisah yang kutulis sebelumnya. Life on, alih-alih move on. Jadi, sepertinya aku sudah sepemikiran dengan diriku di saat itu. 

Dan, hey! Ngomong-ngomong, jika utas itu diteruskan sampai sekarang berapa ya hasilnya? Utas dari dua tahun yang lalu.

Minggu, 06 Februari 2022

Our Beloved Winter: Moving On

Setiap orang punya cara tersendiri untuk lari dari masa lalu, melupakan. 

Our Beloved Winter: Moving On, judul yang cukup sulit untuk kudapatkan. Mengacu pada judul, harusnya tulisan ini membahas lagu Kyuhyun--idol K-pop favoritku, Moving On yang setingnya ada di musim dingin. Apalagi, aku lagi nonton Our Beloved Summer. Nah, pas banget buat ngetriger karena inti ceritanya tentang move on. Yah, meski endingnya beda sama MV Moving On Kyu.

Sayangnya, aku terlalu malas merangkai kata berdasarkan data. Aku kehabisan semangat menulis--apapun itu. Mungkin karena lagi langganan Netflix serta gencar ngejar film dan series sejarah. Tapi, mungkin juga karena pikiranku yang kalut. Lain kali, aku mau bahas skripsi yang jadi salah satu faktor beban. Sekarang, aku mau bahas tentang perasaan. Iya, bahasan yang biasa dan sering aku curahkan di sini. 

Di usiaku yang udah hampir setengah abad ini, aku nggak sedang suka seseorang atau mendambakan sebuah hubungan. Mencoba berpikir apa alasannya. Aku pernah yakin jika self love adalah alasan utama. Ingin mencintai diri sendiri sebelum membuka diri untuk dicintai. Pernah juga berpikir kalau K-pop, K-drama, film, novel, mimpi--literally, tulisan-tulisan, dan segala imajinasi sudah lebih dari cukup menemani. Sudah bisa bikin aku bahagia. Namun, rasanya masih ada yang mengganjal. 

Biasanya hubungannya dengan masa lalu. Seperti hal yang lazim ditemui di banyak orang; move on. Sialnya, hal yang mengganjal itu adalah perkara gagal, perkara yang dapat predikat kalah. Namun, aku menampis itu. Sangat. Katai saja aku denial, karena aku sadar jika ini bukan bentuk gagal move on. Aku hanya sering terseret ke masa itu. Ke perasaan itu. 

Aku memang orang yang demikian. Alih-alih gagal move on, sepertinya lebih pantas disebut memelihara ingatan. Meski sakit, ada sepercik api yang jadi kembang di sebuah perayaan. Panas, iya. Melukai, mungkin jika tak hati-hati. Terangnya tak seberapa, tapi bakal mencolok di kegelapan. Segelap hidupku saat itu. Berkali aku menangis karenanya. Dalam diam dan ketidaktahuan. Ketidaktahuannya dan ketidaktahuanku. Ada keanehan di dalam perut yang akhirnya teredam oleh logika. Katanya itu kupu-kupu. Tapi, aku tak yakin karena hanya sesaat dan lebih banyak sakitnya. Percikan kembang api lebih cocok untuk penyebutannya.

Mungkin ini fase yang biasa orang alami; sesal. Penyesalan memang selalu datang di akhir, tapi menyesal adalah sebuah pilihan. Perkara rasa, perkara cinta, makhluk-makhluk yang disebut manusia itu bakal menemui fase 'kok aku dulu nangisin orang kayak dia ya' kala mereka mengakhiri hubungan dengan seseorang yang dianggap belahan jiwanya. Meski tak pernah merasakan jatuh cinta secara utuh, aku pernah ada di fase itu. Pernyataan yang perlu disambut oleh pernyataan lain dari diri sendiri, bak tanya jawab. Menonton sebuah film bodoh lewat ingatan. 

Kenapa dulu aku bisa tiba-tiba nangis saat namanya lewat di ingatan? Kenapa pikiranku hanya tertuju padanya padahal aku punya banyak kesibukan? Kenapa aku tak lagi leluasa menatap matanya? Ada sedikit rasa sakit saat degup di dada muncul dengan terlambat. Rasa sakit menahun yang kian lama bekasnya melebar. Tertimbun jadi cerita yang tak jelas akhirnya. Sesak, sesak sekali. Mungkin itu jadi alasanku tidak lekas membuka diri. Mungkin meski aku bilang sudah benar-benar melupakannya, meski aku benar-benar tak selalu memikirkannya, meski aku sudah bisa menatap kedua matanya, aku masih sering menangis. Ya, bukan karena dia tapi karena rasaku yang tak kumengerti. Menyedihkan. 

Menyedihkan. Ya, aku memang menyedihkan. Kapan sih, aku tidak terlihat menyedihkan? Benar, kala merepotkan, haha. Aku pernah sangat menyedihkan saat umur 13. Perkara hidup dan kisah cinta. Kalau kalian tahu series Anne With An E, ya seusia dia lah. Setelah hal menyedihkan yang kualami waktu itu, aku tak lagi percaya diri. Tak berani GeEr sedikit pun, bahkan dalam pikiran sendiri. Selalu menepis kemungkinan baik tentang sebuah cinta yang datang karena tak ingin kecewa. Aku hidup dalam kisah kasih diri sendiri dalam imajinasi. 

Aku tak tahu kapan suka pada seseorang. Pun tak bisa menyimpulkan kapan membenci seseorang. Kesal pernah, tapi logikaku yang lain--yang baik--mewanti-wanti diri untuk memaafkan. Dulu, dulu sekali saat aku pernah dilema antara Black dan Blue. Kala aku mendramatisir kisah hidup dalam pikiranku sendiri. Pada akhirnya, kelak mereka hanya jadi cerita. 

Aku tak tahu kapan kelak itu, karena seluruh ceritaku akhir-akhir ini sedikit ada nama dari masa lalu. Black dan Blue tak pernah sekalipun masuk. Alih-alih, di nama samaran lain yang pernah kusebut di Aku dan Kisahku edisi bahas cinta, mereka-mereka pernah kusebutkan. Pernah, bukan sering. Hanya muncul sesekali kala mereka menyapa lewat mimpi. Dan satu orang yang sering mengganggu pikiran ini selalu jadi tokoh utama dalam banyak cerita, menyebalkan. 

Jujur saja, menulis seperti ini lebih susah daripada menulis prosa fiksi. Namun, aku bisa bebas menulis apa saja mengikuti jari dan hati. Hasilnya pun, sepadan. Aku selalu suka membaca ulang kisah-kisahku. Seperti memelihara ingatan tadi. Entah senang atau sedih, rekapan kisah selalu bisa dinikmati. Seperti halnya saat aku mengulang kisah kami lewat jajak digital. Tak semuanya menyedihkan. Sesekali emot hati muncul dengan syarat dan ketentuan--kesedihan yang makin mendalam. Aku yang selalu menepis kemungkinan baik tentang sebuah cinta, mulai besar hati. Itu memang memalukan, namun kesenangan semu itu bisa jadi obat untuk banyak penat. Tentu saja dengan efek samping yang sangat menampar. Ah, lupakan. Rasanya mulai sesak lagi. 

Menyebalkan dan tidak adil! Kenapa mataku sudah berkaca-kaca?

Entah kapan keganjilan yang kurasakan ini bakal berakhir, karena jika move on adalah satu-satunya cara, aku yakin telah melewatinya. Aku tak lagi besar kepala atau hati--BUKAN PENYAKIT WAHAI ORANG RECEH. Tak berharap apa-apa karena ketidakmungkinan kami semakin nyata. Hanya... rasanya menyedihkan. Aku tidak sedih, tapi ini menyedihkan. Boleh ya aku menangis? 

Ah, mungkin di sini aku bisa mengakhirinya. Tanpa menyebut nama, secara tersurat sekaligus tersirat aku mengawalinya di sini. Merangkai kata secara romantis sambil menatap jendela kereta yang memunculkan grimis. Sudah bertahun-tahun rupanya. 

Aku berhenti sejenak, membaca tulisanku itu. Tak menyangka air mata kembali naik. Malu. Malu sekali. Tak bisa menghentikan batuk? Mencoba pelit air mata? Menyalahkan setan iblis? Hahaha, aku jadi teringat alasanku menulis itu. Karena ada sirat dalam surat yang menghampiri. Saat itu hampir-hampir seperti mimpi karena karenanya, aku dapat pukulan hebat dari orang-orang yang kelak malah meninggalkanku di sana. Mimpi di tengah malam--benar-benar tengah malam--yang bisa jadi nyata. Kalap, aku larut pada hati yang terlanjur gelap gemerlap. 

Rentetan peristiwa itu, kualami sendiri, kulalui sendiri. Bukan bertepuk sebelah tangan, bukan juga bertepuk tangan. Aku merayakan kebahagiaan serta kesengsaraan sekaligus. Malam panjang yang masih kurang panjang karena banyak yang kulewatkan. Di tempat yang jauh dari kampung halaman dan kos-kosan aku merasa bisa terbang. Di tempat yang dinginnya malam sebanding dengan panasnya siang, aku terbakar oleh rembulan. Sok puitis. Biar, aku hanya tak punya saksi selain langit malam dan tembok-tembok ruang yang asing. Tanda media dan jejak digital yang lahir hari itu kulenyapkan. Aku tak mau terlihat semakin menyedihkan.

Ya, mungkin ini jawabannya. Mungkin mengakhirinya di sini adalah pilihan terbaik. Jujur saja, pilihan itu muncul beberapa menit yang lalu. Keputusan untuk memilihnya menyertai begitu saja. Jadi, maklum saja kalau tulisan ini bisa tiga sampai lima kali lipat lebih panjang dari 'pengakuan' yang kubuat di kereta itu. 

Sudah ya, sudah. Sudahi kepenatan hati. Mungkin benar kata bedebah-bedebah di SMP dulu, jika kamu sangat pandai menyembunyikan perasaan. Buktinya, seluruh teman yang pernah kau ceritai kisah-kisah ini tak pernah bisa menebak siapa dia. Hahaha, sebuah kebanggaan tersendiri. Aku berterimakasih pada bedebah yang mengingatkanku pada hal itu. Tapi, aku tak bermaksud menyembunyikan. Golku saja yang beda. Golku, bukan menyembunyikan perasaan tentu saja. Kadang ingin menyampaikan juga. Namun... ah waktu yang salah, kata Fiersa Besari. Ya, kadang Tuhan maha membolak-balikkan. Aku yang masih belum menemukan gol untuk waktu yang salah ini menyerah. Sepenuhnya menyerah. Memaksa hati yang sudah terbiasa berdegup untuk mati. Tak apa, agar tak semakin sakit nantinya. Agar waras jiwa dan raga. 

Sudahhhh. Yok sudah yok. Kamu sudah naik ke tingkatan yang lebih eksrim dari move on, life on. Semangat! Sungguh. Semangat!!!