Kamis, 05 November 2020

THROWBACK 5


...

***

Di pagi yang dingin itu, bapak mengantarku ke perempatan kecamatan sebelah karena aku janjian dengan Fikoh bertemu di sana. Dari rumah bapak berkata jika mungkin saja nanti bensin motornya akan habis di tengah jalan. Aku santai saja karena bapak memang sering melucu begitu. Di jalan-jalan ketika berdua, kami sering membanyol. Membincangkan patung polisi yang semangat sekali karena masih sigap meski siang malam kehujanan. Atau apapun, apapun kami komentari.

Mendekati pertigaan balai desa yang angker, aku melihat sosok putih dari jauh. Ah, jangan takut, itu adalah orang-orang yang baru pulang dari masjid. Seperti di sekitar masjid yang kulewati sebelumnya. Namun, di daerah balai desa itu hanya satu orang saja, tidak banyak. Sudahlah, tidak penting sekali untuk dipikirkan. Sampai akhirnya motor bapak berhenti secara dramatis di depan balai desa. Di bawah patung raksasa buah naga yang tidak pernah membusuk. Ini bensinnya benar-benar habis?

Aku dan bapak clingak-clinguk melihat warung-warung sekitar yang tentu masih tutup. Seseorang yang memakai mukenah putih tadi mendekat. Sosok yang kami kenal. Bu Tri, guru SD-ku dulu. Lebih tepatnya guru kakak sih, karena sebelum sempat diajar, beliau sudah pensiun. Di belakangnya, Pak Tri mengikuti.

“Bu,” sapa bapak.

“Loh, Pak Ji.” Jawab beliau. “Kenapa, Pak, motornya?”

“Kehabisan bensin, Bu.” Balas bapak.

“Itu di Pak Murijan ada. Ketuk-ketuk saja Pak, pintunya. Mau kok, orangnya bukain.”

Setelah melanjutkan perbincangan dengan Bu Tri tentang kabarku dan kuliahku, bapak bergegas membeli bensin. Dan ya, bapak tidak membawa uang jadi aku yang membayarnya. Aku menunggu bapak di tempat motor berhenti. Subuh yang tidak benar-benar lenggang karena sesekali bakul mlijo lewat. Juga anak-anak yang merayakan hari pertama puasa dengan jalan-jalan.

***

...

***

Sepertinya, teman-teman yang masih puasa akan buka bersama. Aku dan dia tentu memisahkan diri. Ya, banyak sekali gunjingan untuk mereka. Tapi, ini sebatas obrolan kami berdua. Boro-boro ikut nongkrong bareng mereka, untuk buka bersama angkatan besok, sudah dipastikan dia tidak ikut. Temanku yang satu ini bukan introver, tapi apa ya? Panjang untuk bercerita karakter anehnya.

Dia mengantarku tepat di depan gerbang kos. Tak langsung berpisah, kami mengobrol banyak sekali. Dia sih enak, duduk di motornya. Nah, aku berdiri. Dia ini suka sekali ngobrol jika lagi nyambung. Ada mungkin satu jam di sana. Aku sampai tidak yakin, apa puasa kami diterima? Hahaha.

Kesokannya, dugaanku benar. Di antara teman-teman yang berkumpul melingkar memenuhi pendopo besar, tidak terlihat sosoknya. Teman-teman perempuanku hadir semua, tapi acara ini tentu tidak seseru bukber kami tempo hari. Kami berdelapan, benar-benar berdelapan, berbuka bersama di privat room. Haha, penyebutannya keren ya. Padahal itu hanya tempat makan ayam geprek yang kebetulan memakai rumah sebagai tempat usahanya. Jadi kami memakai satu kamar yang langsung penuh untuk kami sendiri.

***

 ...

***

:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar