Senin, 26 Oktober 2020

Aku dan Kisahku : Nae Yuilhan Eonni

Senin, 26 Oktober 2020

Huh! Lagi-lagi, napas berat berhembus. Sebelum berkisah tentang hal sedih baru-baru ini, mari menyelam ke dasar waktu. Throwback tahun-tahun lalu.

Tanggal 26 Oktober 2019, tahun lalu, hari kedua--dari perjalanan tiga hari, di Semarang dan Surabaya. Tidak sesakral Kongres yang pernah kuikuti di Solo sebelumnya, hanya sekedar Dies Natalis yang di dalamnya ada serangkaian acara diskusi, pelatihan, dan lomba. Aku bersama sembilan teman lainnya, mengalami banyak hal. Iya, banyak. Tentu tidak semengesankan di Solo, masih, hanya saja bisalah jadi sebuah pengalaman lain. Naik kereta, bertemu alumni, ikut pelatihan, makan-makan di pinggir jalan yang di sekelilingnya sawah, dan nyaris tertinggal kereta. Campur aduk. Yang sangat berkesan bagiku, adalah waktu yang kami miliki bersama. Jarang, dan susah sekali berkumpul begitu. Apalagi bersama anak magang.

Ditarik ke tahun sebelumnya, masih di tanggal 26 Oktober, aku bercengekerama dengan orang-orang yang sama. Tidak semua. Hanya sebagian. Mungkin dua orang. Waktu itu aku masih magang. Zaman di mana aku masih bersenang-senang dan bisa senang. Entah setelah pementasan apa, banyak properti di depan ruang sekret. Kami--aku dan sebagian orang tadi, bermain-main dengan troli. Layaknya anak kecil, rasanya menyenangkan. Apalagi, sekret tidak seramai bisanya. Jadi, kami tidak begitu malu. Yah, meski banyak anak-anak Thailand yang sedang olahraga--basket dan voli--di lapangan depan sekret. Hehe.

Lagi, 26 Oktober. Tahun pertama di bangku perkuliahan, 2017. Saat itu, aku masih sangat asing dengan kota kampusku. Tak punya banyak teman, pun tak ada jaringan. Polos. Waktu itu, kakak sepupu yang kuliah di UT, wisuda. Wisudanya, ke kotaku. Senang dong. Pertama, karena kakakku lulus. Kedua, bakal ketemu di sana--aku harap para keponakan ikut. Dan ketiga, ada sanak yang main ke kos. Waktu itu, aku masih sekali pulkam. Jadi, masih sering homesick.

Kakak sepupu itu, sering kupanggil Mbak Pit. Umurnya, 10 tahun lebih tua dariku. Dia kuliah di UT sejak melajang sampai punya dua anak. Dia mengambil cuti waktu itu. Ingat betul, saat anak pertamanya lahir, dia mulai melanjutkan kuliahnya. Tapi, tanpa diduga dua hamil lagi. Kesundulan atau apa ya namanya? Jadi, dengan perut besar dia melakukan kegiatannya sebagai ibu, ibu yang mengandung, istri, dan mahasiswa. 

Aku tidak begitu tahu benar bagaimana perjuangan Mbak Pit saat itu. Karena setelah menikah, dia memutuskan tinggal di rumah suami yang jaraknya sangat-sangat-sangat jauh. Tepatnya, di dekat laut dan melewati hutan. Jauh. Di saat-saat itu, aku merasa kehilangan sosok kakak perempuan. Tak ada yang mengajakku jalan-jalan. Tak ada yang tiba-tiba datang dan mengobrol. Tak ada yang kutemui saat ke rumahnya. Kosong. 

Akhirnya, aku beradaptasi dengan kehidupan baru. Mbak Pit, bukan remaja lagi. Dia sudah punya hidupnya. Dia memilih jalannya. Aku, di masa SMA-ku, tak lagi punya sosok kakak perempuan. Alih-alih, aku punya banyak keponakan. 

Sesekali, Mbak Pit bersama anak dan suaminya main ke rumah. Ya ke rumahku, ya ke rumah orang tuanya. Abel, anak pertamanya sangat susah didekati. Siapapun. Kalo bukan ibunya, nggak mau. Hingga setahun--lebih--kemudian, dia punya adik. Namanya Adit, Mbak Pit yang kelimpungan mengurus anak-anak dan kuliahnya, jarang datang. Tapi, saat berkunjung, aku melihat Abel sudah berbeda. Dia sangat mandiri. Sepertinya, menjadi kakak adalah cara terampuh untuknya dari jerat manja.

Di masa-masa aku lulus SMA dan bekerja, ayah Mbak Pit sakit-sakitan. Istrinya, ibu Mbak Pit, sudah sepuh dan pikirannya tidak begitu kuat pasca kecelakan ketika aku SMP. Jadi, Mbak Pit sering berkunjung lagi. Waktu selanjutnya, ganti aku yang pergi. Berkesempatan kuliah di kota tetangga. Sampai akhirnya bertemu lagi saat wisudanya. Tiga tahun yang lalu. 

Senang, sangat senang. Sekarang pun, jika mengingatnya aku senang. Dengan membawa buket bunga kecil yang tentu saja murah, aku menemuinya. Satu-satunya keluarga dekat yang peduli dengan pendidikannya. Kiblatku mencuri ilmu sedari kecil. Dan, saat itu, aku satu-satunya keluarga yang datang. Abel, Adit, dan Mas Apit tidak ikut. Aku lupa karena apa tapi Mbak Pit menceritakannya kok. Juga, saat aku berkunjung ke rumahnya beberapa waktu kemudian, Abel dengan jelas menceritakan apa yang diceritakan ibunya di wisudanya. Tentang buket bunga boneka beruang itu. Ya, senang. 

Dan sekarang, 26 Oktober 2020, tahun tersingkat sepanjang hidupku ini, aku merindukan nae yuilhan eonni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar