Jumat, 12 Juni 2020

Aku dan Kisahku

Aku dan Kisahku part 4

Dua hari berselang. Waktu berlalu. Lanjut cerita? Baiklah.

Setelah menemukan akun R, tentu aku langsung add friend. Dan ada beberapa teman bersama. Seingatku, satu atau dua orang teman SMP yang sekolah di SMA dia, saudara yang pernah kutanyai tentang dia, kakak sepupuku, dan seorang kakak kelas. Dari kesemua teman bersama kami, aku lebih tertarik ke kakak kelas SMA-ku itu. Aku tidak kenal secara personal dengan dia. Hanya karena dia termasuk salah satu siswa populer karena menjadi ketum (apasih sebutannya lupa) pramuka, maka aku tahu dia. Kebetulan, dia anak Pak TU yang ternyata teman sekolah ibu. Ah, tidak penting diceritakan sih, tapi sebuah fakta lain kuketahui ketika mengorek informasi tersebut dari ibu. Pak TU itu saudara Pak J. Hehe. Aku sempat mencoba memancing pertanyaan seputar keluarga Pak J, tapi yang kudapat ya tentang Pak TU tadi. Hehe.

Tidak seperti dugaanku, beranda akun R penuh dengan postingan tentang agama. Wah wah wah! Ya, untuk aku yang waktu itu sudah tercemari otaknya dengan berbagai hal, agak gimana gitu. But, I think it's okay. I love everything about him. It's being positive vibes for me. Yaudahlahya. Nggak banyak yang bisa di-stalk dari akunnya. Hanya foto profil gambar diri dan dua postingan foto bersama siswa-siswa SMA di salah satu sekolah negeri di kota kami. Kayaknya dia sedang magang deh, nggak ada keterangan apapun soalnya.

Aku kembali scroll ke atas. Melihat lagi gambar dirinya. Dan apa yang kulihat? Di bawah foto profilnya terpampang tulisan jika dia bergabung di Facebook tahun 2014. Omg! Pantas saja!! Sampai otak berdarah-darah karena mikir keywords apaan ya ga bakal ketemu orang ga punya akun.

Setelah kami berteman di Facebook, aku selalu menyukai postingan apapun yang dibagikannya. Peduli tentang agama atau apa, selama dia lewat ya kuklik. Dan sepertinya aku satu-satunya yang menyukai haha. Hingga suatu hari, profil fotonya berganti dengan foto dia bersama seseorang. Swafoto dengan perempuan. Diedit menggunakan efek sepia. Ah, hatiku mencelos. Apa-apaan? Lancang banget sih main sakit hati wkwk.

Setelah itu, aku nggak buka Facebook lagi. Lumayan lama sih. Nggak ada alasan untuk main ke sana. Sedih. Waktu itu, tentang R dan segala yang kulakukan saat itu, nggak ada teman yang tahu. Satu-satunya kisah yang tidak kuceritakan ke siapa-siapa. Hingga aku kembali penasaran. Lama sekali. Tapi, aku kembali memberanikan diri membuka profilnya. Melihat kembali foto itu. Dan aku hanya tertawa melihat kebodohanku. Dia, berfoto dengan neneknya. Perempuan yang tinggal di rumah yang selama ini aku lirik. Hahaha, bodoh sekali aku. Bahkan di kolom komentar, ada nama kakak kelasku juga. Hahaha-hahaha. Setelahnya, aku jadi makin suka.

Perjalanan masih berlanjut. Like like dan like. Nyaliku hanya sebatas menge-like postingannya. Aku jadi ingat seorang kenalan yang sungguh berani memulai conversation dengan orang yang dikaguminya. Bahkan, sampai ke media yang lebih privat. Sedang aku? Aku tidak seberani itu. Toh ya aku nggak bisa menjamin bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri untuk menjalin hubungan. Nggak pernah ada pikiran ke situ. Ya sudah. Hingga--ah, hingga lagi~

Hingga suatu hari sesuatu yang mencengangkan terjadi lagi. Dia memperbarui status hubungannya jadi 'menikah'. Ah, aku tahu maksudnya menikah bukan benar-benar menikah. Tapi, itu tandanya dia sudah punya pasangan. Dan ya, aku cukup tahu diri untuk tidak menyukai atau berharap milik orang lain. Ya, meski tidak bisa dipungkiri, sejauh apapun hubungan kami, ada sedikit--banyak--rasa sakit.

Aku jadi ingat yang terjadi di waktu lampau. Saat kami masih sama-sama menjadi siswa. Sepertinya aku pernah beberapa kali melihat dia berboncengan dengan perempuan. Satu-satunya yang kuingat ketika malam-malam. Saat itu sedang ada kirab Ogoh Ogoh lewat depan rumah. Ya rame dong jalanan. Banyak orang-orang asing berhenti di pinggir-pinggir jalan buat nonton. Ada yang kejebak macet juga. Dari kerumunan orang-orang itu aku seperti melihat ada R sama seseorang. Ya, emang hanya 'seperti' dan malam hari pula. Tapi, aku hafal betul perawakannya. Dan ya, itu dulu sekali. Tidak pasti sih. Yang pasti ya saat dia mengganti status Facebook-nya itu.

Sedih. Saat itu aku benar-benar sedih. Pengalaman pertama patah hati sebelum diikuti sakit-sakit di hati lainnya. Oh, jadi begitu. Meski bisa dibilang harusnya itu nggak seberapa sakit tapi ya tetep aja, sakit gitu. Hehe. Pertama kalinya juga aku cerita tentang R ke orang lain. Saat itu hanya ada satu temen yang tahu. Aku lupa sih kenapa berani sekali aku bercerita. Mungkin karena memang nggak tahan lagi memendam sesuatu. Bagiku bercerita ke orang lain tentang suatu hal adalah bentuk pengakuan terhadap diri senidiri. Dan bercerita memang bisa sedikit membantu, meredakan gejolak yang membara--ih apasih!

Untuk berusaha menghapus segala harap, aku menghapus pertemanan kami. Sepertinya dia tidak sadar dan tidak peduli. Tapi, beberapa kali saat iseng membuka Facebook aku masih saja menengok akunnya. Suatu hari tiba-tiba saja aku tidak dapat menemukan akun R. Apa dia mengeblok akunku? Tapi, dengan skill stalking yang kumiliki, aku berhasil menemukannya. Dari kolom komentar salah satu foto lawas kakak kelasku, aku menemukannya. Nama akunnya ganti. Foto profilnya juga. Dan ya, bukan foto dia dan neneknya, hanya setangkai bunga. Ah, tiba-tiba jadi benci bunga. Tapi, bunga memang sangat cantik sih. Aku selalu iri. Setelah itu, intensitasku melihat profilnya menurun. Susah sekali menemukan profilnya. Nama akunnya aneh dan susah dihafal. Sedang postingan kakak kelasku itu semakin hari semakin menumpuk.

Meski begitu aku belum sepenuhnya berhenti berharap. Ketika liburan kuliah, ada harap dalam diri untuk menemui kebetulan-kebetulan lain. Bahkan sampai sekarang, jika lewat depat rumahnya aku masih menengok. Tapi bedanya, tidak ada lagi kebetulan seperti dulu. Entah dia yang baru keluar dari rumah, dia yang sedang bersantai di halaman, dia yang berjalan ke rumah neneknya, tidak ada lagi yang seperti itu. Aku curiga aku telah lupa dengan wajahnya. Sekalinya melihat motor matik putihnya muncul dari rumahnya, bukan dia yang mengendarai. Motor itu berubah jadi motor balap di tangan adiknya. Ah, ya sudahlah.

Waktu berlalu. Kisah asmara--wuekk--ku tidak lagi bertumpu pada R. Ada A, B, C dan kesibukan lain yang menumpuk. Kadang saat iseng mengobrol dengan teman-teman masalah cinta, aku menceritakan tentang R. Respon mereka ya tidak percaya, sama seperti teman SMP-ku dulu. Ketika aku cerita jika tidak sedang menyukai siapapun mereka juga tidak percaya. Lantas bagaimana??? FYI. About love, I always realize and acknowledge my feelings too late. So, even though at the time I liked someone I never wanted to confess. And also whatever I dare to say honestly is a thing that has passed. As it is now.

Selama tiga bulan tinggal di rumah, aku jadi teringat R lagi. Cuma kepikiran saja. Kenapa nggak kelihatan ya? Aku juga nggak berusaha mengecek medsosnya kok. Bener-bener sekedar ingin tahu kabar saja. Setiap lewat depan rumahnya dan nengok, juga nggak membuahkan hasil.

Hingga dua hari lalu, saat aku mulai menulis kisah R ini, ada sesuatu hal menyedihkan yang melatarbelakangi. Sangat. Di siang yang sepi, suara ambulan keras memekakan telinga. Pikirku, ya hanya ambulan biasa yang lewat karena memang karena pandemi ini mobilitas ambulan bertambah. Tapi suara itu bertahan lama. Aku yang sedang ingin mulai mengerjakan tugas mencoba mengabaikannya. Hingga ibu mengecek keluar dan bergumam. Sepertinya ada orang meninggal. Padahal seharian tidak ada siaran apapun dari masjid atau musola.

Oh maaf. Harusnya tulisan ini selesai malam kemarin. Tapi karena kepala pusing nggak ketulungan, skip. Rasanya kayak mau mati aja wkwk. Udah priksa pagi tadi dan ternyata tekanan darahku cuma 80. Katanya karena kecapekan. Padahal kegiatanku ya cuma gini-gini aja. Sekarang agak mendingan. Sebenarnya nggak boleh mainan hape atau laptop dulu. Tapi, sudah agak mendingan dan nggak tau mau ngapain.

Kemarin sampe? Ah, iya. Ambulan itu bawa kembar mayang alias sepasang bunga yang dibikin dari janur. Biasanya buat kemanten. Kalo dalam kasus itu, menandakan yang meninggal masih lajang. Orang-orang yang mengantar banyak banget. Hampir seluruhnya anak muda. Ibu bilang wajah-wajah mereka asing. Kebanyakan orang-orang daerah rumah R. Aku keluar ikut mengintip. Memang, mobil ambulan berjalan lambat dari arah rumah R ke makam. Ya Tuhan. Pikiranku langsung tertuju pada R. Tapi ya jelas aku menampik.

Setelah iring-iringan pengantar jenazah lewat, ibu dan paman yang sama-sama tidak tahu penasaran. Seorang tetangga seberang jalan, datang dan berkata. "Anaknya Pak J."

Innalilahi.

Ya Allah, betapa terkejutnya aku. Sambil menyimak aku menahan sesak di dada. Kata tetangga itu, anak laki-laki Pak J yang meninggal. Kakang ragil. Maksudnya, kakak dari anak bungsu. Anak nomer dua dari bawah. Sedang katanya, anak Pak J lima yang ke semuanya laki-laki. Seingatku R punya adik laki-laki yang kuceritakan tadi. Tapi, apa mungkin anak sekecil itu masih punya adik lagi. Tetangga itu menyebutkan seorang nama. Bukan R. Tapi aku masih terkejut. Lalu, aku pergi ke rumah sepupuku yang keduanya sekolah di madrasah dekat rumah R.

"Ada orang meninggal. Anaknya Pak J. Namanya B." Kataku. "Kalian kenal?"

"Oh, dia kakak kelas adikku." Kata sepupuku yang tua.

"Ah, kukira."

Lalu, aku kembali mengecek akun medsos R. Mencari petunjuk lain. Lumayan lama aku mencari hingga menemukannya. Tapi, lama tidak ada pembaruan status. Malam harinya, Abang ke rumah. Orang-orang masih membicarakan kematian anak Pak J yang mendadak itu. Lalu Abang menyebutkan nama-nama anak Pak J yang diantaranya tidak ada nama R. Ah, sedih. 

Tentang kematian dan kehidupan. Yang meninggalkan dan yang ditinggal. Keduanya sama-sama menyakitkan.

Minggu, 07 Juni 2020

Aku dan Kisahku


Aku dan Kisahku part 3,5

Hallo, dan hai! Sudah lama tidak menyapa. Ya karena sebelumnya rajin gegara ikut challenge, jadi sok-sokan ngerasa lama hehe. Padahal dulu-dulu ya jarang begini kan ya. Syukur-syukur kan bisa ninggalin jejak sebulan sekali. 

Tuh, di judul aku sudah nulis Aku dan Kisahku part 3,5 (aslinya Aku dan Kisahku part 4 tapi karena kepanjangan aku potong hehe). Itu artinya aku akan membayar janji yang sudah kubuat lebih dari sebulan lalu. Melanjutkan cerita tidak jelas yang tentu tidak ada manfaatnya, hehe. Sebenernya tentang si R, aku ingin membingkai kisah itu sebagai satu-satunya cerita romance—euwh apaan sih! Ya karena dia spesial. Sangat. Tapi, sepertinya eksekusinya tidak begitu. Ini akan menjadi kisah menyedihkan lain. 

R. Nama itu bukan sekedar inisial seperti biasanya aku mengibaratkan orang-orang yang kuceriakan. Dia, sejak kali pertama aku berpapasan dengannya, wajahnya seakan menggambarkan jika namanya diawali huruf R. Lucu sekali dugaan bocah SMP sepertiku dulu. Waktu itu, aku masih duduk di kelas dua SMP. Tahun yang paling kubenci selama masa SMP. Jika pernah baca kisah bulian di masa SMP-ku, ya benar di tahun itu. R, jadi alasanku untuk tetap menanam harapan. Paling tidak, aku memiliki kisah tersendiri sebagai secret admirer pada salah seorang teman dekat yang bahkan tak percaya keberadaan si R. Pikirnya, aku mengada-ada. Biarlah, aku sudah memberanikan diri bercerita jujur dan meminta dia bertanya pada kenalannya yang bersekolah di SMA R.

Kuperkirakan umur R dua tahun lebih tua dariku. Pasalnya, aku baru melihat dia berangkat sekolah di SMA itu ketika aku kelas 2 SMP. Padahal kami sejalur. Itu pula yang menjadikanku semangat berangkat sekolah. Karena aku mengendarai sepeda ontel sedangkan dia sepeda motor, aku selalu berangkat sepuluh menit lebih awal dari jadwal dia berangkat. Kuperkirakan, dia akan keluar dari rumah yang satu halaman dengan masjid itu tepat pukul 06.30, jadi sebisa mungkin 06.20 aku bergegas. Senang bukan kepalang jika sampai berpapasan. Bahkan, bisa menemui bayang punggungnya pun aku senang. 

Waktu berlalu. Aku tak kunjung tahu siapa namanya. Dia seperti oppa-oppa Korea lokal. Ya, waktu itu aku gila drakor dari televisi. Terlepas dari tampan tidaknya dia menurut standar masyarakat, sekalinya aku jatuh pada seseorang karena fisik sepertinya ya hanya pada dia.
Setiap kali melewati depan rumah yang awalnya kuanggap rumahnya itu, aku selalu menoleh. Entah pagi, siang, atau sore, aku memelankan laju kendaraanku. Beruntung jika sedang dibonceng, aku bisa menengok ke kiri sampai ekor mataku tak nampak rumah itu. Ahaha, sebegitunya ya. Saat-saat yang sangat menyengkan jika berpapasan dengan dia saat dia berjalan. Ah, tak terhitung banyaknya itu terjadi dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Uhhh~

Lama kelamaan, aku tahu jika rumah yang kuanggap rumahnya itu adalah rumah neneknya. Sedangkan rumahnya ada di dekar jalan ke sungai. Sungai tempatku bermain waktu TK karena berada tepat di belakang madrasah tempat TK-ku bernaung.  Orang tua R punya usaha material. Aku tahu nama ayahnya karena terkenal juga. Apalagi, bapak dulu juga sering mencucikan mobil di sungai belakang rumah R itu. Agak rumit. Tapi, memang begitu.

Suatu hari saat aku bersama saudara yang meneruskan sekolah di madrasah itu, aku iseng bertanya tentang nama anak Pak J—ayah R, sebut saja begitu. Saudara yang setahun lebih tua dari aku itu menyebutkan beberapa nama. Sayangnya semua anak-anak Pak J laki-laki. Salah satu yang disebutkannya memiliki nama berawalan R. Aku hanya meyakinkan diriku jika dia yang kumaksud bernama R.

Hal semacam itu berlanjut sampai aku SMA. Saat itu, aku tidak naik sepeda ontel lagi. Kami sama-sama motoran. Pikirku, aku bisa mengebut dan memandanginya dari belakang. Tapi, itu tidak terjadi. Jarang sekali kami bertemu di pagi hari. Ah, aku baru tersadar. Karena waktu itu dia sudah kelas 3, mungkin dia ada jadwal bimbingan tambahan. Hmmm, iyaya. Ah. 

Kelas 1 SMA, aku baru punya akun Facebook. Itupun karena info-info seputar latihan marching lewat sana. Adanya Facebook, tidak aku sia-siakan. Aku mencoba mencari profil dirinya di platform itu. Tapi, bodohnya aku. Karena hanya huruf R yang ada di pikiran, saat itu aku lupa R itu apa kepanjangannya. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku mulai mencari dengan nama-nama random. R, Rizky, Rizki, Riski, Risky, Rizal, Risal, Ryzal, Riza, Ryza, Rifki, Rivky, Refky, Resky, Reza, Rendy, dan R-R lainnya. Serius, sebegitu pelupa aku. Dan hasilnya, tidak kutemui profil dirinya atau gambar diri yang menyerupai. Tak menyerah, aku mulai mencari lewat grup. Segala kata kunci tentang grup angkatan, grup kelas atau grup apapun dari sekolahnya aku cari. Jika dikunci aku gabung. Jika tidak aku cari satu-satu. Hehe. Oh, iya, kami tidak satu SMA ya. Karena masih tidak ketemu, aku mencari dengan keyword lain, nama ayahnya. Ya karena ayahnya termasuk pesohor di desa kami, siapa tahu punya Facebook kan. Nama, bisnis  ayahnya tak luput dari pencarianku. Tapi, semua nihil. Aku menyerah. Padahal aku hanya ingin tahu namanya.

Cerita berlanjut. Dia telah lulus SMA. Aku pikir, sepertinya dia melanjutkan pendidikan berhubung mereka dari keluarga berada. Tapi, aku malah sering melihat dia wara-wiri dengan motor matik putihnya. For me, it looks like a white horse that I wait every day. Ya, misalnya saja ketika aku menyebrang jalan dan melihat sorot motor matik putih di kejauhan. Separuh berharap, separuh menebak, dan ya, itu dia. Sering sekali seperti itu. Dan banyak lagi hal-hal kebetulan lainnya.

Singkat cerita, aku lulus SMA dan telah bekerja di pabrik roti. Setahun ke belakang aku hampir tidak pernah melihat kelibat dirinya. Entah karena aku yang jarang di rumah karena sibuk bekerja atau karena memang dia yang menghilang. Kupikir waktu itu dia benar-benar mati. Saat itu, untuk menunjang promo cerita-cerita buatanku aku membuat akun medsos lain. Instagram. Seperti Facebook, aku melakukan hal yang sama di Instagram. Sayang, hasilnya juga sama. Sebenarnya untuk mengetahui nama, aku bisa saja tanya abangku, tapi itu sama saja melemparkan diri ke jurang olok yang tak ada habisnya. 

Sepertinya, mantra kebetulan yang terapal sudah tidak berfungsi. Tak ada pertemuan, apalagikebetulan. Sekalinya lewat di depan rumah, hanya sekelebat dan terlewat begitu saja. Entah mobil trek, entah apa. Bahkan, keinginanku untuk dipertemukan di satu tempat seperti toko, harus hilang karena aku memilih belok ke salah satu toko ketika melihat ada motor yang kemungkinan motornya di toko lain. Menyesal sekali ketika kami sama-sama keluar dari toko yang berbeda. Ah, saat itu aku sudah kuliah. Jarang di rumah. Melihatnya saja sudah merupakan keuntungan, kesenangan. 

Di rantau, aku tidak terlalu memikirkan R. Hanya sesekali saja. Suatu sore, setelah mendapat kabar jika adik sepupuku meninggal dunia, aku mengecek akun Facebook yang lama tak kukunjungi. Biasanya berita tentang apa yang terjadi di lingkungan rumah, aku dapat dari sana. Sedih, sepupu jauhku itu baru saja masuk menjadi maba. Satu kota, lain kampus denganku.
Tidak dinyana, saat men-scrool timeline, aku menemukan hal mencengangkan. Dia, R, akun facebooknya lewat begitu saja di berandaku. Ah, shit! Terkejut sekaligus senang. Bisa-bisanya ya Tuhan. Seakan apa yang kulakukan selama ini untuk mencari akunnya sangat tidak berguna—ya memang!

Namanya benar R. R dari salah satu yang kutebak dulu---