Haiiiii.... Selamat tahun baru ya. Semoga senantiasa sehat dan waras!
Agak kaku nih, lama ga nulis di sini. Tapi, yaudahlah. Aku mau nulis asal. Biar lega. Biar terberkas aja.
Compast. Sebelumnya, aku nulis tentang Compast di Medium. Sama-sama buat pembukaan alias tulisan pertama tahun ini. Agak enggak penting, ya. Tapi, enggak apa-apa. Emang itu kok yang lagi terjadi. Cepat atau lambat, emang aku rencana nulis tentang mereka. Tapi, di sana aku malah banyak bahas Ryfar. Kalau Ryfar, di sini udah sering kan ya. Baiklah, aku beneran mau nulis tentang Compast sekarang.
Sijak!
Compast. Barusan pas nulis judul, aku kepikiran. Ini nama compast, maksudnya come-past apa ya? Datang tapi udah berlalu. Hahaha, ngereceh sih. Compast tuh kalau enggak salah kepanjangannya Comunity of... apa ya? Pokoknya ada IPA 2-nya. Yap. Kami tiga tahun sekelas terus. Seperti yang udah kubilang di Medium (sana baca dulu wkwk), Ryfar dan aku enggak begitu deket sama semuanya. Sebenernya enggak cuma Ryfar sih, yang jarang kumpul. Ada Syfa, Ayu, Inam, dan banyak lagi, itu sedikit yang terlintas. Cuma mungkin karena Ryfar berkelompok terus, berlima, jadi kelihatan banget kotaknya.
Compast kayaknya ngasih aku trauma enggak kasat mata. Entah, tapi ada keengganan buat berinteraksi sama mereka. Sekecil di sosial media. Mungkin memang karena awal ada jarak di antara kami, di sosmed atau sosial aja. Respon mereka yang enggak semuanya baik, bikin kapok buat bertindak. Fyi, aku sedari dulu suka ngereceh. Mungkin keterlaluan kali ya, tapi aku rasa recehku dulu enggak separah sekarang. Pun, aku juga ngelihat situasi kok. Tapi, teman-teman non-ryfar yang mayan deket, selalu abai kalo aku ngereceh. Ya udah sih, aku juga enggak nyari perhatian mereka. Cuma berekspresi. Karena seperti apapun mereka ngecam recehku, aku ya tetep lempar jokes. Lama-lama aku mengurangi intensitas ngomongku di forum. Karena apapun yang kukatakan, selalu dianggap ngeyel. Kali ini, enggak cuma dari temen-temen deket. Aku pernah dapat julukan tukang ngeyel. Padahal, aku cuma mengutarakan pendapat. Enggak pernah memaksa. Mungkin itu juga ya, yang bikin aku bertahan di Ideas. Dulu awal masuk, kami diberi 'kesempatan' buat bicara. Ah, aku jadi inget kenapa aku suka ngobrol sama anak-anak Persuasif. Mereka bisa 'menerima' kerecehanku.
Compast enggak bisa ngasih peluang itu buatku. Dan aku pun enggak lagi berusaha untuk nyari peluang itu. Bukannya yang enggak sama sekali sih, tapi kayaknya emang enggak jodoh aja. Dunia kami beda. Materi emang mempengaruhi, tapi enggak semua soal duit. Ada beberapa dari mereka yang 'memaksakan' diri berlaku demikian. Aku enggak mau begitu. Enggak ingin, dan enggak ada perlunya.
Tahu apa yang paling kucemaskan pas nikahan Mbak Rima dan Fajar? Ketemu Compast.
Compast pasti ada di nikahan Mbak Rima atau Fajar. Aku pasti dateng dong, di pawiwahan dia dan nganter manten ke rumah Fajar. Pasti ada anak Compast. Setidaknya Tio dan Dicky. Dua anak itu sudah kuprediksi, dan aku dengan senang hari jika ketemu mereka aja. Tapi, karena Fajar yang bisa merangkul banyak orang, pun terbilang sukses, pasti banyak lain yang datang. Pasti. Syukurnya di pawiwahan mereka, hanya dua anak itu teman laki-laki yang datang. Kukira, teman perempuan yang datang cuma Ryfar dan Sella. Ternyata ada Uti dan Lindun. Uti temen sekolah yang jadi roommate pas kuliah. Sedangkan Lindun... mereka sering double date kali dulu, sama tio. Secara personal aku deket sama Lindun. Selain sama-sama main marching, ternyata kami masih kerabat, kayak ke Mbak Rima. Ini enggak baik mungkin, tapi agak lega sih, hanya mereka yang datang bahkan sampai penghabisan malam. Dan tahu, di lingkar kecil itu aja, aku enggak diizinkan foto bareng mereka. I mean, foto bersama, foto Compast, aku enggak ikut. Padahal nikahan Mbak Rima. Agak ngeselin sih Uti. Katanya mau numpang poop ke rumahku pas sesi doa pawiwahan baru selesai. Sampe rumah malah nunggu HRD nelpon. Mau wawancara katanya. Sesi foto bersama lewat deh.
Compast di nikahan Fajar, enggak begitu bersentuhan denganku. Aku ada pas sesi ngunduh mantu dan... semacam ritual formalitas ala BUMN berseragam kali ya. Jalan di altar dan lempar bunga. Persis kayak teateran taii lah. Tio yang sealmamater sama Fajar juga ada di sana. Iyalah, sirkel kerja mereka kan sama. Dicky awalnya ada tapi entah hilang kemana. Aman, deh. Pas udah sore, Tio bilang dia mau balik dulu. Nanti balik lagi sama anak-anak. Anehnya, dia ngomong sambil kayak bilang kalau aku bakal nunggu mereka aja. Sebaliknya, aku malah justru pengen buru-buru pulang. Rumah Fajar yang mayan jauh, bisa jadi alasan. Karena kami berangkat bareng mobil karena hujan, motor Yesi ada di rumah Mbak Rima. Kami pinjem motor Fajar buat ambil motor Yesi dan balikin motor Fajar lagi. Aku udah ketat-ketir bakal ketemu secara enggak sengaja sama mereka karena sampa rumah Fajar yang kedua cukup malem. Dan syukurnya, itu enggak terjadi. Pas aku sampai rumah, anak-anak bagiin video di grup alias tepat banget pas kami udah perjalanan pulang kali. Dan aku lega.
Kayaknya, kemujuran prihal Compast selesai di nikahan mereka. Tadi, setelah berpikir panjang sekali, aku datang ke nikahan teman. Iya, yang pernah kubahas di Medium itu. Yesi, si pelopor kondangan, enggak bisa datang karena hari ini juga nikahan kakaknya. Mbak Rima, pasanganku di berbagai kegiatan sekolah udah ke luar kota ikut Fajar. Fikoh, aku tahu Fikoh susah-susah gampang diajak jalan. Aku pun malas ngajak duluan. Aku tahu apa yang dia pikirkan, dan dia juga tahu pikiranku. Pikiran kami hampir sama prihal ini. Dan setelah diskusi pendek, kami sepakat berangkat. Pertimbangan pribadiku adalah karena ingin bertemu secara langsung sama manten dan ngucapin selamat. Ya karena aku bukan tipe nimbrung di grup dan ngasih ucapan. Pun, beberapa bulan yang lalu dia nge-follow ig-ku tapi enggak ku-acc, hehe. Aku merasa enggak perlu aja. Kesel juga iya sih. Soalnya aku inget kami pernah mutualan. Ya mungkin ig-nya eror, tapi peduli setan. Aku enggak mau terikat hubungan sosial aja. Meski gitu, dia ya tetep temen Compast yang pernah ada di masa lalu. Jadi, aku pengen secara langsung ketemu.
Tapi, rencanaku hari ini sedikit berantakan. Hujan dari pagi sampai sore. Meski janjian sama Fikoh jam 4, aku rencana berangkat dari awal buat fafifu. Sayangnya, hujan barur reda jam 4-an. Aku baru siap otw setengah jam kemudian. Pas lewat rumah Aninda yang sejalan sama rumah Fikoh, aku lihat banyak motor di sana. Aku mengenali salah satunya. Punya Mawang. Temen sekelas kami juga, pacar Aninda sejak kelas 3. Hahaha, inget banget Mawang nembak dia di kelas dengan mengerahkan seluruh awak kecuali Ryfar kayaknya. Hahaha, aku enggak tahu ada apa, tiba-tiba kelas ramai akting dan tara... kek drama wkwk. Mawang nih lumayan deket sama Ryfar karena di kelas 3 pernah les bareng. Dia pas itu jadi ketua juga sih, dan aku bendahara bareng Tio, hehe. Pas itu juga, kayaknya Mawang ada 'sesuatu' sama Mbak Rima. Cuma Mbak Rima enggak peka dan Mawang pikir-pikir kali ya karena beda Tuhan, hehe.
Sampai rumah Fikoh udah lebih jam lima. Aku ngasih tahu Fikoh dan kami buru-buru berangkat biar enggak bareng mereka. Pas lewat rumah Aninda, kuhitung ada empat motor. Bisa lebih empat orang kan kalau mereka datang boncengan. Selain lewat depan rumah Aninda, kami juga lewat depan rumah Inggil. Dia ini salah satu yang berprivilege tapi mayan merakyat. Cuma tetep aja sih, selalu ada di pihak terkuat wkwkwk. Di rumah Inggil yang sekarang berpagar tinggi, pintu dan pagarnya terbuka. Ah, pasti lagi nunggu anak-anak nih. Kami melanjutkan perjalanan dengan bahas skripsi. Pembahasan yang biasanya paling malas kulakukan bareng Fikoh. Terakhir kami bertengkar hebat tentang itu. Fikoh pun sepertinya juga merasa enggan kalau aku cerita masalah itu. Sebelumnya, aku bilang mau cerita dan dia cuek. Fikoh sadar dan tadi bilang itu karena dia takut kami bertengkar lagi, apa lagi di chat kan. Aku ngerti dan paham. Aku pun enggak mau cerita tentang skripsi kok pas itu. Obrolan skripsi dikit banget karena aku juga menghindari kekesalan hati dan komentar judge yang kemungkinan muncul.
Perjalanan lama banget. Kami sampai sana pas Maghrib. Pikirku, enggak apa-apa. Mungkin pas mantennya macak, atau apapun intinya sepi. Harusnya. Tapi, pas aku baru aja ambil semangkuk bakso, ada tangan melambai dari pojok depan dekor. Kayak kenal. Dan tara.... Silvi manggil kami. Dia sama Lindun, sama dekatnya denganku karena kami marching bareng. Meja lingkar besar di depannya berjarak dua langkah kaki. Ya, meja itu dikerubung banyak orang. Banyak banget orang. Orang-orang selain yang kutemui sebelumnya. Orang-orang yang pengen banget kuhindari. Rasanya kayak mau pingsan. Aku pengen pulang. Kenapa aku enggak mikir kalau bisa aja mereka ke sana rombongan? Timingnya jelek banget.
Dari Silvi aku tahu, mereka rombongan naik mobil. Hahaha, kenapa enggak mikir gitu ya? Biasanya kan juga gitu. Katanya, sebagian ngumpul di rumah Anin, sebagian di rumah Hebri. Baiklahhhh. Serius, aku nyesel banget datang. Enggak sempet juga nyalamin manten karena dia baru turun bentar pas aku datang lalu macak lagi. Kami enggak bisa nunggu lama lagi karena maghrib. Walhasil langsung pulang dan nitipin amplop ke ibunya. Jauh-jauh ke sana dan enggak sempet salaman sama manten tuh gimana?? Aku enggak enak sih sebelumnya. Apalagi pas aku bilang, Si Eva, pemilik ranking teratas versi perempuan, bilang kek, yaampun, masa belum salaman gimana sih.... hadehhh aku panik. Tapi, ya udah mau gimana kan? Sampai aku menyadari, biasanya pun manten yang datengin tamu kan? Ngasih amplop kan ya biasanya di akhir. Ah, ribet banget pokoknya berhadapan sama mereka.
Udah nih, aku berharap udah selesai interaksi kami. Ternyata mereka belum balik. Masih pada di depan. Si cewe-cewe entah kemana. Ada Jati di depanku, aku mau nyapa sama bilang kalau temenku dari kelas lain ada yang ketemu dia di klinik hewan, tapi sungkan mau nyapa. Temenku anak Ambalan dan Jati ketumnya. Tapi, timingnya enggak pas lagi. Dia lagi ngobrol sama perempuan asing. Aku batal ngomong setelah manggil namanya. Ada Eza juga. Kami enggak saling mengeluarkan ejekan apa-apa. Enggak nanya kabar juga. Aku cuma mukul pundaknya dan entah gimana respon dia, tiba-tiba ada salah satu bocah yang paling kuhindari nyapa. Bilang kalo... apa ya? Aku lupa dia ngomong apa yang jelas mengulurkan tanga kami salaman. Tumben banget.
Ya udah sih, gitu. Selama di dalam tadi, aku beneran enggak bisa jaga ekspresi. Karena duduk deket Silvi, ada bahan obrolan sih. Tapi, karena Silvi the most prittiest girl di Compast, selalu jadi objek kan. Waktu-waktu itu, aku enggak bisa banget nahan ekspresi. Dulu sih, biasa aja. Sekarang, kek murung aja. Aku ngalihin itu dengan main hape atau ngobrol sama Fikoh. Tapi, waktu berjalan lamaaa banget. Tetep aja rasanya sepi meski di sana rame banget. Males nyari topik obrolan buat Eva atau Keke yang enggak jauh dari aku. Inggil yang duduk di deket Fikoh udah balik duluan. Aku juga enggak nyapa Tirta yang duduk di depan Inggil. Enggak ada masalah personal sih, tapi males aja. Dia juga follow aku tapi enggak ku-acc hehe. Alasannya sama tapi dia ganti akun deh, karena dulu pas follow masih dikit follower dan following-nya. Adakah temen cewe yang belum kusebut? Rike? Dia duduk jauh banget di tengah-tengah temen-temen cowok. Pas beranjak, dia sempet nyapa, cipika cipiki sambil meluk. Agak iyuh tapi enggak apa-apa. Bener-bener, yang datang tadi itu, mereka-mereka yang enggak kutemui di nikahan Mbak Rima sebelumnya. Dan yang kutemui di nikahan Mbak Rima, enggak ada yang ada tadi. Mereka balik ke kerjaan mereka masing-masing.
Hmm apa lagi ya? Uh, udah dua jam nulis wkwkwk.
Hmmm aku berusaha untuk menjaga pikiran, perasaan, dan mentalku sendiri. Karena cuma aku yang ngerti itu. Aku tahu enggak semua anak Compast bajingan, pun aku tahu para bajingan pun juga ada yang menyenangkan, cuma masa lalu dan masa-masa yang ada enggak begitu baik, jadi ya sudah. Hubungan kami udah terlanjur begini dan aku enggak menyesal tentang itu. Justru menurutku ini seru. Setidaknya, bisa kutulis di sini, meski entah akan kubagikan kapan, meski entah akan ada yang baca atau tidak. Oh ya, aku sampai block-unblock satu mutual compast di Twitter. Kami jarang interaksi, beberapa kali ketemu di jalan pas di Jember. Dia dulu punya kesan buruk, tapi twit-twitnya menggambarkan dia juga punya 'masalah'nya sendiri. Agak berat sih nge-block-unblock dia. Tapi, aku takut aja sih, bacotanku tentang compast sampai ke mereka. Dia aktif banget twitteran.
Ishhh, panjang bet ya.
Hmm apa lagi? Udah? Hmm udah. Panjang banget. Ini tadi kalau nulis di buku pakai bolpoin gel 2500-an pasti udah habis. So... bye! Good luck me. Thanks... me. Semangat Alit.