Aku dan Kisahku part 1
Perkenalkan, aku si tidak
dikenal sedang memperkenalkan diri. Ya, sila sebut aku si upik abu atau figuran
karena pada kenyataanya aku ya begini-begini saja. Bahkan hal remeh yang
dimiliki setiap pecundang—bakat—tak akan pernah kumiliki tanpa keyakinanku
sendiri dan tangan Tuhan. Ah, pecundang.
Di sini, aku ingin berbicara
soal cinta. Topik klise yang tak ada matinya. Cinta, aku penasaran dengan kata
itu. Kenapa tak bisa pergi barang sejenak dari hidupku bahkan saat aku tak
punya cinta, tak pernah punya cinta. Padamu kuberitahu, aku bosan menghias
tulisan tak penting ini dengan kalimat indah. Kenapa? Karena pada akhirnya aku
sendiri yang akan mengagumi tulisanku. Bodoh! Bukannya bodoh yang bodoh hanya
saja aku bodoh!
Kembali ke cinta. Tak akan
aku membual macam caption cantik di setiap sosmed beridentitas aku. Muak tapi
penuh candu. Ya, begitulah setan. Datang dalam bentuk kenikmatan. Lihat saja
sekarang, karena bentuk tak kasat mata itu, produktivitasku menulis mencapai
nol persen! Cintaku hilang! Haruskah aku menyalahkan situasi seperti Spongebob
Squarepants yang mendramatisir hidupnya untuk menunda tugas dari Nyonya Puft?
Dia menyalahkan orang-orang disekelilingnya juga. Padahal apa? Semua
ketidakmampuan ya berasal dari dirinya sendiri.
Tiba-tiba saja aku
teringat pada Tere Liye. Ya saat itu aku sedang kacau. Tidak ada yang salah.
Hanya sisi internalku sedang rusak. Tak ada ide menulis. Otakku seluruhnya
terpaku pada kesenangan sesaat saat itu. Alasan yang sama, penuh ketakutan dan
kesakitan ketika aku mulai berpikir dan menggali ide. Sejenak melupakan
bagaimana manisnya ketika rekaan cerita terekam pada teks dan dengan senyum
mengembang, aku puas. Tidak waras waktu itu. Hingga kemalasan yang lagi-lagi
ditangani oleh Tuhan membawaku pada motivasi Tere Liye tentang menulis.
Semangatku kambuh. Sesaat. Dan bahkan masih pada tahap memikirkan saja,
perlahan semua kembali pudar.
Aku tahu tak ada usaha
yang menghianati hasil. Hanya berpikir realistis, aku yang sekarang tak sengoyo
aku yang dulu. Sontoloyo memang takdir. Membawaku pada cerita yang amburadul.
Bolehkan aku rindu pada tangis? Mungkin ada yang akan menjawab, “Silakan, tapi
ada baiknya kau rindu Tuhanmu dulu.”
Tuhan? Ya, kerinduanku
akhir-akhir ini belum juga terbayar. Aku sholat dan berdoa, tapi tak ada niat
tulus selain menggugurkan kwajiban—sepertinya. Cintaku pada Tuhan tergeser oleh
kesibukan tak penting di dunia fana ini. Persetan dengan niat abal-abal
berasaskan janji. Hanya perlu A dan B seterusnya menggila. Ah, dimana letak
cinta yang kumaksudkan tadi?
Oh iya, tentang aku dan
cinta akan kuceritakan pada kesempatan lainnya saja.
31 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar