Jumat, 19 Agustus 2022

Mencoba Bersyukur dan Terus Bersyukur.

Dari kemarin, Redmi 5A-ku, benda yang paling kusayangi selain laptop, baterainya eror. Ya, kalau sudah tidak sehat sih dari lama. Cuma nggak pernah tiba-tiba mati pas masih 30-an persen. Tapi, ya nggak apa-apa. Aku mencoba sabar karena hal-hal macam itu sering terjadi. Tinggal di-charge saja kan?

Masalah lain muncul karena tombol powernya nggak begitu berfungsi. Biasanya memang aku harus mengeluarkan segenak tenaga dan teknik tertentu agar bisa menyala. Tapi, kali itu tidak. Kuku jempol yang bahkan harus kupotong dulu untuk menekannya, sampai sakit sekali. Akhirnya aku menyerah. Mencari hack lain yang ternyata ada. Bisa. Mujur. Meski tombol volume juga oglak-aglik, namun yang bagian atas masih sedikit bisa. Akhirnya hapeku bisa menyala.

Aku harus menunggu berjam-jam agar penuh karena chargernya juga busuk. Kalian mungkin pernah lihat kabel charger yang bagian atas, kepala, dan bagian dekat tembaganya, ekor, hampir patah. Tapi, pernah tidak lihat bagian tengah-tengahnya hampir serupa begitu? Nah, punyaku begitu. Padahal aku sangat memperhatikan barang-barangku. Bukannya yang enggak peduli. Tapi, ya sudah lah. Terima saja. 

Aku sedikit membatin. Meski panik, tapi aku tidak begitu frustrasi. Ya, kesal sih sampai-sampai mengurungkan banyak hal. Lebih tepatnya, melakukan tapi tidak progres. Lagi. Alias, pikiranku sudah terpenuhi banyak hal. Sebelum kejadian itu pun, laptopku sempat hang saat awal membukanya. Tools bar tidak muncul. Bukan pertama kali sih. Tapi, sempat agak panik karena lama sekali. Pada akhirnya semua kembali normal. Aku pun berpikir jika hapeku nanti akan normal. 

Sebelumnya, aku memforsir hapeku untuk memindahkan beberapa file ke drive, juga menghapus file-file lain yang sudah kupindahkan ke laptop. Mungkin dia kelelahan ya. Tapi, setelah istirahat lama pun, paginya, tadi pagi agak subuh, pas aku bangun tiba-tiba hapeku mati lagi. Padahal masih 40an persen. Aku mencoba sabar dan berpikir positif. Apa susahnya nge-charge dan nyalain lagi? Ya, emang susah sih nyalainnya. Tapi, yasudah lah. Aku menunggu baterai sedikit terisi sekitar satu setengah jam sambil melanjutkan tidur. Udah nih, udah bangun lagi dan udah agak kesisi, hack tombol up volume nggak nyala. Berkali-kali dicoba sampai kukuku sakit semua, akhirnya bisa. Oke, moral value jangan nyerah. 

Pas nyala dong... Ruang penyimpanannya lega banget. Satu giga lebih. Aku nggak lagi takut kalo ada data yang ilang karena pernah kek gini. Entah gimana, tapi penyimpanan yang lega itu berkebalikan sama perfoma yang jadi lemot. Ya, sebelumnya lemot juga sih. Jadi, bisa bayangin kan, seberapa lemotnya. Aku nggak mungkin membiarkan itu. Cara untuk memperbaikinya adalah dengan menonaktifkannya lagi. Artinya mematikan lagi. Itu sudah beberapa kali kulakukan. Masalahnya, biasanya itu, aku kesulitan saat mematikannya karena tombol power tadi. Kalau untuk menyalakan sih pasrah sama alarm yang kusetting di waktu tertentu agar otomatis bangun. Jadi, gimana dong?

Okay, aku menunggu sampai hapeku mati sendiri saja. Cuma terisi 40 persen. Dan di belasan persen benar mati. Kutunggu lagi sampai bangun sendiri sambil di-charge karena sudah kuset alarm sebelumnya. Berhasil. Bloopnya lamaaaa sekali. Tapi, akhirnya balik normal. Aku masih takut tiba-tiba bermasalah lagi. Tapi, ya sudah. Belajar bersyukur. Untung nyala. Untung balik lagi. 

Sebenarnya, aku sudah tidak sering berinterkasi denga hape itu karena performanya yang demikian membuatku lebih nyaman sama laptop. Masalahnya, aku perlu dia untuk memesan gojek. Aku takut tiba-tiba mati saat akan memesan sedang aku harus buru-buru ke stasiun. Apalagi, mengingat jika kemungkinan dapat tiket berdiri karena biasanya pun, meski membeli lewat KAI Access, sudah kehabisan tiket. Tapi, ternyata semua berjalan lancar. Meski agak gupuh karena tamu bukos buanyak banget di depan sedang aku kudu sepatuan dan ditunggu gojek, dan... hey helm. Aku ingat helmku saat Mas Gojek ngasih helm kepadaku. Alhamdullilah. Btw, nama lengkap Mas Gojeknya mengingatkanku sama seseorang. Inisalnya, MAR. Aku pengen banget nyebutin nama, tapi takut kena UU ITE. Eh, bisa dipidanakan nggak sih nyebut nama orang lain, literally orang lain, di blog begini?

Cukup bahas gojeknya. Di stasiun, aku dapet tiket dong. Dan banyak orang lain di belakangku dapet. Aku bahkan masih di gerbong 1 alias banyak yang kosong pasti. Pikiran semacam, 'tau gitu berangkat agak belakangan biar nggak nunggu lama begini,' ya aku berangkat satu jam lebih sebelum keberangkatan, seperti biasa. Tapi, aku buru-buru menepis pikiran itu. Bersyukur aja, dapet tiket. Dan menunggu kali itu, aku bener-bener nggak ngapa-ngapain. Nggak buka laptop atau hape. Nggak ngobrol sama orang juga, kayak tempo hari. Itu berlanjut sampai di stasiun pemberhentian. 

Dan kelanjutannya adalah ketika masku muncul di detik-detik saat mataku berair itu. Rasanya lega. Ya, meski agak cemas kalo Masku bertingkah dengan mengajak ngobrol pembahasan yang memuakan--atau menyedihkan. Namun, dia malah membahas tentang ketidakadilan yang dirasakan petani. Dia kecewa karena pupuk subsidi terbatas dan hanya di tempat-tempat tertentu. Dia juga membahas kasus Sambo. Membicarakan banyak hal tentang hukum dan pemerintahan. Tidak biasanya. Tidak menyenangkan pula. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya tidak menyinggung hal-hal tentang diriku, atau tentang dirinya. Itu cukup. 

Mas juga memintaku memilih, nasi goreng atau mie ayam. Kubilang tidak bawa uang. Dia bilang dia yang bayar. Sebenarnya, aku lebih ke capek pengen langsung pulang. Tapi, aku menurut dan bilang terserah. Dia bilang kalau nasgor ya di nasgor seafood dekat pertigaan. Tempat langganan almarhumah mbak sepupu kami. Aku iya iya saja. Tapi, mas malah muter-muter nyari trabasan yang berakhir kami balik ke SMANSA lagi. Jadi, kami lewat jalan utama. Dan kekhawatiran mas terjawab saat nasgor seafood itu tutup. Aku agak sedih juga sih, gagal bernostalgia dengan kenangan mbak. 

Selanjutnya mie ayam langganan mas di perliman Jajag. Meski belum makan siang, jujur saja aku tidak sangat lapar. Lebih ke lelah. Aku berdoa dalam hati, semoga tutup. Maghrib sudah terdengar saat kami mengobrolkan tentang Sambo memasuki Jajag. Kalaupun dibungkus, pasti menunggunya lama sekali. Mie ayam kan lama emang. Apalagi tempat itu ramai. Sebelum sampai di tempat Mie Ayam, aku sempat menyebut nasgor langganan mas yang tendanya kami lewati dan terlihat lenggang. Ya siapa tahu berubah pikiran dan beli di situ saja. Setidaknya, tidak antri. Tapi, Mas bilang rasanya sudah beda. Ah, aku tidak peka terhadap perbedaan cita rasa begitu. Dan ternyata saat masku mau menyeberag ke warung Mie Ayam langganannya itu, di sana juga tidak buka. Asa! Sebelum dia membelokkan arah kembali ke area kota, aku bilang tidak usah nyari yang lain. Keburu habis Maghir. 

Akhirnya motor lurus menyeberang. Tidak, tidak langsung pulang ke rumah. Dia masuk pasar sore. Mau beli Kentaki katanya. Ya Tuhan. Biasanya dia selalu mampir ke pasar saat menjemputku, untuk beli cilok. Dia juga sudah hapal seluk pasar karena sering berbelanja dan kadang menjual hasil kebunnya di sana. Tapi, dia lurus terus sampai bakul-bakul itu habis dan ia berhenti di rombong warung yang kosong. Tak ada Kentaki. Dia kecewa. 

Aku yakin Mas nggak lapar. Mungkin karena kasihan melihatku menunggu dia begitu lama. Aku sudah lama tidak diperlakukan seperti itu. Aku kangen dimanja. Aku tidak hanya kangen Bapak. Aku sering kangen masa-masa seperti ini bersama Mas. Aku punya Ibuk yang selalu mensuportku, tapi tidak ke hal-hal romatis seperti itu. Ya, kuanggap itu romantis. Sehaus ini aku pada rasa kasih sayang yang demikian. Memang ya, rindu ke sosok yang masih hidup itu tidak lantas tidak lebih menyakitkan dari rindu pada sosok yang sudah tiada. Aku sangat mengapresiasi sebuah niat baik. 

Setelah kubilang keburu Maghrib, mas melajukan motornya kencang. Aku agak ragu untuk memegang switernya. Sudah lama sekali aku tidak memeluk erat pinggang seseorang. Selain mas-masku saat mereka mengebut, ya bapak. Aku sangat ingin dibonceng dengan motor bapak. Dan setelah bapak pergi, kemungkinan hal itu terjadi sangat sedikit. Aku tidak minder kemana-mana naik motor jadul bapak. Tapi, rasanya memang lebih nyaman kalau bersama bapak. 

Sial jadi nangis. Duh, kan niatku bersyukur.

Melewati nasgor langganan yang dekat rumah, Mas bilang kalau nanti tidak ada makanan kita beli saja di sana. Aku mengelak seperti sebelumnya kalau hari ini ibuk rewangan dan pasti banyak makanan. Tapi, ya sudahlah kuiyakan saja. Dan ternyata sampai rumah benar banyak makanan dan jajan. Tidak hanya hari ini, kemarin-kemarin juga ada saja yang punya hajat. Jadi ya banyak makanan. 

Aku lega sampai rumah. Aku bersyukur melewati hari dengan penuh rasa syukur. Kembali mengingat hal remeh. Andai aku tadi berangkat pup di lantai bawah lebih dikit, pasti nggak nyaman karena ada tamu-tamu baru pak kos. Andai aku mandi terlebih dahulu sebelum Jumatan dimulai, pasti aku merasa tidak aman di kamar mandi karena rombongan anak-anak baru juga... mas kos yang menunjukkan kamar di lantai 3 karena bukos pergi. Ah, jangan lupa promo gojek yang dapat diskon 10k kalau pakai gopay. Sisa saldoku ngepas banget sama biayanya. Untung banget. 

Banyak kok hal-hal yang bisa disyukuri hari ini. Meski Nasi Jinggo yang nggak lebih enak dalam banyak aspek dari Nasi Jagung, atau chat mengecewakan dari seorang temen, dan hal-hal menyebalkan yang untungnya tidak kuingat-ingat lagi, ada banyak hal yang sangat bisa disyukuri. Pun, kejadian-kejadian buruk di masa lampau, pasti bisa dicari sisi baiknya. Meski itu kadang terkesan seakan mencari pembenaran saja. Tapi, jika bisa membuat diri ini lebih baik, sepertinya tidak apa. 

Ya sudah, sudah hampir tengah malam. Aku harus istirahat.


Selasa, 16 Agustus 2022

Walk or Talk with me-jusseyo~

Semoga singkat, aku akan memberi waktu tiga puluh menit. Selesai nggak selesai, kudu selesai wkwk. 

Udah lama sejak aku nulis tentang jalan kaki nyari makan itu ya. Keseharian yang nggak jadi hal spesial. Salah satu yang nggak spesial pun yang baru aja terjadi. Cuma pengen aja ngeshare cerita ini. Aku mau keluar nyari makan. Tapi, jalanan ke arah tempat beli-beli, Kalimantan ditutup karena pengajian. Mau muter lewat Jawa males. Aku udah lapar banget dan kalo beli-beli di Jawa nyebrangnya susah. Satu-satunya jalan lewar gang sempit arah langgar sebelah tempat pengajian. Tumben aku meluangkan waktu dan memilih lewat gang langgar itu. Kalo biasanya sih aku udah milih muter lewat Jawa.

Aku tahu gang itu saat beli sayur pagi-pagi dan jalan gang ada tenda hajatan. Itu udah lama banget sih, pas aku masih ada temen jalan. Oke, sambil jalan, sambil mikir beli apa. Aku punya nasi di kos. Mau beli lauk, tapi nyeberang. Kalo nggak ya ke Sutarjo. Aku tetep jalan sambil mikir bahkan pas gerobak bakul lalapan di seberang jalan kelewat. Tapi, aku memutuskan berhenti dan nyeberang. Biasanya kelewat dikit aku bablas. Aku pengen makan yang berprotein. Niatnya sih tadi ayam goreng. Tapi, ayam krispinya lebih menggoda. Nggak gedhe banget kayak bakul-bakul lainnya, jadi gas aja. 

Sambil nunggu sambil mikir. Beli-beli apa ya? Ngintipin tukang keripik di depan Bursa masih ga kelihatan. Mataku agak buram sih kalo malem. Mau beli cilok di DPR kok ya kemaruk udah makan banyak. Pertimbangan lain yang muncul, aku kan nantti lewat gang terabasan. Kalo aku beli cilok DPR nyeberangnya lebih deket bunderan dan aku bakal kesulitan. Tapi, beli keripik pun kayaknya nggak karena bakulnya nggak kelihatan. Pas pesenanku kelar, aku kaget karena cuma habis 5k. Kukira ya 6-7k sih. Soalnya ati segitu, dan kemaren jamur 5k. Okelah, berarti budget buat jajan nambah. 

Pas turun dari trotoar tempat si pedagang jualan, ada ibu-ibu nyeberang. Sontak aku buru-buru ngikut. Jalanan agak rame, tapi adalah sela. Cuma nih, kerudung blusuk tipisku malik pas ada angin lewat. Mukaku ketutup semua pas aku di tengah jalan. Untung kendaraan yang lewat ga banyak dan nggak laju banget. Sesampainya di seberang jalan, kakiku ngeyel jalan ke tukang keripik. Dan beneran dong, nggak ada. Biasanya aku bakal tetep jalan alih-alih balik kalo yang kucari ga ada, dan tadi pun demikian wkwk. Aku mengubah rencana dengan beli telor gulung. Sebenernya di seberang Pujas ada. Tapi, aku milih yang agak jauh tapi nggak nyeberang. Ndilalah sampe sana ga ada. Aku udah mau bablas ke molen aja. Tapi, bakul pentil telur yang nggak pernah kulihat ada di seberang sana bikin aku nyeberang. Padahal pas itu rame banget.

Aku nanya pentil telur apa dan ibu yang jualan ngejelasin. Sebenernya aku tahu sih, cuma ya gamau sok tahu. Ibunya juga belum ibu-ibu banget. Belio sama anaknya yang mungkin masih kelas 3 atau 4 SD. Pas lagi ngocok telur, isian kotak-kotak di dalem kotak jatuh dong. Numplek karena rombongnya nggak seimbang. Aku buru-buru ke sebelah buat ngambilin. Dan itu udah kececer di tanah banyak. Ya Allah, kesian banget. Aku jadi merasa bersalah beli. Kalau tadi nggak bikinin pesenanku itu nggak bakal jatoh. Kayaknya yg jatuh juga lebih banyak dari yang kubeli. Pas pesenanku hampir selesai, aku lihat ada dua perempuan jalan searah sama aku nantinya. Setelah bayar dan jalan balik, aku masih lihat dua perempuan itu. (weit, udah 30 menit) 

Oke kulanjut ekekek. Niatku mau ngikut mereka kalo nyeberang. Di depan telur gulung depan pujas, mereka berhenti. Nih, pasti nyeberang. Dan bener aja. Tapi, belum sempet aku mengejar ketertinggalan, ternyata mereka penyeberang yang ngawur. Ngawur banget. Aku ikut kesel lihat ekspresi pengendara motor yang pada berhenti ndadak. Setelah mereka, aku nyeberang dengan 'slay'. Melewati jalanan yang kulewati sebelumnya. Dan u know what, pak bakul keripik buka. Baru buka. Aku seneng dong. Tapi, pas aku berhenti dan basa-basi gerimis jatuh lagi. Kayak pas aku di bakul lalapan. Gerimis yang hampir bikin aku batal beli-beli. Udah panik yak, nunggu bapaknya ngelayanin sama buka-bukain tosanya. Hamdalah sih, meski sampe kos juga gerimis, tapi nggak ngefek apa-apa alias aku nggak kebasahan karena cuma gerimis. 

Sampai kos... sampai kos aku pengen nulis. Pengen aja. Sebenernya banyak detail-detail kecil yang masih kuinget dan nggak ketulis. Tumben loh aku inget kan. Tapi, yaudahlah. Udah lewat tenggat juga tulisan ini. 

Sebenernya juga, hari ini agak kesel sama diriku sendiri. Yap, tentang siiiiapa ya? Gatau namanya wkwk. *pura-pura gatau. 

Aku udah gatel banget pengen sambat masalah ini. Tapi, aku masih nggak berani. Nggak tau ya, kek merasa nggak secure sama internet. Apa ya, bukan masalah tulisan ini bakal dibaca sama siapa-siapanya, karena aku yakin hampir-hampir nggak ada yang peduli juga kan? Lebih ke ketakutan kalo ternyata... ih, bingung ngejelasin. Analoginya, kalo kominfo bisa baca chat wasap kalian, aku takut ada seseorang yang bisa nyimak fafifuku dan jadi merasa nggak aman. Paham nggak sih? Wkwk. Aku rasa enggak. Intinya, aku merasa nggak aman karena dia, dan kayaknya dia juga merasa nggak aman karena aku. Hahaha. Ini cuma pemikiran manusia lelah macam aku. Berlebihan ya? Hmm, aku cuma takut. Waspada. Kayak Budiman. EH, gamau deh. Gamau kayak Budiman. Udah-udah. Mau ongoing dulu. Thx.

Jumat, 12 Agustus 2022

Anomali

Aku nangis sedetik setelah senyum-senyum makan sate. Nangisnya cuma bentar, tiga detikan. Terus muka serius dan nulis ini. Beneran aneh. Aneh banget. Nggak ada korelasinya sama sekali. Aku nggak tahu kudu apa, padahal sudah jelas harus apa. Aku bingung mau ngapain, padahal jawabannya udah tahu. Aku bener-bener kayak orang tolol yang menyia-nyiakan waktu. Bodoh. Padahal sebelum ini, aku mati-matian menekannya. Menekan diri dan waktu agar mau berkomitmen. Tapi akhirnya, semua ketakutan akan kesia-siaan itu muncul. Terus menerus berlaku. 

Minggu ketiga aku di kos. Satu minggu ke belakang aku nggak ngapa-ngapain sama sekali. Nggak baca, nggak nulis, nggak ngetik, nggak ngeblog, dan nggak yang lain-lain, pokoknya nggak produktif sama sekali. Pikiranku kacau, padahal nggak ada masalah selain konflik di pembahasan. Awalnya nyesel, kenapa dulu tiap kerja kelompok aku selalu minta ngerjain judul? Mentang-mentang paling mudah. Sekarang, skripsiku yang nggak pake analisis judul, jadi mangkrak. Belum berlanjut. Postpone, kayak konser Suju di Filipina. 

Timeline-timeline yang kubuat, selalu lewat. Timeline yang nggak saklek sih. Cuma ya selalu aja begitu. Kalo nih misal, aku nandain, hari Minggu kudu kelar. Terus ternyata hari Minggu lewat dan aku belum apa-apa, kalo kayak gitu nggak apa-apa. Aku selalu memaklumi diriku. Tapi,... tapi kalo timelineku ada di tanggal-tanggal tertentu, rasanya kayak mengkhianati diri sendiri. Mengkhianati kepercayaanku pada diri sendiri. Aku roboh. Aku gagal. Aku nggak bisa mikir jernih lagi. Aku pecundang. 

Aku pernah berjanji pada diri sendiri, pengen ngasih kado sempro di hari ulang tahunku, Maret. Iya sih, tanggal segitu aku sudah acc, tapi tetep jadinya aku sempro bulan depannya. Aku nggak mau muluk-muluk kudu cepet, setidaknya di tanggal-tanggal tertentu kelar. Bab 2-ku yang nggak kelar-kelar berbulan-bulan setelah sempro, aku nggak kesel-kesel banget. Tapi, pas aku udah bikin planing selesaiin struktural sebelum ulang tahun bapak dan kenyataannya gagal, aku sedih banget. Efeknya, bukan lagi nangis atau bersedih-sedihan. Tapi balik lagi ke procrastination. Aku merasa useless dan cuntel. Otakku tiba-tiba kosong melompong. Aku menyalahkan itu. Aku menyalahkan hal-hal yang bersentuhan dengan itu. Segala aspek kuperhitungkan. Hasilnya, aku tak berhasil. Hanya tambah pusing dan pusing. Aku menyalahkan mereka yang datang di waktu itu, sekaligus mereka yang tak datang di waktu itu. Aku kesal pada aku yang marah pada aku yang lain yang sangat ganjil, seperti novel yang sedang kuanalisis. 

Jujur saja, novel ini sangat susah. Bodohnya, aku sadar dari dulu. Tapi, tetap saja ngeyel. Sok banget. Apa lagi, aku nggak punya siapa-siapa untuk mengobrolkan kesulitan-kesulitanku. Ini masih struktural loh. Teori dasar banget di karya sastra. Tapi, aku sudah kewalahan. Pengen mutung. HAHAHAHA. Bagaimana bisa aku bertahan di teori-teori lain yang kupakai, yang bahkan belum pernah ada yang makai alias... bunuh diri kamu Alit. 

Aku mencoba bertahan, bersabar. Melakukan hal-hal secara normal, senormal mungkin. Makan, tidur, nonton, masak, mandi, ibadah, kegiatan ternormal yang kutahu. Aku mengurangi mengobrol dengan diriku sendiri. Kembali melakukan interaksi sosial meski sebatas online. Dan semua hanya membawaku pada pikiran-pikiran bodoh yang tak ada habisnya. Arus informasi yang muncul tak bisa kubendung. Semua terserap begitu saja. Otakku terlalu penuh dengan perkara-perkara yang tak ada hubungannya dengan diriku. Aku kesal dengan diriku yang begitu. Aku tidak mau jadi Budiman. Kecewa dengan pemerintah, kecewa dengan kampus, kecewa dengan situasi yang ada dan menjadi 'sakit'. Aku takut jadi demikian. Aku tidak begitu mampu mengendalikan diri. Aku sangat lemah melawan nafsu, seperti... 

“Sesungguhnya semua hal adalah informasi. Tapi sebagian dari kita tidak punya cara dan kesiapan untuk menerimanya.”

Pesan itu muncul ketika aku baru saja usai menyemprotkan parfum di bajuku. Kemudian muncul pesan lagi lewat gawaiku, “Aku pikir nanti ada banyak informasi yang akan kamu dapatkan. Seraplah sebaik mungkin. Dan yang paling penting adalah mengerjakannya. Percuma kita bisa menyerap dan mencerna informasi, tapi malas mengerjakannya. Sebagian dari kita memang teramat malas mengerjakan tugas-tugas kehidupan. Malas mengerjakan panggilan-panggilan nurani. Hanya rajin kalau yang memangil nafsu. Seakan hanya itu saja penggerak hidup ini.” (SLYKDR:45) 

Sepertinya kutipan itu yang bisa membuatku bertahan beberapa hari itu. Dan ya... sebatas sampai kutipan itu. Otakku tak lagi dipenuhi perkara yang terjadi di sana. Alih-alih aku merasa menjadi Budiman. Kasus-kasus yang tak ada habisnya. Aku ingin langsung ke chapter akhir di hidupku. Entah akan menyedihkan seperti Budiman, atau mungkin bahagia seperti dia (jika ada yang menganggap itu bahagia). Aku sangat suka cerita itu. Tak semuluk novel-novel tiran Tere Liye, dan setelah kucari-cari memang segala kasus yang ada di sana benar ada. Aku suka dengan anomali yang diberikan penulis. Memberi hal-hal ganjil yang aku yakin tidak ganjil bagi sebagian orang. Aku sangat suka. Seakan, aku bisa memahaminya hanya dalam sekali baca. Namun, nyatanya, setelah berkali-kali, aku makin bingung. Aku makin tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menyesali keputusanku berganti-ganti teori, karena sepertinya teori awal yang kupakai sudah sangat tepat. Namun, aku tetap harus menjalani ini. Aku... aku tidak tahu kudu apa. Apalagi...

Apalagi ternyata... anomali yang kuyakini jadi nilai jual itu, berganti. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah sedemikian bingungnya, aku malah berlaku seakan tak ada apa-apa. Ya memang tak ada apa-apa sih. Harusnya, bukan aku seorang yang mengalami kerumitan saat mengerjakan skripsi. Ya, memang sih, kesialanku sudah banyak. Tapi, ini bukan hal yang bisa diprediksi. Aku... mencoba menjalaninya. 

Namun, seperti yang kubilang, otakku penuh memikirkan hal lain. Ini sangat menyiksa. Aku kudu ini dan itu, tapi aku malah ini dan itu. Hal seperti ini terjadi di diriku sebelumnya. Saat sebelumnya berada di Jember, saat aku harusnya fokus mengerjakan skripsi, otakku malah tertuju pada berita-berita. Gila, itu benar-benar bodoh dan aku nggak bisa menahan itu. Sumpah, aku ingin tidak tertarik pada kejadian di luar lingkupku. Bukan karena apatis, aku hanya tidak mau terbelenggu di sana. Ini sangat menyiksa. 

Di kejadian yang sebelumnya itu, aku berhasil mengentaskan diri saat temanku mengabari jika dirinya akan lamaran di akhir pekan. Saat itu masih awal pekan, aku langsung menggenjot tenaga untuk menuntaskan target yang harusnya selesai berbulan-bulan sebelumnya. Bagus nggak bagus, aku sudah nggak peduli. Yang penting kelar. Dan ya... sudah. Setidaknya, aku bisa mengirim progres itu ke dosen, meski sampai saat ini belum ada kepastian. Namun, hal-hal semacam itu, anomali itu, bisa dan sering terjadi padaku. Tapi rasanya... kali ini berbeda. 

Aku sangat kesal saat kemarin lusa temanku yang lain, mengabari jika dia akan lamaran di akhir pekan ini. Besok. Dia mengabariku hari Kamis, saat aku tidur pagi sampai sore. Benar-benar minggu ini hanya kuhabiskan untuk tidur. Andai temanku mengabari lebih awal, aku bisa memutuskan dengan cepat. Menghentikan kebingunganku dan melenggang ke sana, atau menyelesaikan ini dengan ajaib entah bagaimana. Namun, itu hanya elakanku untuk kesedihan ini. Aku tak tergerak pergi. Aku kesal berada di sini. Tapi, aku tak mau bertambah beban jika kembali pulang. Seperti tak ada pilihan. Aku tidak punya target lagi. Sangat tidak mungkin untuk menembus timelineku selanjutnya; semhas di ulang tahun Ibuk. Ini sangat tidak mungkin. Aku tidak menyerah, namun aku sudah kalah. 

Sedih dan kesal. Aku seperti terlalu menghayati novel yang kujadikan objek, sampai-sampai mengilhaminya dalam hidup. Mengasingkan diri sebagai anomali. Melakukan obrolan batin yang aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. 

Aku sudah mencoba banyak hal untuk mengalihkan pikiran. Namun, tetap saja. Aku kesal. Aku lelah. Aku capek. Aku ingin istirahat. Namun, ketidakngapa-ngapainku seminggu ini, seperti tidak ada gunanya. Aku tidak ngapa-ngapain, tapi aku sangat capek. Aku tidak membuka drafku, tapi rasanya otakku sudah lelah. Aku bingung. Aku linglung. 


 


Sabtu, 06 Agustus 2022

Kenapa?

Kenapa sekarang hari Sabtu?

Kenapa sekarang bulan Agustus?

Kenapa sekarang aku nggak punya bapak?