Minggu, 03 Maret 2019

Aku dan Kisahku



Aku dan Kisahku part 1

Perkenalkan, aku si tidak dikenal sedang memperkenalkan diri. Ya, sila sebut aku si upik abu atau figuran karena pada kenyataanya aku ya begini-begini saja. Bahkan hal remeh yang dimiliki setiap pecundang—bakat—tak akan pernah kumiliki tanpa keyakinanku sendiri dan tangan Tuhan. Ah, pecundang. 
 
Di sini, aku ingin berbicara soal cinta. Topik klise yang tak ada matinya. Cinta, aku penasaran dengan kata itu. Kenapa tak bisa pergi barang sejenak dari hidupku bahkan saat aku tak punya cinta, tak pernah punya cinta. Padamu kuberitahu, aku bosan menghias tulisan tak penting ini dengan kalimat indah. Kenapa? Karena pada akhirnya aku sendiri yang akan mengagumi tulisanku. Bodoh! Bukannya bodoh yang bodoh hanya saja aku bodoh!

Kembali ke cinta. Tak akan aku membual macam caption cantik di setiap sosmed beridentitas aku. Muak tapi penuh candu. Ya, begitulah setan. Datang dalam bentuk kenikmatan. Lihat saja sekarang, karena bentuk tak kasat mata itu, produktivitasku menulis mencapai nol persen! Cintaku hilang! Haruskah aku menyalahkan situasi seperti Spongebob Squarepants yang mendramatisir hidupnya untuk menunda tugas dari Nyonya Puft? Dia menyalahkan orang-orang disekelilingnya juga. Padahal apa? Semua ketidakmampuan ya berasal dari dirinya sendiri. 

Tiba-tiba saja aku teringat pada Tere Liye. Ya saat itu aku sedang kacau. Tidak ada yang salah. Hanya sisi internalku sedang rusak. Tak ada ide menulis. Otakku seluruhnya terpaku pada kesenangan sesaat saat itu. Alasan yang sama, penuh ketakutan dan kesakitan ketika aku mulai berpikir dan menggali ide. Sejenak melupakan bagaimana manisnya ketika rekaan cerita terekam pada teks dan dengan senyum mengembang, aku puas. Tidak waras waktu itu. Hingga kemalasan yang lagi-lagi ditangani oleh Tuhan membawaku pada motivasi Tere Liye tentang menulis. Semangatku kambuh. Sesaat. Dan bahkan masih pada tahap memikirkan saja, perlahan semua kembali pudar.

Aku tahu tak ada usaha yang menghianati hasil. Hanya berpikir realistis, aku yang sekarang tak sengoyo aku yang dulu. Sontoloyo memang takdir. Membawaku pada cerita yang amburadul. Bolehkan aku rindu pada tangis? Mungkin ada yang akan menjawab, “Silakan, tapi ada baiknya kau rindu Tuhanmu dulu.”

Tuhan? Ya, kerinduanku akhir-akhir ini belum juga terbayar. Aku sholat dan berdoa, tapi tak ada niat tulus selain menggugurkan kwajiban—sepertinya. Cintaku pada Tuhan tergeser oleh kesibukan tak penting di dunia fana ini. Persetan dengan niat abal-abal berasaskan janji. Hanya perlu A dan B seterusnya menggila. Ah, dimana letak cinta yang kumaksudkan tadi?

Oh iya, tentang aku dan cinta akan kuceritakan pada kesempatan lainnya saja.




31 Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar