Minggu ketiga aku di kos. Satu minggu ke belakang aku nggak ngapa-ngapain sama sekali. Nggak baca, nggak nulis, nggak ngetik, nggak ngeblog, dan nggak yang lain-lain, pokoknya nggak produktif sama sekali. Pikiranku kacau, padahal nggak ada masalah selain konflik di pembahasan. Awalnya nyesel, kenapa dulu tiap kerja kelompok aku selalu minta ngerjain judul? Mentang-mentang paling mudah. Sekarang, skripsiku yang nggak pake analisis judul, jadi mangkrak. Belum berlanjut. Postpone, kayak konser Suju di Filipina.
Timeline-timeline yang kubuat, selalu lewat. Timeline yang nggak saklek sih. Cuma ya selalu aja begitu. Kalo nih misal, aku nandain, hari Minggu kudu kelar. Terus ternyata hari Minggu lewat dan aku belum apa-apa, kalo kayak gitu nggak apa-apa. Aku selalu memaklumi diriku. Tapi,... tapi kalo timelineku ada di tanggal-tanggal tertentu, rasanya kayak mengkhianati diri sendiri. Mengkhianati kepercayaanku pada diri sendiri. Aku roboh. Aku gagal. Aku nggak bisa mikir jernih lagi. Aku pecundang.
Aku pernah berjanji pada diri sendiri, pengen ngasih kado sempro di hari ulang tahunku, Maret. Iya sih, tanggal segitu aku sudah acc, tapi tetep jadinya aku sempro bulan depannya. Aku nggak mau muluk-muluk kudu cepet, setidaknya di tanggal-tanggal tertentu kelar. Bab 2-ku yang nggak kelar-kelar berbulan-bulan setelah sempro, aku nggak kesel-kesel banget. Tapi, pas aku udah bikin planing selesaiin struktural sebelum ulang tahun bapak dan kenyataannya gagal, aku sedih banget. Efeknya, bukan lagi nangis atau bersedih-sedihan. Tapi balik lagi ke procrastination. Aku merasa useless dan cuntel. Otakku tiba-tiba kosong melompong. Aku menyalahkan itu. Aku menyalahkan hal-hal yang bersentuhan dengan itu. Segala aspek kuperhitungkan. Hasilnya, aku tak berhasil. Hanya tambah pusing dan pusing. Aku menyalahkan mereka yang datang di waktu itu, sekaligus mereka yang tak datang di waktu itu. Aku kesal pada aku yang marah pada aku yang lain yang sangat ganjil, seperti novel yang sedang kuanalisis.
Jujur saja, novel ini sangat susah. Bodohnya, aku sadar dari dulu. Tapi, tetap saja ngeyel. Sok banget. Apa lagi, aku nggak punya siapa-siapa untuk mengobrolkan kesulitan-kesulitanku. Ini masih struktural loh. Teori dasar banget di karya sastra. Tapi, aku sudah kewalahan. Pengen mutung. HAHAHAHA. Bagaimana bisa aku bertahan di teori-teori lain yang kupakai, yang bahkan belum pernah ada yang makai alias... bunuh diri kamu Alit.
Aku mencoba bertahan, bersabar. Melakukan hal-hal secara normal, senormal mungkin. Makan, tidur, nonton, masak, mandi, ibadah, kegiatan ternormal yang kutahu. Aku mengurangi mengobrol dengan diriku sendiri. Kembali melakukan interaksi sosial meski sebatas online. Dan semua hanya membawaku pada pikiran-pikiran bodoh yang tak ada habisnya. Arus informasi yang muncul tak bisa kubendung. Semua terserap begitu saja. Otakku terlalu penuh dengan perkara-perkara yang tak ada hubungannya dengan diriku. Aku kesal dengan diriku yang begitu. Aku tidak mau jadi Budiman. Kecewa dengan pemerintah, kecewa dengan kampus, kecewa dengan situasi yang ada dan menjadi 'sakit'. Aku takut jadi demikian. Aku tidak begitu mampu mengendalikan diri. Aku sangat lemah melawan nafsu, seperti...
“Sesungguhnya semua hal adalah informasi. Tapi sebagian dari kita tidak punya cara dan kesiapan untuk menerimanya.”
Pesan itu muncul ketika aku baru saja usai menyemprotkan parfum di bajuku. Kemudian muncul pesan lagi lewat gawaiku, “Aku pikir nanti ada banyak informasi yang akan kamu dapatkan. Seraplah sebaik mungkin. Dan yang paling penting adalah mengerjakannya. Percuma kita bisa menyerap dan mencerna informasi, tapi malas mengerjakannya. Sebagian dari kita memang teramat malas mengerjakan tugas-tugas kehidupan. Malas mengerjakan panggilan-panggilan nurani. Hanya rajin kalau yang memangil nafsu. Seakan hanya itu saja penggerak hidup ini.” (SLYKDR:45)
Sepertinya kutipan itu yang bisa membuatku bertahan beberapa hari itu. Dan ya... sebatas sampai kutipan itu. Otakku tak lagi dipenuhi perkara yang terjadi di sana. Alih-alih aku merasa menjadi Budiman. Kasus-kasus yang tak ada habisnya. Aku ingin langsung ke chapter akhir di hidupku. Entah akan menyedihkan seperti Budiman, atau mungkin bahagia seperti dia (jika ada yang menganggap itu bahagia). Aku sangat suka cerita itu. Tak semuluk novel-novel tiran Tere Liye, dan setelah kucari-cari memang segala kasus yang ada di sana benar ada. Aku suka dengan anomali yang diberikan penulis. Memberi hal-hal ganjil yang aku yakin tidak ganjil bagi sebagian orang. Aku sangat suka. Seakan, aku bisa memahaminya hanya dalam sekali baca. Namun, nyatanya, setelah berkali-kali, aku makin bingung. Aku makin tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menyesali keputusanku berganti-ganti teori, karena sepertinya teori awal yang kupakai sudah sangat tepat. Namun, aku tetap harus menjalani ini. Aku... aku tidak tahu kudu apa. Apalagi...
Apalagi ternyata... anomali yang kuyakini jadi nilai jual itu, berganti. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah sedemikian bingungnya, aku malah berlaku seakan tak ada apa-apa. Ya memang tak ada apa-apa sih. Harusnya, bukan aku seorang yang mengalami kerumitan saat mengerjakan skripsi. Ya, memang sih, kesialanku sudah banyak. Tapi, ini bukan hal yang bisa diprediksi. Aku... mencoba menjalaninya.
Namun, seperti yang kubilang, otakku penuh memikirkan hal lain. Ini sangat menyiksa. Aku kudu ini dan itu, tapi aku malah ini dan itu. Hal seperti ini terjadi di diriku sebelumnya. Saat sebelumnya berada di Jember, saat aku harusnya fokus mengerjakan skripsi, otakku malah tertuju pada berita-berita. Gila, itu benar-benar bodoh dan aku nggak bisa menahan itu. Sumpah, aku ingin tidak tertarik pada kejadian di luar lingkupku. Bukan karena apatis, aku hanya tidak mau terbelenggu di sana. Ini sangat menyiksa.
Di kejadian yang sebelumnya itu, aku berhasil mengentaskan diri saat temanku mengabari jika dirinya akan lamaran di akhir pekan. Saat itu masih awal pekan, aku langsung menggenjot tenaga untuk menuntaskan target yang harusnya selesai berbulan-bulan sebelumnya. Bagus nggak bagus, aku sudah nggak peduli. Yang penting kelar. Dan ya... sudah. Setidaknya, aku bisa mengirim progres itu ke dosen, meski sampai saat ini belum ada kepastian. Namun, hal-hal semacam itu, anomali itu, bisa dan sering terjadi padaku. Tapi rasanya... kali ini berbeda.
Aku sangat kesal saat kemarin lusa temanku yang lain, mengabari jika dia akan lamaran di akhir pekan ini. Besok. Dia mengabariku hari Kamis, saat aku tidur pagi sampai sore. Benar-benar minggu ini hanya kuhabiskan untuk tidur. Andai temanku mengabari lebih awal, aku bisa memutuskan dengan cepat. Menghentikan kebingunganku dan melenggang ke sana, atau menyelesaikan ini dengan ajaib entah bagaimana. Namun, itu hanya elakanku untuk kesedihan ini. Aku tak tergerak pergi. Aku kesal berada di sini. Tapi, aku tak mau bertambah beban jika kembali pulang. Seperti tak ada pilihan. Aku tidak punya target lagi. Sangat tidak mungkin untuk menembus timelineku selanjutnya; semhas di ulang tahun Ibuk. Ini sangat tidak mungkin. Aku tidak menyerah, namun aku sudah kalah.
Sedih dan kesal. Aku seperti terlalu menghayati novel yang kujadikan objek, sampai-sampai mengilhaminya dalam hidup. Mengasingkan diri sebagai anomali. Melakukan obrolan batin yang aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.
Aku sudah mencoba banyak hal untuk mengalihkan pikiran. Namun, tetap saja. Aku kesal. Aku lelah. Aku capek. Aku ingin istirahat. Namun, ketidakngapa-ngapainku seminggu ini, seperti tidak ada gunanya. Aku tidak ngapa-ngapain, tapi aku sangat capek. Aku tidak membuka drafku, tapi rasanya otakku sudah lelah. Aku bingung. Aku linglung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar