Senin, 25 Maret 2019

Aku dan Kisahku

23.25 WIB

Tak ada yang spesial hari ini, atau pun besok. Asal tahu saja, 21 tahun yang lalu aku lahir. Haha, menyedihkan. Ah, sebenarnya tidak. Biar kuceritakan kisah-kisah di tanggal keramat itu, 26.

Beberapa jam dari sekarang, dua puluh satu tahun yang lalu aku lahir di rumah sakit jalur eksklusif. Operasi. Jangan dipikir keluarga kami kaya. Ayahku seorang supir taksi di Surabaya, padahal kami tinggal di Banyuwangi. Entah seperti apa kerja keras ayah dulu, yang jelas, untuk membawaku ke rumah reot kami, ibu harus meminta sawah nenek yang harusnya jadi warisan dikemudian hari.

Tentang rumah, itu hanya kotakan dengan gedek pada keempat sisinya. Di dalam hanya ada sebuah ruang besar dan satu bilik kecil berisi dua kasur. Bilik itu biasa disebut kamar. Di dalamnya penuh sesak dengan gombal dan macam-macam yang lain. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingat kejadian di rumah itu. Tapi dalam album foto yang menampakkan aku dan kakak laki-lakiku, aku tahu ada TV tua dengan tombol-tombol besar di sisi kirinya, ada di atas kasur juga. Berbagai macam kalender dan koran tertempel di dinding bambu itu. Juga poster alfabet, nama-nama buah dan nama-nama binatang. Kata ibu, biar nggak ada yang ngintip kita dari luar. Bisa bayangin dong, seberapa besar lubang dari anyaman bambu itu.

Aku dengan lancangnya, lahir di tengah krisis dan menghabiskan banyak biaya. Nenek memang bukan dari keluarga kaya, tapi jika aku melihat paman atau bibi yang punya harapan padasawah mereka aku jadi menyesal. Kenapa aku lahir dengan demikian? Sawah keluargaku, ya aku.

Ayah memang ingin punya anak perempuan. Terang saja, ketiga kakak dan kakak kandungku yang tiada saat dikandungan, semuanya laki-laki. Haha, benar. Ibuku istri kedua ayah setelah bercerai dengan ibu kakak laki-laki yang tumbuh bersamaku sekarang. Kakak yang ada di album tadi. Cerita tentang itu sangat rumit. Lain kali saja.

Sebenarnya, aku tak ingat detail kejadiannya. Menurut potongan-potongan cerita dari sanak dan tetangga, setelah berhenti menjadi supir taksi di Surabaya, beliau bekerja sebagai selep keliling, orang yang mengambil gabah dari rumah ke rumah dan membawanya ke pabrik selepan untuk diolah menjadi beras siap masak. Sangat sedikit memori yang ada saat itu. Hanya sebuah rumah reot dan halaman yang luas, kolam dengan sekat untuk mandi serta kambing kecil yang diikat di belakang rumah. Ah, untung saja ingatanku tidak tajam. Jika iya, maka air mata ini pasti meleleh.

Mungkin umurku empat tahun saat itu, yang jelas aku memakai seragam hijau dengan dalaman putih selutut. TK. Rumah kami pindah. Dari yang awalnya di sebelah kanan rumah budhe jadi ke seberang jalan, jauh di kiri rumah budhe. Rumah baru kami bertetangga dengan bulek. Budhe dan bulek adalah saudara-saudara ibu.

Jangan dipikir pindahnya kami adalah sebuah penyelesaian di cerita ini. Tidak. Konflik saja belum muncul. Aku kuat menjabani cerita ini dengan mata terkantuk-kantuk daripada mengerjakan tugas Kajian Drama untuk besok pagi. Rumah baru itu tidak jauh beda dengan yang lama. Hanya saja setengah ke bawah dindingnya dari bata. Nah, sisanya anyaman bambu juga, haha.

Tapi, entah mengapa rumah itu sangat nyaman. Sangat-sangat aku rindukan. Tak jelas seperti apa bentukan rumah di awal kami menempatinya yang jelas, lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, dari waktu ke waktu, rumah itu dipernyaman dengan tembok bata yang disemen (entah apa namanya) dan dicat sekalian bambu-bambunya. Juga, lantai tanah yang diperhalus dengan semen. Rumah itu adalah rumah ternyaman dalam benak bocah SD.

Waktu terus berlalu. Umurku kian hari kian bertambah. Ayah dengan pekerjaannya di KUD sebagai supir elf atau bis mini, lancar-lancar saja. Setelah wara-wiri coba sana sini, kirim muatan ke luar kota, nyetir tronton yang akhirnya njeglong di depan rumah dan lain-lain, beliau bertahan lama di travel KUD itu. waktu-waktu itu adalah saat bahagia. Saat di mana setiap kali aku ulang tahun selalu diajak makan di luar serta mengajak seluruh keluarga besar dengan bis mininya. Yah, walalupun sebatas warung ayam pedas, bakso, sate atau nasi goreng, aku senang. Apalagi, rezeki seperti itu selalunya ada ketika ulang tahunku. Kalian tahu saja, selalunya saat kakakku yang ulang tahun, ekonomi keluarga kami seret.

Bertambahnya usia membuat aku semakin berpikir luas. Di penghujung masa sekolah dasar, KUD tempat ayah bekerja koleps. Ayah mengantar orang dengan bus mini itu bukan lagi order dari KUD melainkan koneksi ayah sendiri. Saat itu juga ibu punya warung toko yang digelar di ruang tamu. Jadi ruang tamu kami menyusut 50 %. Pikirku masih senang saja, bisa jajan gratis. Padahal, warung itu berisi dagangan bibi yang harus gulung tikar karena melahirkan sepupuku. Aku yang nakal masih saja memanfaatkan hal itu. Comot jajan saat ibu lengah. Apalagi saat di rumah sendiri, aku leluasa berbuat dosa. Pergi ngaji ke masjid diam-diam bawa jajan dan membagikannya ke teman-teman. Pun, ketika kakak yang waktu itu SMP dan jajan tidak pernah sampai lima ribu sehari, aku selalu mengambil paling tidak tiga sampai lima lembar uang dua ribuan. Tentu tanpa sepengetahuan ibu. Jahatnya aku.

Lama-kelamaan aku sadar. Kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik. Ayah punya banyak hutang di KUD sehingga sulit untuk berhenti dan warung toko itu tidak berjalan lancar--gara-gara aku? Selain itu, mataku juga terbuka. Di mana lagi ada rumah yang dindingnya masih bambu selain rumahku? Di mana lagi tetangga yang mandi masih di kubangan air dengan bilik di belakang rumah? Tak ada. keluargaku tertinggal. Status itu menempel jelas.

Bisa melanjutkan sekolah ke SMPN dekat rumah adalah sebuah keberuntungan. Pasalnya, aku yang selalunya ada di tiga besar, tiba-tiba saja mendapat nilai UN tiga terendah. Untung rapot bisa menolong. Di sana, aku mendapati kesedihan semakin terasa. Bahkan, ibu tak mampu membelikan buku tulis. Aku memakai buku sisa-sisa pelajaran SD. Sangat berbeda dengan masa SDku dulu. Saat di SMP juga, ayah pindah ke KUD lain yang lebih jauh. Di sana, ayah menjadi supir umum dengan gaji minim. Ayah tidak keberatan karena hutang-hutang di KUD sebelumnya ditanggung KUD baru itu. Hal itu membuat ibu turun tangan. Ia bekerja di Banyuwangi kota yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Singkat saja, selama ibu bekerja di sana, aku hanya pernah mengunjunginya sekali. Yang sangat terbekas di memoriku adalah saat-saat ibu pulang. Ingat betul saat itu aku tengah menonton The Moon That Embresses The Sun di kamar. Tanpa bilang apa-apa dia pulang. Sayangnya, alasan kepulangan ibu karena sakit telinga.

Ulang tahun ke 13, 14 dan 15-ku selalu diucapkan oleh seorang kawan. Teman yang kudapat saat kelas tujuh itu, lahir sehari sebelum aku. Kami selalu saling memberi selamat. Begitupun sekarang, ah tadi. Aku menginboxnya dari FB. Dia teman terpandaiku di SMP. Dia juga dari keluarga berada. Tapi sayang, dia memutuskan untuk menjadi ibu. Emh, tak apa sih, ehehe.

O iya, di kelas sembilan, ulang tahunku bertepatan dengan UN. Dan kalian tahu, terlepas dari segala tekanan masa SMP, nilai UN-ku lumayan. Empat besar dari hampir dua ratus siswa. Nilai itu membawaku masuk ke SMAN favorit di daerahku.

Kisah berlanjut. Cita dan cita masih terus kubangun. Setiap tanggal dua puluh enam maret, seperti biasanya, aku menuliskan segala harapku. Hanya tentang mimpi dan mimpi. Ya, aku terus bermimpi dan bermimpi.

Mimpiku untuk mengenakan seragam abu-abu berujung di tempat ini. Meski harus menunggu satu tahun setelah kelulusanku, tak apa. Toh, semua juga salahku. Ya, jika tidak pun mungkin karena takdir, kehendak Tuhan.

Sebelum sampai di sini, ada keseruan yang kulewati. Bekerja. Sebelum bosan dengan kegiatan menonton drama korea dan mengetik novel di kamar pengap tanpa jendela, aku tergerak untuk ke Bali. Di sana tempat mudah meraup pundi rupiah serta pengalaman. Dengan tawaran menggiurkan dari kakak sepupu, aku nekat ke sana. Menaiki motor dengan orang asing kenalan kakak itu. Tepat seminggu setelahnya aku pulang. Tak kuat. Hal mistis menjadi alibi mental recehku.

Di rumah aku dapat kado indah. Persetan dengan sweetseventeen, saat itu aku sudah umur delapan belas tahun dan rumah kami baru memiliki kamar mandi. Miris.

Setelahnya aku mendapat pekerjaan. Buruh di pabrik roti. Berat memang, tapi latar belakang pendidikanku yang lumayan dari mayoritas di sana membuatku sedikit berani berargumen. Namun, norma, jam terbang dan senioritas masih sering membungkamku. Apapun itu, aku gali sebanyak-banyaknya rupiah dari sana. dalam pikiranku, hanya ada sebuah smartphone yang belum pernah aku miliki dan tabungan untuk kuliah.

Di penghujung tahun 2016, aku mengajak kakak membeli ponsel. Saat itu tabunganku lebih dari cukup untuk membeli android seperti milik teman-teman di SMA dulu. Tapi, kakak masih melarang. Dia bilang nanti saja, terus begitu. Katanya beli yang mahal sekalian biar awet. Padahal waktu itu aku butuh. Ya buat main blog begini.

Akhirnya kakak kalah. Kami ke gerai ponsel dengan seorang keponakan yang mafhum dengan tetek mbengek begituan. Tabunganku terkuras habis. Dua setengah juta singgah di konter itu. Namun sayang, sepertinya konfik baru dimulai. Ponsel yang baru kudapat itu, hilang begitu saja. Ingat betul, saat itu tanggal 1 Februari.

1.20 (Pindah laptop karena yang sebelumnya eror)

Ya, kembali ke hari itu. Hari di mana aku akan bertemu teman SMA untuk mengambil uang bantuan yang dijanjikan dulu sekolah dulu du bank. Ternyata, tidak ada. Tidak ada dana itu, pun saat aku ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang kebetulan berkunjung untuk menyaksikan pensi dies natalies, semua seakan membuatku muak saja. Pikiranku kacau hari itu.

Aku dan seorang teman mampir ke warung bakso. Setelah sampai rumah, aku sadar hapeku hilang. Lagi-lagi seperti mimpi. Mendapatkannya seperti mimpi. Hilangnya pun seperti mimpi. Apa kabar berbagai draft tulisan yang kusimpan di sana? Foto-foto selama bekerja di pabrik? Rupiah dari keringatku ;( Apalagi waktu itu mendekati hari pernikahan kakakku. Sedih sekali saat aku sudah berangan-angan akan mengabadikan momen bahagia itu memori itu. Nyatanya, tetap saja air mata yang membanjiri. Ya, aku menangis di KUA. Bukan lagi karena ponsel itu, tapi karena merasa akan kehilangan kakak. Laki-laki kedua di hidupku.

Kembali ke titik masalah. Aku kembali menghitung-hitung tabungan. Cuma sedikit. Tak cukup bahkan untuk membeli hape baru murahan, apalagi membayar kuliah. Jadi, aku tunda rencana berhenti bekerja. Setidaknya aku harus menabung sedikit lagi untuk UKT awal.

Dan benar, semakin lama memang gajiku semakin bertambah. Pekerjaan tentu semakin muda karena jam terbangku tinggi. Bicara soal Maret, saat itu sudah masuk bulan Maret. Seorang teman kerja yang usianya jauh di bawahku tengan berulang tahun. Dia bekerja sudah sejak umur 15, berhenti sampai SMP. Ibunya meninggal setelah sakit-sakitan saat aku baru bekerja di sana dulu. Ia tidak pernah bertemu ayahnya dan tinggal bersama neneknya. Dia juga harus membiayai adik yang akan masuk SMA, itu tekatnya.

Ingat betul, saat itu kami kerja di shift malam. Aku sedang menjalankan mesin korin untuk mempacking roti dan dia jauh di belakang memilah hasil packing yang buruk. Seperti yang kubilang, latar belakang pendidikan sangat menentukan. Mesin korin yang kupakai ini dulunya dia yang menjalankan. Aku menatapnya, mengamatinya, tentu sambil bekerja. Dia menoleh dan tersenyum. Jam besar yang masih saja terlihat kecil di sisi tembok baru menujukkan angka dua belas. Aku membuka masker. Dan memainkan mulut berucap, "HeBiDi," Dia yang maskernya memang sudah terbuka tersenyum. Dia mengerti maksudku. Aku senang.


Kebimbangan untuk bekerja atau kuliah semakin menjadi. Namun, aturan pabrik yang tiba-tiba semakin rumit membawaku pada hengkang. Aku tak peduli dengan tabungan lagi. Aku hanya ingin diterima kuliah.

Dengan persiapan seadanya, aku berangkat. Setelah A,I,U,E dan O, esoknya aku pulang. Malam harinya aku merayakan segala yang telah aku lewati dengan menonton drama. Senang bukan kepalang, aku berdiri dan meloncat ke kasur, tanpa sadar headphone masih di telinga. Notebook yang aku gunakan saat ini jatuh bebas tanpa halangan. Sakit.

Tiga hari berlalu aku menyalakannya, tapi baterainya rusak. Biaya mengganti sekitar limaratus ribu. Ah, uang manalagi? Tapi, kalau aku tidak memperbaikinya, gimana aku mengerjakan tugas-tugas kuliah?

Aku lupa mana dulu, entah pengumuman lolos atau memperbaiki laptop, yang jelas aku lolos di tempat ini dan bateraiku baru. Namun sayang seribu sayang, masalah bukan hanya di baterai tapi di laptop ini sendiri. Luka yang kubuat masih membekas sampai sekarang. Dia sering mati kalau panas upss... Baterainya juga cepet habis. Sedih deh...

Belum setahun tingal di sini, aku menemukan banyak teman baru. Sebuah kejutan pertama aku dapat di umur duapuluh, tahun kemarin. Sehari sebelum hari H aku masih PJTD di luar kampus.Eh, pas tanggal 26 semua temen-temen santai aja gitu. Juga temen deketku dari SMA yang juga satu kampus. Apalagi badmood gegaa tugas.

Besoknya pas siang-siang, seorang temen bilang mau ngikut ke kos. Tumben sekali anak ini. Terus si temenku yang dari SMA ini bilang mau beli es batu dulu jadi kutinggal. Dan setelah kami masuk kamar, aku dan dua orang yang lain, ada ketukan dari gerbang. Empat orang temen termasuk si yang bilang beli es tadi bawa-bawa pisang goreng banyak dengan lilin gitu. Uhh.

Kejutan nggak berhenti. Malamnya ada kelas dan aku janji ke temen-temen buat pake rok. Sayangnya si temenku dari SMA ini ga ada kelas. Jadi dia ga bisa lihat dong. Eh, pas seorang temen minta tolong ngantar ke sekret, ke belakang, si temen SMA ini dari kegelapan kantin muncul dengan kue kecil-kecil dan lilin. Nangis dong akunya. My tweenty.

Untuk saat ini aku ga buat permintaan di blog. Cuma pengen nulis dan pas di hari ini aja. Buat ke tujuh temen kuliahku, thanks udah pernah bikin aku bahagia. Permasalahan yang sering kita alami itu ya jalan buat kita semakin deket. BTW, sorry buat yang ultah baru-baru ini aku nggak ngucapin atau ngasih selamat. Apalagi yang Desember itu, kita yang salah paham dan malah berantem. Kalian juga sih, ultah pas liburan dan bareng pula. Masa iya lima orang deketan ultahnya. Nah, sulit buat aku sama dua yang lain ngasih kejutan. Kita bertiga udah buat rencana dari jauh-jauh hari juga. Tapi belum terlaksana sampe sakarang. Sampe aku ultah lagi. Uhuuu sorry. Mungkin PKL di Bali bulan depan kami bisa melancarkan segalanya. See you.

Eh hampir kelupaan. Rumahku sekarang bukan yg dulu. Hal ini aku kaget. Masa setiap mau pulkam dilarang. Heladalah ternyata rumahnya dibongkar. Katanya acara pemerintah tapi yg datang ya orang-orang itu. Soal itu ada cerita tersendiri. Sudah ah, semakin malam. Besok kuliah isuk.

Eh, semoga ga temen-temenku ga ada yang baca. Semoga.

Thanks God. Happy tweenty one.

Selasa, 26 Maret 2019


Minggu, 03 Maret 2019

Aku dan Kisahku



Aku dan Kisahku part 1

Perkenalkan, aku si tidak dikenal sedang memperkenalkan diri. Ya, sila sebut aku si upik abu atau figuran karena pada kenyataanya aku ya begini-begini saja. Bahkan hal remeh yang dimiliki setiap pecundang—bakat—tak akan pernah kumiliki tanpa keyakinanku sendiri dan tangan Tuhan. Ah, pecundang. 
 
Di sini, aku ingin berbicara soal cinta. Topik klise yang tak ada matinya. Cinta, aku penasaran dengan kata itu. Kenapa tak bisa pergi barang sejenak dari hidupku bahkan saat aku tak punya cinta, tak pernah punya cinta. Padamu kuberitahu, aku bosan menghias tulisan tak penting ini dengan kalimat indah. Kenapa? Karena pada akhirnya aku sendiri yang akan mengagumi tulisanku. Bodoh! Bukannya bodoh yang bodoh hanya saja aku bodoh!

Kembali ke cinta. Tak akan aku membual macam caption cantik di setiap sosmed beridentitas aku. Muak tapi penuh candu. Ya, begitulah setan. Datang dalam bentuk kenikmatan. Lihat saja sekarang, karena bentuk tak kasat mata itu, produktivitasku menulis mencapai nol persen! Cintaku hilang! Haruskah aku menyalahkan situasi seperti Spongebob Squarepants yang mendramatisir hidupnya untuk menunda tugas dari Nyonya Puft? Dia menyalahkan orang-orang disekelilingnya juga. Padahal apa? Semua ketidakmampuan ya berasal dari dirinya sendiri. 

Tiba-tiba saja aku teringat pada Tere Liye. Ya saat itu aku sedang kacau. Tidak ada yang salah. Hanya sisi internalku sedang rusak. Tak ada ide menulis. Otakku seluruhnya terpaku pada kesenangan sesaat saat itu. Alasan yang sama, penuh ketakutan dan kesakitan ketika aku mulai berpikir dan menggali ide. Sejenak melupakan bagaimana manisnya ketika rekaan cerita terekam pada teks dan dengan senyum mengembang, aku puas. Tidak waras waktu itu. Hingga kemalasan yang lagi-lagi ditangani oleh Tuhan membawaku pada motivasi Tere Liye tentang menulis. Semangatku kambuh. Sesaat. Dan bahkan masih pada tahap memikirkan saja, perlahan semua kembali pudar.

Aku tahu tak ada usaha yang menghianati hasil. Hanya berpikir realistis, aku yang sekarang tak sengoyo aku yang dulu. Sontoloyo memang takdir. Membawaku pada cerita yang amburadul. Bolehkan aku rindu pada tangis? Mungkin ada yang akan menjawab, “Silakan, tapi ada baiknya kau rindu Tuhanmu dulu.”

Tuhan? Ya, kerinduanku akhir-akhir ini belum juga terbayar. Aku sholat dan berdoa, tapi tak ada niat tulus selain menggugurkan kwajiban—sepertinya. Cintaku pada Tuhan tergeser oleh kesibukan tak penting di dunia fana ini. Persetan dengan niat abal-abal berasaskan janji. Hanya perlu A dan B seterusnya menggila. Ah, dimana letak cinta yang kumaksudkan tadi?

Oh iya, tentang aku dan cinta akan kuceritakan pada kesempatan lainnya saja.




31 Januari 2019