Selamat lebaran! Selamat maaf-maafan!! (Iya, maaf-maafan tuh nggak selalu maaf beneran, hehe~)
Sumpah ya, banyak banget yang pengen kutulis. Mulai dari lanjutin tulisan di Medium (Pekan Menjelang Lebaran) yang stuck hampir seminggu, tulisan galau dan unek-unek pasca hal traumatis itu berlangsung, tulisan kekesalan lebaran tahun ini, aku dan satu nama (Kampret) yang kebetulan banget ketemu di makam waktu itu, tulisan tentang Lena karena setelah lebih dari 10 tahun akhirnya ketemu (ga sengaja) dan ngobrol (dikit), tulisan tentang konten drakor yang habis kutonton, tulisan-tulisan fiksi yang sebenernya sering banget terlintas, dan terpenting nulis (ngerjain revisi). Semua itu kutunda terus menerus sampai sekarang. Entah, saking banyaknya keinginan dan saking nggak mampunya diri. Mungkin udah capek sama hidup kali ya. Nggak ada seneng-senengnya sama sekali.
Revisiku beneran banyak dan belum kusentuh sama sekali. Dari sekian banyak printilan, dua hal besar yang musti direvisi terkait analisis pertama dan kedua. Analisis 1 kudu benerin hampir separuhnya (dan ini sulit), sementara analisis kedua, bisa dibilang, ganti total. Aku sedih banget sebenernya, tapi enggak bisa marah karena sudah menduga ini. Aku tahu ada yang enggak beres dari sejak mengerjakan. Tapi, aku enggak tahu gimana cara ngebenerinnya. Untuk itu kan ada 2 dosen buat membimbing. Di kasusku, mereka oke-oke aja. Aku sudah merasa hal kayak gini bakal kejadian dan bener kejadian. Mau marah, tapi ya buat apa? Enggak bikin revisiku kelar. Si ibuk yang ngasih revisi ini pun udah mewanti-wanti bahwa dia enggak bakal nyalahin pembimbing karena para dosen sibuk, iat.
Dosen satunya, yang enggak ngasih revisi substansial, cuma sialnya aja, bener-bener bikin mentalku hancur. Dia ngasih pertanyaan-pertanyaan di luar konteks yang bikin aku merasa goblok banget sumpah. Mana aku beneran jadi goblok lagi. Masa nyebut informan aja susah tai. Otakku cuma nyebut narsum-narsum aja. Padahal aku bukannya yang enggak tahu. Sial banget. Pertanyaan itu sukses bikin aku malu sama diriku sendiri, pun para dosen lain di ruang jurusan yang meski seperti sibuk dengan urusan masing-masing, tapi enggak menutup kemungkinan juga denger aku dimarah-marahin kayak orang goblok. Dan part selanjutnya yang bikin aku merasa semakin goblok adalah ketika beliau melemparkan pertanyaan random di luar konteks dan... konyol aja sih. Sumpah berapa kali aku ngejelasin beliau ga terima jawabanku. Sampai aku fafifu wasweswos bahas Bekisar Merah (yang aku ga yakin ceritanya beneran begitu karena udah lupa) beliau ngangguk-ngangguk aja. Padahal aku beneran cuma fafifu. Menurutku jawabanku enggak menjawab padahal. Kan, kayak aku goblok banget. Udahlah, kejadian di meja beliau itu mengingatkanku pada kejadian serupa bersama beliau di tempat yang sama empat tahun lalu. Tapi, ya sudahlah. Dengan aku nulis ini, aku menghadapi trauma itu. Aku sudah cerita ke beberapa teman yang kutemui setelah semhas, tapi rasanya enggak seberat nulis di sini. Karena kelak, aku akan baca lagi sambil nangis.
Energiku udah habis buat mengelola emosi selama menjelang lebaran dan melalui lebaran ini. Memutuskan untuk di rumah aja, enggak segampang melakukan. Aku menarik ulur diriku. Boleh ya begini? Apa tidak apa-apa? Pada akhirnya aku menikmati ketersiksaan batin sambil menyiksa orang-orang di sekitarku. Mungkin dengan menjawab sensi ketika diajak pergi, atau bersikap apatis seakan enggak mau berbaur dan silaturahmi. Padahal I did it. Dengan penuh usaha. Hari raya pertama aku gabung rombongan keluarga keliling kampung. Meski tanpa Ibuk karena dia nyelawat ke kerabat bareng sepupu dari Situbondo. Padahal langkahku itu sudah merupakan negosiasi, tapi selama keliling, aku makin sadar, aku sudah terbiasa dengan ketidakberadaan Bapak, tapi aku belum bisa menerima kritik ke orang tuaku, Ibuk. Salah satu kakak sepupuku bilang, jika momen lebaran yang paling utama ya setelah solat dan keliling kampung. Tapi, ibukku malah takziah yang udah lewat dan masih bisa besok-besoknya. Aku sudah mengingatkan itu ke Ibuk, dan bersedia mengantarnya terpisah di lain waktu. Tapi, demi keponakannya yang lagi mudik itu, kami bahkan hari itu enggak salam-salaman selain di mushola selepas solat. Kejadian itu bukan apa-apa dibanding masalah beberes rumah yang terjadi sejak aku pulang sampai sebelum solat ied. Aku bener-bener Sung Bora yang durhaka.
Tentu kekesalanku bukan tanpa alasan. Pun, nggak kira cukup menjabarkan alasan-alasan itu. Yang jelas, itu juga bukan salah Ibuk. Situasinya memang nggak mendukung. Kesibukan Ibuk bukan kehendaknya karena kami tinggal di lingkungan sosial yang tinggi. Aku harus menerima, wong Ibuk saja yang melakukan hal-hal itu saja ikhlas. Ya, gimana ya, aku kesel aja. Aku capek dengan diriku dan duniaku yang begini. Aku... nggak lagi menuntut banyak hal ke Tuhan. Tapi, kenapa rasanya susah banget hidup jadi aku. Betapapun aku berusaha bahagia, dan mengendalikan kebahagiaan agar saat sedih enggak sedih-sedih banget, rasanya ada satu lubang yang enggak terjamah mulur-mungkret. Lubang yang udah lama menganga, yang makin lama makin lebar.
Kerjaan yang kukira bakal membuat pikiranku terbias olehnya malah bikin pusing. Okelah aku bisa menghindar dari transkrip podkes yang bikin pusing itu karena jatah task sering habis. Tapi, menyadari aku cuma mengerjakan sekali selama gabung, kek... apa yang bakal kudapet bulan depan? Nggak ada pendapatan dong. Proyek transkrip satunya masih enggak ada hilal. Dan yang lebih bikin gelo adalah Mathpresso yang buka lagi dan mulai tes, tapi aku terlalu enggan buat hapus chache broswer agar bisa akses laman mereka. Iya, Mathpresso paling menjanjikan dan enggak bikin telinga sakit (bonus membiasakan mengetik hangeul), tapi ya itu hanya janji buatku. Karena sudah hampir dua tahun aku masih waiting list. Tiap ada recruitment, aku daftar, daftar, daftar, tapi enggak pernah kepanggil lagi. Entah kendala teknis atau kinerjaku dulu yang enggak sebagus worker lain. Intinya aku sudah usaha. Aku sampai ke batas-batas itu. Dan saat ini, saat aku enggan masuk ke laman cafe mereka dan menghafal rumus-rumus serta ketentuan-ketentuan baru, rasanya kayak meme orang gali berlian ituloh. Jelas banget tinggal typing dan bisa kerja lagi kayak dulu. Tapi, aku takut ini cuma jadi another waktu tunggu seperti dulu-dulu.
Aku menyerah pada kerjaan-kerjaanku dan malah menelantarkan skripsi. Bener-bener pecundang. Bukannya dulu aku mulai setelah merasa tidak ada yang kulakukan lagi selain skrispsi, sekarang kan sama. Ada task pun aku enggak mau ambil. Ada kesempatan ikut tes lagi juga ga kuikuti. Terus maumu apa? Rewatching udah, nyelesaiin survival show udah. Harusnya kamu yang survive. Mau mengeluh tentang perasaan? Afeksi? Cinta? Benerin dulu hidupmu! Bukannya selama ini kamu memang menghindar dengan hal-hal itu karena merasa enggak pantas? Enggak mampu dan enggak mau? Ya sudah, ikuti alur yang udah kamu bikin. Enggak usah rewel karena kamu adalah anak yang keren (konteks ada di novel Kita Pergi Hari Ini). Anak keren adalah seburuk-buruknya versi hidupku. Anak yang rewel adalah aku yang dulu dan harusnya begitu. Aku ingin rewel dan pintar, biar bisa nyelesaiin skripsi ini. Kalau terus-terusan jadi anak yang keren, aku mungkin bakal memilih pilihan yang terlalu keren sampai bisa bikin sebuah alur cerita yang mengenaskan kerennya.
Kuliah berantakan, kerjaan nggak ada yang beres, keluarga udah ga kayak dulu lagi, percintaan ngenes, males nulis, capek ngedrakor, udahlah, pengen end of the day aja. Hehe siapa tahu jodohku udah muncul pas aku otw 20 tahun. Tapi, karena dia orang spesial, dan aku juga sama spesialnya, dia harus pergi ke tempat hampa terlebih dahulu dan menghapus ingatanku. Sementara sama-sama hidup di kehampaan, aku menjalani hidup yang begini-gini ini. Nanti, usia menjelang 30-an, aku bakal panggil dia secara tidak sengaja. Kemunculannya bikin ingatanku yang hilang jadi ikutan balik. Kami bahagia sejenak sebelum akhirnya aku meningg--ah, lucu. Nice story Alit. Tapi, genre hidupmu bukan romcom, meski ada mati-matinya. Jadi, stay strong soalnya manusia jahat masih ada. Jangan jadi jahat juga ya, Alit. Semangat dan selamat!