Jumat, 11 Desember 2020

Aku dan Satu Nama

Halo, hai. 

Balik lagi nih di Aku dan Satu Nama, ehehehe. Sebenernya akhir-akhir udah rencana banget nulis blog. Tapi, ya banyak prioritas lain yang musti dilakuin. Dan sekarang, nulis lagi. Tapi, nggak seperti rencana sih. Cuma keinget satu nama, eh dua deng, dan yuklah cerita.

Ini jadi paradoks ketika tulisan ini berjudul, Aku dan Satu Nama, tapi aku pengen bercerita dua nama sekaligus. Aku juga ingin menyamarkan nama keduanya. Hmm, sebenernya nggak mungkin juga mereka tertarik sama tulisan-tulisan randomku. Tapi, ya takut khilaf aja. Upaya pencegahan. Lagian, aku ga tau bakal sampe mana link ini menyebar nantinya. Biar kupanggil mereka Tejo dan Ala.

Tejo ini, temen kenal pas ngaji. Ya, sekampung gitulah. Aku nggak begitu inget sih, sedeket apa kami dulu, yang jelas aku suka ngusilin dia. Cubit-cubitan atau mainin peci-nya gitu. Aku nggak inget betul, itu aku atau temenku lain yang ngelakuin sih. Pokoknya ya serupa itu di ingatanku. Kami ngaji bareng sampe sebelum jilid 6--jilid terakhir sebelum Qur'an, karena aku dan satu temenku yang ngusilin Tejo itu, naik jilid. Ngejar temen-temen di Qur'an biar cepet lulus. Tejo sendiri lulus setahun setelahku.

Ketika SMP, aku sesekolahan dong sama Tejo. Tapi, kami kayak engga kenal sama sekali. Nggak pernah satu kelas juga. Entah karena memang nggak ada kesempatan ngobrol atau karena dia dendam sama keusilan itu. Mungkin juga karena kami sama-sama pendiam--waktu itu. Nggak tahu sih, kalo sama si temenku satunya tadi. Soalnya dia juga sekolah di SMP yang sama.

Nah, semua berubah pas kita masuk SMA. Yap, kami satu sekolah lagi. Malah satu kelas. Di sini pun aku nggak begitu deket sama si Tejo. Paling cuma sekedar say hay dan obrolan tentang pelajaran. Hmm, kita satu ekstra sih, marching, cuma ya di sana engga deket juga. Tejo cenderung sebel sama marching dan aku sebaliknya. Hal lainnya lagi, aku sering nebeng dia balik, hehe.

Temen deketku waktu itu, cewek-cewek semua. Salah satunya Ala. Oke, Ala ini temen deket. Duduk deket, kelompokan bareng, jajan bareng, hang out bareng, pokoknya dekeetttt banget--selain rumah.

Masih kelas sepuluh, aku lupa bagaimana kronologinya, yang jelas Ala les di tempat yang sama, sama si Tejo. Suatu hari, Ala singgah ke rumahku sebelum ke tempat les yang dekat dengan sekolah. Maklum, rumah Ala lebih jauh. Nah, di perjalanan menuju ke rumahku, ban motornya bocor. Harus dibenerin dong, dan waktunya lama. Al hasil, aku menyarankan dia bareng sama Tejo aja. Toh ya Tejo nanti lewat depan rumahku juga. Kami janjian dan Tejo mengiyakan.

Sesampainya Tejo di rumahku, kami berdua agak terkejut. Terutama Ala sih. Tejo yang biasanya mengendarai motor Supra atau Vario, kala itu mengendarai motor... apa ya namanya, Vixion? Vision? Gimana dah nulisnya~ Waktu itu, si Ala udah mau nolak aja. Alasannya sih karena dia pake rok. But, why? Dia bukan tipikal perempuan bar-bar yang kesusahan bonceng samping. Aku menyarankan lagi untuk Ala memakai celana triningku. Awalnya dia menolak, tapi setelah kuyakinkan lagi--yap Ala mudah sekali terpengaruh, dia mau. Aku melambaikan tangan dengan senyum jahil ke kedua teman itu.

Suatu hari di kelas--sebenarnya aku lupa ini terjadi sebelum atau setelah insiden tebengan waktu itu, tiba-tiba tersiar kabar. Ala nge-crush Tejo. Hmm aku pake diksi yang lagi tren btw. Agak nyebelin sih ketika berita ini tersiar gara-gara ada satu temen yang baca chat-nya Ala sama Tejo di hape Ala. Dan tanpa persetujuan Ala tentunya. Wah itu jadi kabar hot untuk temen-temen di kelas.

Oh, iya untuk diketahui, dari awal masuk SMA, Tejo ini udah digandrungi sama cewek-cewek di sekolah. Entah temen seangkatan atau kakak kelas. Tiap jalan ke mushola gitu, mbak-mbak kelas sebelelas, duabelas, pada ngomongin dia. Pas solat jamaah terus kebetulan Tejo yang ngimamin, langsung deh banyak yang seneng gitu. Dan kejadian itu terwariskan ke adik tingkat saat kami naik kelas. Apalagi selain marching, Tejo juga ikut organisasi lain a.k.a OSIS. Wajar sih. Tapi ya, kenapa baru di SMA sisi charming dia muncul? Hmm, dan ya di mataku Tejo tetaplah Tejo. Teman yang nyebelin, egois, suka ngomong kasar--ke aku, jujur tapi nyakitin, dan ya cuek. Tapi kuakui sih, dia pinter dan rajin. Banget malah.

Balik lagi ke kisah Tejo dan Ala, menurut si penyebar gosip itu, si Ala kayak confess. Aku nggak tau kayak apa pastinya, dan meski Ala temen deketku, aku nggak nanya kalo dia nggak cerita. Eh tapi kayaknya Ala cerita deh, cuma aku lupa--atau nggak yakin waktu itu Ala jujur ke aku jadi lupa deh hehe. Nah, si Tejo ini bales dengan kata yang baik, tapi tetep intinya bilang kalau mereka itu temen. Temenan aja. Sebagai teman. Teman dekat. Gitu.

Dan kenapa aku tiba-tiba nulis ini? Hmm, nggak ada urgensitas sama sekali. Cuma pengen nostalgia sama masa lalu karena baru nonton--masih, drama Korea More Than Friends. Si tokoh utama di sana wajahnya mirip Tejo. Ya, nggak mirip banget sih, cuma selama 4 episode kutonton, aku penasaran kayak pernah lihat, kayak mirip siapa gitu, dan ya si Tejo ini. Terus, ngelihat sikap dan karakter si tokoh sama Tejo, astaga hampir sama. Sama pas aku inget Ala. Aku sih, misal masuk di drama itu, karakterku bukan si female lead. Tapi temennya. Ada gitu, seorang jaksa yang nggak juga ketemu jodoh. Hehe, dahlah~

Oiya lagi, sebenernya dua paragraf awal tulisan ini sudah kutulis jauh-jauh hari. Tapi lupa dan belum ada waktu lanjut. Eh, pas tahu hari ini si Tejo wisuda jadi pengen lanjut nulis. Yap, happy graduation chinggu. Maaf kalo aing pernah jahat, hehe. Oh, satu lagi. Buat temen SMA-ku yang kebetulan baca, plis yak jangan share link ini. Cukup kalian aja yang baca. Pun, jangan share omongan juga. Because Luhut is Watching. Eh...

Oh, dan, em, yap salah satu mutual--atau apa itu namanya, di Twitter termasuk salah satu tokoh di kisah ini. Pembawa kayu bakar, penyebar cerita (ya kayak aku juga sih,hehe Canda yak, canda. Dah sering kan pake olokan itu. Udah. Ini beneran sudah. Selamat 1212. Dadah~

Minggu, 06 Desember 2020

Nyanyian Rindu

 

Menaiki Trans-Jogja ini, rasanya hampir sama dengan naik angkot. Tempat duduk yang mengelilingi tepian bus, dan sepasang pintu geser di sebelah kiri. Hanya saja ini versi busnya. Lebih besar dan murah. Andai di Jember ada fasilitas seperti ini. Ah, andai di Jawa Timur ada Trans. Sepertinya aku belum pernah tahu ada Trans Surabaya atau Trans Malang.

Sedari mendengar jika ada opsi naik Trans di Jogja, semangatku bertambah. Membayangkan  menunggu di halte dan duduk seperti orang-orang sibuk yang masih tetap memilih menggunakan transportasi umum. Bertemu dan mengobrol dengan orang-orang baru. Ah...

Hal yang ada di bayanganku itu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja duduk menghadap ke samping membuat perutku tiba-tiba mual. Padahal ketika naik angkot, biasanya tidak begini. Atau karena telat sarapan dan baru selesai makan langsung masuk bus? Aku mencoba mengendalikan diri. Tidak lucu jika aku mabuk sekarang.

Bus yang kutumpangi ini tidak semua kursinya penuh. Pun, tidak juga lenggang. Untuk urusan bercakap dengan orang baru, sepertinya itu hal yang sulit dilakukan saat ini. Jika tak benar-benar perlu, tak ada cakap karena mulut dan hidung kami sama-sama tertutup masker.

Di tengah pikiranku yang berjalan-jalan riang dengan imajinasi, suara musik yang mengalun menarik perhatian. Suara khas Ebit selalu menarik memoriku ke masa lalu. Saat bapak menyetel kaset pita di tape bobrok sambil mengikuti tiap melodi. Aku yang memang suka lagu-lagu balada tentu jatuh pada nada dan lirik lagu Ebit. Dulu aku tak begitu tahu ini lagu yang mana, judulnya apa, karena bagiku semua lagu Ebit sama. Tapi sekarang aku tahu betul ini lagu yang mana.

Coba engkau katakan padaku
Apa yang seharusnya aku lakukan?
Bila larut tiba wajahmu terbayang
Kerinduan ini semakin dalam

Nyanyian Rindu. Ah, aku tak ingin banjir air mata. Pun tak ingin bersedih hati di perjalanan ini. Tidak. Tidak. Jangan. Cukup malam-malam di kamar kos yang membuatku sesak. Cukup waktu aku sendiri. Tidak di tempat umum begini. Jangan lagi, jangan. Tisu di tasku sudah habis.

Kapan lagi kita akan bertemu?
Meski hanya sekilas kau tersenyum
Kapan lagi kita nyanyi bersama?
Tatapanmu membasuh luka

 

 “Dururu, dudururu...” Aku mengikuti alunan lirik itu sambil memejamkan mata. Tidak hanya menahan air mata, tapi perut yang masih bergejolak. Ah, kata bapak, anak sopir pantang mabuk.

Minggu, 08 November 2020

THROWBACK 7

 “Oh, ini yang namanya Watu Ulo. Tempat bapak membeli asbak legendaris di rumah yang bahkan sudah jatuh berkali-kali tapi masih kokoh.” Seruku dalam hati. Sebuah batu panjang menyerupai ular terlentang di sebelah kiri pantai. Di sana sepi. Sangat sepi. Tak kulihat penjual aksesoris seperti bayanganku ketika mengingat asbak. Atau pedagang cilok seperti di Payangan tadi. Hanya tukang parkir yang tidak mau—atau memang tidak dikasih, uang parkir.

Teman-teman yang lain berlarian di pantai yang lenggang. Sungguh, baru pertama itu aku merasa seakan memiliki sebuah pantai. Aku hanya berdiam. Duduk di tepian. Teman-teman yang lain menjauh ke pantai.

“Tuh, lihat, Alit sok-sokan menyendiri.” Kata seseorang. Aku hanya abai. Pikiranku carut marut. Berpikir banyak sekali hal. Harapanku untuk sejenak lupa dengan segala permasalahan, semu. Pikiranku tidak mudah di-setting. Jika ada tombol on/off untuk pikiran, aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya karena aku mudah sekali kepikiran. 

...

“Lit, sini.” Panggil mereka lagi. Aku memasukan ponsel ke dalam tas. Melepaskan celana jin yang di dalamnya kudobel dengan celana kain kotak-kotak. Aku mendatangi mereka setelah melipat celana setinggi mungkin. Berlarian ke sana kemari di atas ombak yang tenang. Mbak Yuniar bergantian mengambil gambarku dan Fikoh. Kebanyakan candid. Aku suka. Kami menghabiskan senja di sana.

***

...

Suasana selama test berlangsung tenang. Tak ada kegaduhan berlebih selain anak-anak dari Universitas Muhammadiyah di barisan belakang yang sesekali bersahut-sahutan. Apalagi ketika senior mereka muncul di depan kami. Aku duduk di sebelah perempuan-perempuan pendiam. Meski demikian, aku menyempatkan berkenalan dengan sosok di sebelah kananku. Kami bertukar nomor WhatsApp. Tapi, sampai sekarang pun tak ada obrolan apapun di sana.

...

Aku pulang dengan menekuk punggung. Berkata selamat tinggal pada teman-teman lain yang sepertinya akan makan siang bersama. Mereka mengajakku. Entah basa-basi atau serius, aku menolak. Aku tidak seakrab itu dengan mereka. Pun, suasana hatiku sedang tidak baik.

Sampai kos, aku menerka-nerka. Apa yang salah? Soal-soal yang disajikan tadi tidak begitu sulit. Materi dasar yang tak seribet SBMPTN atau UN. Satu-satunya yang menyiksa hanya waktu. Dan kukira, aku tak sendiri kelimpungan karenanya. Tapi, kenapa aku tidak lolos? Aku juga sudah menggambar sekreatif mungkin. Menciptakan ide baru yang tak ada di internet seperti yang lainnya. Meski tak jago gambar, hasilnya tadi bisa dipahami kok. Harusnya sih. Tapi, kenapa??

***

Di sore yang melelahkan, aku berbincang dengan Fikoh. Tak ada niat untuk gibah, toh Fikoh tipikal teman yang tidak bisa diajak gibah. Kala aku menyebutkan satu nama untuk dibahas, dia akan acuh. Tapi, kali itu tidak. Aku hanya sambat prihal kekesalanku. Ternyata dia merasakan keluh yang sama.

“Kalo tiba-tiba kita balik, lucu kayaknya ya.” Kataku. Maksud balik di situ, adalah pulang ke rumah. Tanpa pikir panjang, Fikoh menyeriusi candaanku. Aku yang saat itu benar-benar kecewa dengan keadaan pun sepakat. Kami pulang.

...

Sampai di rumah, sudah lebih dari jam sepuluh. Bapak sudah tidur. Tapi, aku membangunkannya untuk bersalaman. Bapak tidak begitu tertarik dengan kehadiranku. Aku juga tidak banyak bicara. Kakak langsung pulang, tanpa memberi penjelasan seperti permintaanku—memanipulasi perjalanan pulangku. Aku pasrah kalau bapak sampai tahu.

Akhirnya, aku bercerita. Entah malam itu atau esok harinya, yang jelas aku bicara ke bapak jika aku melalui malam yang ekstrim. Bapak tidak marah. Juga tidak banyak mengomel. Hanya bilang jangan diulangi karena bahaya. Aku lega—dan merasa aneh. Tumben sekali bapak begitu.

Kelak, aku tahu. Jika sebenarnya saat itu bapak marah tanpa sepengetahuanku. Bukan kepadaku, tapi ke ibu. Ya, bapak sering juga begitu. Meluapkan kemarahannya ke orang lain. Hmm, ya... sudah. Sudah.

***

Aku dan Kisahku : Nae Yuilhan Eonni

Banyuwangi.

Hari itu, Kamis tanggal 22 Oktober. Aku ingin pergi ke Jember untuk sekedar aksi. Padahal rencanaku kembali ke sana adalah sehari setelah acara 1000 hari pakpuh. Tapi sampai detik ini batal. Jujur, berkemas adalah hal yang sangat membuatku malas. Bayangan mengingat barang apa saja yang musti dibawa atau ditinggal. Apa yang kuperlukan nanti selain uang, benar-benar harus kupikirkan. Dan ya, masih ada beberapa hal yang ingin kulakukan di rumah. Dan ya, hari itu batal juga. Kebetulan juga, ada kerabat lain yang sedang punya hajat pengajian. Inginku sih rewang, bantu-bantu di sana. Tapi, tugas rumah dan berbagai keperluan di depan layar gadget membuatku urung. 

Hampir siang, ketika sedang mengerjakan tugas rumah, ibu pulang. Tumben, pulang rewang sebelum dzuhur. Aku tanya kenapa, kata ibu lagi nggak enak badan. Wah, ini semakin tumben. 

Aku ke rumah kakak sepupuku yang sedang berhajat itu. Katanya tadi banyak yang rewang. Dan benar saja, saat aku ke sana hampir tak ada kerjaan. Aku tinggal ater-ater ke rumah kakakku yang lumayan jauh. Berdua dengan keponakan yang umurnya 8 tahun, Michaela. Di sana, kami lumayan lama. Michaela dan Arsy, anak kakakku, cocok. Bahkan, Arsy mau ikut aku pulang ke rumah tanpa dipaksa. Seperti dugaanku, balita yang lahir saat kembang api tahun baru 2018 menghiasi langit itu tertidur di perjalanan. Dengan kepayahan aku menyetir motor satu tangan. Ah, ibu lagi nggak enak badan. Siapa yang ngemong ini anak?

Singkat cerita ibu tetap bangun untuk merawat cucunya itu. Hana, keponakan lain yang dirawat ibu selama ini, kuurus. Mandi dan ngaji. Sekembalinya mengantar ngaji, ibunya Hana menelpon dari luar negeri. Bertanya apa suaminya--kakak sepupuku yang lain--masih kerja. Kujawab tidak karena sebelumnya aku melihat dia pulang. Kata ibu Hana, suaminya nggak bisa dihubungi sedari pagi. Padahal suami dari adiknya menghubungi. Mbak Pit, adik ayah Hana sakit. Dia mengajar di Bali. Mas Apit, suaminya yang LDR, mendapat kabar dari ibu kosnya. 

Setelah menyampaikan pesan ke ayah Hana, aku mampir ke rumah sepupuku yang berhajat. Sekedar bilang jika Mbak Pit masuk puskesmas. Selanjtnya, saat petang, aku kembali ke rumah kakak sepupuku yang berhajat tadi. Bersama kakak ipar yang ke rumah untuk menjemput anaknya. 

Acara berlangsung dari selepas Maghrib hingga Isya. Sepanjang itu, aku, kakak ipar, kakak sepupu, dan bulek, kami mengobrol banyak hal tentang masa lalu. Tentang silsilah keluarga dan sebagainya. Tepat jam 8 malam, aku sudah di rumah. Membalas pesan dari seorang teman yang terbengkalai karena ponsel ku-charge. Tak berselang lama kakakku dan istrinya pulang ke rumah mereka. Seperti biasa Hana bertelpon dengan ibunya. Dia mengeluh jika ayahnya tidak mengangkat sambungan telepon hingga di detik itu ayahnya mengangkatnya. Ayah Hana meminta Hana memberikan ponsel ke ibuku.

"Saiki Pitrot wes ga enek, Bek."

Deg. 

***

Jember

Hari itu sudah berselang lama. Waktu berlalu tanpa kuketahui bagaimana keseharian dua keponakanku yang ditinggalkannya karena kami tinggal berjauhan. Malam itu, aku sadar, aku tak menunjukkan kesedihan yang berlebih. Menangis sekali saat memberitahukan berita duka itu ke ayah dan ibu Michaela. Selain itu, aku biasa saja. Sepupu dan keponakan yang seumuran dengan Mbak Pit, sampai pingsan. Tak ada yang memberitahu ibu Mbak Pit. Semua orang takut beliau shock dan terjadi sesuatu yang mengerikan. Kami juga belum tahu kapan pastinya jenazah bisa dibawa kembali ke Banyuwangi karena masa pandemi ini.

Akhirnya, di hari berikutnya, aku mengantar Mbak Pit ke peristirahatan terakhirnya. Banyak wajah asing di sana. Tentu saja, aku jelas tidak mengenal warga di sana. Namun, warga dari lingkungan kami tidak kalah banyak. Aku sampai berpikir jika tongkrongan anak Ngadirejo pindah ke Sumberasi. Ya, banyak pemuda-pemuda kamu di sana. Belum lagi rombongan sanak keluarga yang sangat banyak. Sebagian sudah datang subuh tadi bersama Mbok Lah, ibu almarhumah. Lucunya, Mbok Lah sama sekali tidak meneteskan air mata. Selain karena Mbok Lah memang tatak, sepertinya daya pikir beliau sudah berkurang setelah kecelakan 10 tahun silam.

Hal yang sangat kukhawatirkan adalah Abel dan Adit. Aku yang setua ini saja masih sangat menyesal tidak mengetahui bapak sakit dan tiba-tiba meninggal, bagaimana dengan mereka? Meski masih kecil, Abel dan Adit sudah sering ditinggal ibunya. Mereka hanya bertemu seminggu sekali. Setiap Sabtu sore, Mbak Pit pulang. Senin subuh, saat matahari belum nampak, dia kembali lagi ke pulau seberang. Kadang, di hari-hari itu, dia sekeluarga berkunjung ke rumah kami. 

Pertemuan terakhir kami dengannya bukan di akhir pekan sebelum itu. Namun beberapa hari sebelumnya, saat peringatan 1000 hari ayahnya, pakpuh. Aku sendiri tak banyak mengobrol karena kondisi yang riuh. Pun saat acara selesai, dia malah pergi ke Kembang Sore--tempat ngopi, bersama para bocah. Benar-benar tak ada obrolan yang penting dan mendalam seperti biasanya.

Hari ini, aku ber-video call dengan keponakan-keponakan. Awalnya hanya dengan Hana di rumah. Selanjutnya aku mengide menambahkan nomor Mbak Pit ke panggilan. Alih-alih Mas Apit, aku yakin anak-anak yang mengangkatnya. Benar saja, wajah gelap Adit yang sangat mirip pakpuh terpampang. Abel dengan baju kuningnya--baju kuning Abel sangat banyak, menyapa. Aku bertanya sedang apa, sudah makan atau belum, dan pertanyaan ringan lainnya.Wajah pucat Abel yang sering kulihat di story wasap Mas Apit masih sama. Ada kesedihan di sana. 

Aku ingat beberapa hari yang lalu, saat masih di rumah, Hana bercerita. 

"Adit loh Mbak wes ngerti lek Lek Pit meninggal."

Selama itu, Adit tidak tahu jika mimpi buruknya sudah dimulai. Saat rumah mereka jadi rumah duka, keduanya diungsikan. Maka itulah aku khawatir mereka akan gelo dengan kenyataan itu. Baiklah, jangan Adit yang setahuku masih berumur lima tahun. Abel, Abel kukira sudah paham dengan keadaan. Biar kuberi tahu, dia ini sangat peka. Pernah saat dia main ke rumah, aku dibantu memasak untuk berbuka. Dia bahkan tahu nama-nama bumbu dan segala peralatan dapur. Tidak seperti masa balitanya yang dipegang orang lain selain ibunya saja menangis, Abel sudah sangat mandiri sejak punya adik.

Menurut cerita ibu yang terus berada di tempat mereka, saat Abel dan Adit pulang ke rumah, Abel terus saja mengikuti Utinya. Ibu Mas Apit yang selama ini merawat mereka saat Mbak Pit di Bali. 

"Mbah, hapene ibuk kok ndek omah? Enek opo to Mbah kok rame? Mbah kok akeh jarek dipepe?"

Akhirnya ia baru diberitahu saat itu. Dan tahu apa yang dia katakan?

"Oh berarti seng ndekingi kae."

Aku sudah menduga. Mengetahui ancer-ancer yang diberikan, sepertinya aku pernah diajak Mbak Pit ke rumah saudaranya yang itu. Tempatnya tidak jauh dari makam. Ya, Abel mendengar pengumuman dari masjid dan suara ambulan. Katanya, "Kok jenenge podo koyok jenenge ibukku to?" kerabat yang dititipi berbohong. Bukan, itu orang jauh. Dan setelah mengetahui hal itu, Abel panas. Ia jatuh sakit.

Seminggu kemudian saat aku ke sana, dia terlihat baik-baik saja. Bermain bersama bocah-bocah di sana yang ternyata jumlahnya banyak. Sesekali Abel merengek pada Utinya. Kadang aku menggodanya dan kemudian ia bermain-main sebentar dengan ponselku. Sedangkan Adit, ia betah berlama-lama di terik. Bersepeda dan bermain pasir. Abai dengan panggilanku. Sesekali menoleh untuk mennjukkan jika dirinya sibuk bermain. Aku baru di-notice saat di siang harinya menyapanya dan berkata akan pulang. Dengan wajah lesu, ia masih sempat-sempatnya menjulurkan lidah mengejek.

"Kapan?" tanyaku pada Hana. Bocah yang berjarak setahun tepat lebih muda dari Abel itu--tanggal lahir mereka sama, melanjutkan cerita.

"Ndekingi." Jika kuperkirakan, menurut cerita Hana, itu mungkin terjadi sebelum dia memeletiku waktu itu. Kata Hana, ada seorang teman yang bilang begitu saja. Ah~