Kamis, 05 November 2020

THROWBACK 6

Namanya Jeni. Dia seumuran denganku. Jeni ini satu-satunya sepupu yang seumuran dari keluarga bapak. Mbak Pur, Mbak Ira, Mbak Ika, dan  Dek Vera, mereka lebih tua. Sepupu laki-laki lainnya, juga tidak ada yang seumuran.

Bulan Mei, tiga tahun yang lalu, keluargaku mendapat kabar buruk. Ayah Jeni secara mendadak meninggal dunia. Aku terkejut. Bapak tentu saja. Ayah Jeni adalah adik tepat di bawah bapak. Berbeda dengan bapak, Ayah Jeni tak pernah mengeluh sakit. Saat itu, aku baru lulus SMA. Jeni juga. Tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan dia saat itu. Selanjutnya, dia hidup bersama ibu dan adik laki-laki yang usianya terpaut enam tahun, Dendra.

Sekarang, kehidupan Jeni lebih berwarna. Dia akan menikah. Setahuku, dari dulu banyak sekali laki-laki yang mendekati Jeni. Meski begitu, saat dia terpuruk dahulu, sesekali dia masih menunjukkan kesedihannya karena kehilangan seorang ayah. Seorang ayah memang sangat berarti bagi anak perempuannya. Baik Jeni maupun aku.

“Kapan Pak nikahan Jeni?”

“Akhir Agustus.”

“Yeay, aku masih libur itu.”

“Sampean pengen ke sana?”

“Ya gimana Pak, kemarin pas Dek Vera nikah aku nggak bisa ikut karena UAS. Masa sekarang nggak? Sekalian nanti baliknya langsung mampir ke kos.”

“Kayaknya bapak nggak jadi sewa mobil.”

...

Ah, tiba-tiba saja aku teringat cerita bapak ketika bertemu Soimah. Itu, penyanyi yang dulunya sinden dari Pati. Sampai sekarang Soimah menyebut dirinya sinden sih. Saat itu, nama Soimah sedang naik-naiknya karena kontes penyanyi dangdut. Bapak bilang kalau beliau bertemu Soimah di Pati. Aku hanya menertawai cerita bapak. Saat itu aku tahu bapak baru mengantarkan rombongan takziah wali wolu sampe Jawa Tengah. Tapi, cerita bapak aneh. Jika saja ada bukti foto seperti saat bapak bertemu tokoh sepak bola idolanya—entah siapa namanya—di Surabaya bertahun-tahun lalu, aku akan percaya.

“Hape Bapak kan nggak ada kameranya. Waktu itu tuh bapak dikasih tahu, eh ini loh jalan ke rumahnya Soimah, ya bapak ikuti aja. Terus ada penumpang yang ngasih tunjuk. Sampe rumahnya kami berhenti. Bapak keluar dan manggil-manggil Soimah yang lagi di depan rumah.”

“Terus?”

“Ya Bapak bilang, Bapak fansnya. Terus masuk lagi ke mobil sambil dadah-dadah.”

Ya, kurang lebih seperti itu perbincangan kami. Jadi, aku tidak percaya begitu saja. Tapi, menurut ibu yang tidak pernah mengada-ada sebuah cerita, bapak benar bertemu Soimah. Lucu sekali.

...

zzz

zzzzz

...

“Drama musikal ya?” kata dosn itu. Pikiranku menjurus pada film Aladdin yang kutonton bersama Aning sebelumnya. Apa mungkin kami bisa menampilkan pementasan yang demikian? Kami? Ha? Hahaha.

“Aku ngambil sastra kalo jadi SM, Lin.” Kataku pada seorang teman untuk ke sekian kalinya.

Linda yang masih terlihat bersemangat, mengiyakan lagi. Aku hanya tersenyum menyaksikan kekonyolan mereka.

Pokok nggak jadi aktor, aku ambil sastra.”. Dengungku. Teman-teman lain di sekitarku yang mendengarnya hanya abai. Mereka sudah tahu itu.

..

Dia masih diam. Aku yakin di benaknya ada banyak rasa sedih dan makian. Dia ini ahlinya menahan diri dan bersikap baik-baik saja. Sampai pada akhirnya kusaksikan setetes air matanya jatuh. Ya Tuhan! Aku sangat merasa bersalah. Andai saja kami tak pergi bersama. Andai saja kami tak menonton film saat itu. Andai saja kami hanya mengobrol di kos seperti biasanya, semua tak akan begini.

Malam itu, aku hancur. Menangis sepanjang malam. Mematikan ponsel dan lampu yang hampir 24 jam selalu menyala. Berpikir cara-cara konyol agar waktu bisa diulang kembali. Kurasa uang tabunganku masih cukup. Tapi, bagaimana aku menjelaskan ke orang tuaku? Bagaimana bisa aku menggunakan uang pegangan dari hasil kerjaku dulu? Benar, orang tua opsi yang sangat tidak mungkin untuk diberi tahu. Tak ada satu orang pun di keluargaku yang tahu. Sial. Sial. Sial. Bagaimana dengan pertemananku setelah ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar