Minggu, 08 November 2020

THROWBACK 7

 “Oh, ini yang namanya Watu Ulo. Tempat bapak membeli asbak legendaris di rumah yang bahkan sudah jatuh berkali-kali tapi masih kokoh.” Seruku dalam hati. Sebuah batu panjang menyerupai ular terlentang di sebelah kiri pantai. Di sana sepi. Sangat sepi. Tak kulihat penjual aksesoris seperti bayanganku ketika mengingat asbak. Atau pedagang cilok seperti di Payangan tadi. Hanya tukang parkir yang tidak mau—atau memang tidak dikasih, uang parkir.

Teman-teman yang lain berlarian di pantai yang lenggang. Sungguh, baru pertama itu aku merasa seakan memiliki sebuah pantai. Aku hanya berdiam. Duduk di tepian. Teman-teman yang lain menjauh ke pantai.

“Tuh, lihat, Alit sok-sokan menyendiri.” Kata seseorang. Aku hanya abai. Pikiranku carut marut. Berpikir banyak sekali hal. Harapanku untuk sejenak lupa dengan segala permasalahan, semu. Pikiranku tidak mudah di-setting. Jika ada tombol on/off untuk pikiran, aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya karena aku mudah sekali kepikiran. 

...

“Lit, sini.” Panggil mereka lagi. Aku memasukan ponsel ke dalam tas. Melepaskan celana jin yang di dalamnya kudobel dengan celana kain kotak-kotak. Aku mendatangi mereka setelah melipat celana setinggi mungkin. Berlarian ke sana kemari di atas ombak yang tenang. Mbak Yuniar bergantian mengambil gambarku dan Fikoh. Kebanyakan candid. Aku suka. Kami menghabiskan senja di sana.

***

...

Suasana selama test berlangsung tenang. Tak ada kegaduhan berlebih selain anak-anak dari Universitas Muhammadiyah di barisan belakang yang sesekali bersahut-sahutan. Apalagi ketika senior mereka muncul di depan kami. Aku duduk di sebelah perempuan-perempuan pendiam. Meski demikian, aku menyempatkan berkenalan dengan sosok di sebelah kananku. Kami bertukar nomor WhatsApp. Tapi, sampai sekarang pun tak ada obrolan apapun di sana.

...

Aku pulang dengan menekuk punggung. Berkata selamat tinggal pada teman-teman lain yang sepertinya akan makan siang bersama. Mereka mengajakku. Entah basa-basi atau serius, aku menolak. Aku tidak seakrab itu dengan mereka. Pun, suasana hatiku sedang tidak baik.

Sampai kos, aku menerka-nerka. Apa yang salah? Soal-soal yang disajikan tadi tidak begitu sulit. Materi dasar yang tak seribet SBMPTN atau UN. Satu-satunya yang menyiksa hanya waktu. Dan kukira, aku tak sendiri kelimpungan karenanya. Tapi, kenapa aku tidak lolos? Aku juga sudah menggambar sekreatif mungkin. Menciptakan ide baru yang tak ada di internet seperti yang lainnya. Meski tak jago gambar, hasilnya tadi bisa dipahami kok. Harusnya sih. Tapi, kenapa??

***

Di sore yang melelahkan, aku berbincang dengan Fikoh. Tak ada niat untuk gibah, toh Fikoh tipikal teman yang tidak bisa diajak gibah. Kala aku menyebutkan satu nama untuk dibahas, dia akan acuh. Tapi, kali itu tidak. Aku hanya sambat prihal kekesalanku. Ternyata dia merasakan keluh yang sama.

“Kalo tiba-tiba kita balik, lucu kayaknya ya.” Kataku. Maksud balik di situ, adalah pulang ke rumah. Tanpa pikir panjang, Fikoh menyeriusi candaanku. Aku yang saat itu benar-benar kecewa dengan keadaan pun sepakat. Kami pulang.

...

Sampai di rumah, sudah lebih dari jam sepuluh. Bapak sudah tidur. Tapi, aku membangunkannya untuk bersalaman. Bapak tidak begitu tertarik dengan kehadiranku. Aku juga tidak banyak bicara. Kakak langsung pulang, tanpa memberi penjelasan seperti permintaanku—memanipulasi perjalanan pulangku. Aku pasrah kalau bapak sampai tahu.

Akhirnya, aku bercerita. Entah malam itu atau esok harinya, yang jelas aku bicara ke bapak jika aku melalui malam yang ekstrim. Bapak tidak marah. Juga tidak banyak mengomel. Hanya bilang jangan diulangi karena bahaya. Aku lega—dan merasa aneh. Tumben sekali bapak begitu.

Kelak, aku tahu. Jika sebenarnya saat itu bapak marah tanpa sepengetahuanku. Bukan kepadaku, tapi ke ibu. Ya, bapak sering juga begitu. Meluapkan kemarahannya ke orang lain. Hmm, ya... sudah. Sudah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar