Cerita dalam cerita.
Memasuki bulan ke sembilan, aku selalu ingat dengan kata-kata yang pernah tercetus di kepala, "Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta". Kisah-kisah masa lalu perihal jatuh cinta terkilas. Samar, namun menampar. Ah, aku pernah ya ada di titik itu.
Perlahan aku lancang menerka apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Apakah September tahun ini aku akan jatuh atau memutuskan cinta? Rasanya, sedikit percik kesenangan di hati sebelum-sebelumnya, yang sempat juga kucurahkan di sini, tak cukup kuat untuk jadi alasan aku jatuh dan memutuskan cinta. Lalu, Tuhan memberi adimarga yang menuntunku pada kiat-kiat agar aku memilih untuk jatuh atau memutuskan cinta.
Sampai saat ini, kata, Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta, masih terngiang. Padahal aku telah menafikan titik-titik yang diberikan Tuhan itu agar tidak jadi temu. Bukannya sengaja, hanya... ya... katanya itu qadarullah. Kan? Meski begitu, aku tetap gelisah. Ingin menumpahkan isi kepala, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kutumpahkan. Kepalaku penuh, tapi di saat yang bersamaan kepalaku kosong. Aku ingin teriak, tapi sedang terbungkam.
Ah, aku harus menulis blog. Tentang hal-hal yang terjadi di bulan September, aku rasa dua tiga part tulisan bersambung seperti biasanya pun tidak cukup. Urung, aku menenggelamkan diri ke asa yang terus menciut. Kesalahan-kesalahan yang terus berulang, dan penyesalan yang jadi kesal. Harusnya, setiap September kan aku jatuh dan memutuskan cinta? Lantas, kenapa Septemberku jadi ruwet begini?
Aku lari ke mari. Ingin membaca tulisanku yang dulu-dulu tentang September. Namun, ternyata tulisan itu tertimbun jadi draf saja. Entah selesai atau belum, dan entah September tahun kapan ini. Berikut draf tentang Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta. Aku belum membaca isinya sih, mari kita simak bersama saja.
Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta
September. Kabar baik untuk pecinta akhir tahun. Awal semester baru bagi manusia-manusia pemuja angka, bahasa, dan segala ilmu dunia. Juga segala kekalutan tentang akhir yang semakin dekat. Lembar baru yang dari waktu ke waktu selalu ambigu.
Pada September ini, biar kuceritakan sebuah cerita. Kisah klise percintaan yang menyentil bagian terapuh diri alih-alih uwuu, hati. Menyenangkan, juga menyakitkan. Penuh perjuangan dan pengorbanan. Ya perasaan, pikiran, waktu, kesempatan, terlebih sesal. Penyesalan yang tak ada obatnya.
Jika kalimat, "Biar kuceritakan," muncul, itu tandanya aku akan mengungkit segala hal tentang masa lalu. Tentang tahun-tahun awal aku jatuh dan memutuskan cinta di bulan September. Dan karena jangkauan ingatanku terbatas, juga narasi cerita yang lebih menarik demikian saja, mari mundur ke tiga tahun silam.
Kalau tiga tahun lalu, berarti tulisan ini ditulis tahun 2020, ya.
Tahun 2017 itu, aku masih sangat polos prihal seluk beluk kampus. Bagaimana cara bertahan di society yang hetero. Bagaimana mempertahankan eksistensi ketika menjadi golongan underrated. Bagaimana mengembangkan diri untuk benar-benar hidup dengan selamat sampai lulus menjemput. Serta bagaimana-bagaimana yang lain yang barang tentu tak bisa kesemuanya kusebutkan. Berpedoman pada insting dan waktu luang, aku mencari jalan. Berliku dan memutar. Naik turun tak menentu. Hingga asa yang terkumpul bersama beberapa kawan yang lain, mempertemukan kami pada sebuah keadaan. Ketertarikan.
Siapa sih yang tak ingin punya romansa di bangku perkuliahan? Bertemu kakak tingkat mempesona atau teman seangkatan yang keren. Sama dengan mahasiswa baru pada umumnya, ada sedikit rasa yang demikian. Tapi, logikaku bekerja lebih keras daripada pendramatisiran yang dibikin sebagian lain di diriku. Aku tak ada waktu untuk begitu. Tak ada keinginan atau kehendak. Kupikir tak akan aku jatuh pada siapapun sosok adam di populasi tinggalku--kampus sastra dengan banyak manusia aneh. Statusku menjadi mahasiswa gap year mendukung penolakanku perkara romansa tai kucing itu. Aku mematri ikrar pada diri agar tak akan jatuh pada mereka yang lebih muda, pun untuk tidak mengejar siapa saja yang lebih tua macam betina pada umumnya. Tidak. Di masa setelahnya, aku harus menelan ludahku sendiri.
September 2017, bulan kedua aku menjadi mahasiswa. Saat itu, aku bersama teman dekatku menyaksikan sebuah pertunjukan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Aku tak mau menyebutkan apa itu, yang jelas aku suka pada keseluruhan acara. Hingga suatu hari setelahnya, aku menemukan bagian dari pertunjukan itu di kenyataan. Potongan yang pas untuk menjadi tokoh pada kisah hidupku di bangku perkuliahan. Meski itu akan menodai pedoman untuk tidak menjadi betina seperti yang lainnya, aku berusaha menjadi berbeda. Sebelum para teman perempuanku menemukan pesona itu, aku mengeklaim jika akulah yang pertama. Menganggap jika teman-teman yang menyukai tokoh itu dengan tanpa usaha. Sedangkan aku, mencoba berbagai cara untuk sekedar dikenal. Gol tak tertulis yang kupikir sangat manis.
Awal mengetahui sosoknya, tak ada yang bisa kulakukan selain berikhtiar di media sosial. Menunjukan eksistensi lewat persona konyol akun Instagram. Jangankan terbalas, mengetahui jika diriku ada saja, tidak. Saat itu, aku masih coba-coba. Beradu dengan logika untuk jangan bersikap bodoh. Meminta diri untuk menengok kembali sosok itu. Tak ada hal baik yang terlihat di dirinya. Jika kata teman-teman dekatku, dia nakal. Dia tak berkuliah sungguhan. Nggak juga tampan. Tapi, aku dengan segala kegilaanku tertarik. Kubilang, sebatas tertarik. Tak ada pengakuan tentu, karena aku ya masih dengan pendirianku--yang goyah.
Waktu berlalu dengan lakuku yang berpusat ke orang itu. Melakukan segala aktivias perkuliahan dengan tetap berharap dapat dikenal. Tak lebih. Ini loh, aku. Aku ada. Aku ada di antara pengagummu yang ribuan itu. Kurang lebih begitu.
Suatu saat, ada kesempatan kudapat. Ah, susah menjelaskan secara tersirat, tapi aku tak mau bercerita dengan tepat. Di universe-ku yang lain, aku mendapatkan tugas untuk berinteraksi dengannya. Bukan tiba-tiba, aku memang sengaja dan berencana untuk itu. Meminta kakak tingkatku di universe itu untuk menugaskanku agar bertemu dengannya. Singkat cerita, setelah hal itu berakhir, rasaku masih belum berakhir. Dia masih sama, tak menganggap aku ada. Ah, mungkin sekedar, manusia dari universe itu, begitu.
Wkwkwk geli banget ya dibaca ulang. Pada saat itu, kusudah berani ya nulis-nulis begini. Kena spill tahu rasa, loh. Itu masnya udah punya pacar lagi sekarang.
Masa kuliah saat itu, dihiasi dengan aksi kucing-kucinganku dengan perasaan. Aku ini ngapain sih? Nge-fan? Suka? Cinta? Atau sekedar obsesi? Tertarik? Ya. Tertarik untuk apa?
Kisah ini masih berlanjut. Aku masih terus berusaha. Usaha yang biasa-biasa saja tapi malah jadi hasil yang tak terduka. Iseng, aku ikut kepanitiaan yang aku yakin ada dia di sana. Kepanitiaan tahunan untuk membuat sebuah pertunjukkan yang menjadi alasanku mengenalnya dulu. Seperti bernostalgia, di bulan September tahun kedua itu, aku jatuh lagi. Masih tak ada pengakuan dari lubuk hati, alih-alih ada gejolak. Di sana, aku sangat sibuk. Terbebani dengan banyak tugas dan tak luput dari masalah. Tapi, anehnya tiap kali mengingat keberadaanku saat itu--yang telah dikenalnya--seperti ada kupu-kupu di perutku.
Hayo loh, udah habis tulisannya, wkwk. Mungkin alasanku batal lanjut saat itu karena takut kali ya. Agak gamblang soalnya kalau masuk kepanitiaan-kepanitiaan itu. Tapi, aku lupa apa yang mau kulanjutin kalau emang lanjut. Daripada penasaran, (eh, ini aku penasaran sama isi kepala diriku sendiri ya?) aku mau lanjut sih, wkwk. Mungkin outlinenya bakal beda sama yang dulu. Tapi, akan kucoba.
Yap, dari, ada kupu-kupu di perut.
Jadi, kupu-kupu di perut itu, tak pernah benar-benar kusadari. Hanya definisi yang bisa kusampaikan untuk menggambarkan situasiku saat itu. Intinya, aku lega. Ada kelegaan yang meski tidak memberi dampak tertentu, bisa membuatku lepas. Setelah jatuh di bulan September 2017, aku memutuskan sesuatu yang mungkin disebut cinta di September 2018.
Hari-hariku berjalan semakin sibuk. Berkali-kali lipat lebih sibuk dari yang sebelumnya. Perkara cinta tak pernah sedikit pun terlintas. Aku senang saja melalui itu semua. Sudah cukup ludah yang kutenggak sebelumnya. Aku hanya ingin menjadi aku yang aku. Tidak berharap kepada apapun, dan siapapun. Berusaha menikmati prosesku secara profesional. Namun, keprofesionalan itu malah jadi bumerang. Lagi-lagi aku harus menelan apa yang kukeluarkan. Kakak tingkat sudah kan? Tahun selanjutnya malah jatuh ke teman seangkatan, yang itu artinya umurnya ada di bawahku. Aku jatuh, meski nggak sakit-sakit amat. Masih tetep nyangkal kalo itu sebatas profesionalisme diriku demi regenerasi. Tapi, ya tetap saja namanya juga jatuh. (Plis, kalo ada temen seangkatan yang baca ini dan kepo, tanya aja, jangan berasumsi, bahaya)
Setahun berlalu dan sampailah aku pada September 2019. Rasa dan berbagai perkara yang sangat panjang untuk dijelaskan itu, berakhir dengan diriku yang mulai berani mengaku. Tidak jauh-jauh, ke diriku sendiri dahulu. Aku mulai membenarkan jika aku sempat goyah gara-gara profesionalisme setahun ke belakang. Aku sempat merasa ada sesuatu yang tertahan. Sangat-sangat sulit untuk dikatakan. Seperti tertekan, tapi juga ada rasa senang. Senang yang membuatku merasa ada kupu-kupu lagi di perutku sampai terasa mual. Serius.
Saat itu aku mulai sadar. Sepertinya aku sedang jatuh lagi. Kali ini lebih sulit dan ambigu karena alibi-alibi yang kusebutkan tadi. Tapi, mual yang seakan mendorongku memuntahkan apa yang tertahan di perut, membuatku berjanji pada diri. Aku tidak akan menyangkal. Setidaknya, aku telah janji pada diriku sendiri akan mengeluarkan kupu-kupu ini di waktu yang telah kutandai. Aku harus terbebas dari ikatan tak kasat mata itu. Menikmatinya dengan seperti ikatan tadi, tak kasat mata.
Namun, rencanaku gagal total. Aku jatuh di lubang yang sangat dalam dan rapuh sehingga membuatku tertimbun bersamanya. Tiba-tiba saja duniaku runtuh. Aku rubuh. Persetan dengan luka-luka yang kudapat dari jatuh, karena mendadak aku lumpuh. Gerakku terbatas dan menyakitkan. Sangat. Tak sampai di situ, serangan demi serangan terus kudapat. Aku terpukul secara benar.
Hidupku jadi kelabu. Ibaratnya seperti televisi tabung yang sinyalnya jelek. Buram dan banyak semutnya. Kusimpan kembali segala luka dan cinta yang pernah ada. Tidak ingin menghapus, juga tidak ingin mengelus. Hanya membiarkan begitu. Tidak pula berdoa pada Tuhan untuk didekatkan atau dijauhkan. Hanya... aku tidak bisa.
Hari-hari dari September tahun 2019 ke September 2020 telah berlalu. Tak benar-benar lepas, tapi di September itu, aku terpaksa harus memutuskannya lagi. Aku tak mau terbelenggu pada siksa tak terlihat. Rasanya sangat-sangat melelahkan. Momen yang tepat pula untuk mengakhiri sebuah rasa. Pada saat itu, aku mulai menulis ini. Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta. Harusnya, tahun itu aku memutuskan cinta kan? Harusnya di tulisan ini aku meleburkan segala apa yang kupendam. Dan, iya, memang aku melakukannya. Di bulan September itu, aku jauh lebih lega dari biasanya. Meski ada sesuatu yang belum bisa lepas, tapi aku sudah memutuskan. Ya, memutuskan untuk memutus itu. Ya itulah pokoknya.
Lalu, bagaimana dengan September 2021 dan September 2022? Apakah aku kembali jatuh dan memutuskan cinta?
Ya ya ya, aku ingin sekali bercerita tentang yang terbaru ini. Tapi, sungguh. Aku lelah. Jadi, sepertinya akan ada part selanjutnya. Terima kasih. (Eh, nggak menutup kemungkinan kalo lanjutannya bakal ada di Medium sih. Wkwk, campur-campur tak berkonsep.)
26 10 20
25 09 22