Minggu, 07 Juni 2020

Aku dan Kisahku


Aku dan Kisahku part 3,5

Hallo, dan hai! Sudah lama tidak menyapa. Ya karena sebelumnya rajin gegara ikut challenge, jadi sok-sokan ngerasa lama hehe. Padahal dulu-dulu ya jarang begini kan ya. Syukur-syukur kan bisa ninggalin jejak sebulan sekali. 

Tuh, di judul aku sudah nulis Aku dan Kisahku part 3,5 (aslinya Aku dan Kisahku part 4 tapi karena kepanjangan aku potong hehe). Itu artinya aku akan membayar janji yang sudah kubuat lebih dari sebulan lalu. Melanjutkan cerita tidak jelas yang tentu tidak ada manfaatnya, hehe. Sebenernya tentang si R, aku ingin membingkai kisah itu sebagai satu-satunya cerita romance—euwh apaan sih! Ya karena dia spesial. Sangat. Tapi, sepertinya eksekusinya tidak begitu. Ini akan menjadi kisah menyedihkan lain. 

R. Nama itu bukan sekedar inisial seperti biasanya aku mengibaratkan orang-orang yang kuceriakan. Dia, sejak kali pertama aku berpapasan dengannya, wajahnya seakan menggambarkan jika namanya diawali huruf R. Lucu sekali dugaan bocah SMP sepertiku dulu. Waktu itu, aku masih duduk di kelas dua SMP. Tahun yang paling kubenci selama masa SMP. Jika pernah baca kisah bulian di masa SMP-ku, ya benar di tahun itu. R, jadi alasanku untuk tetap menanam harapan. Paling tidak, aku memiliki kisah tersendiri sebagai secret admirer pada salah seorang teman dekat yang bahkan tak percaya keberadaan si R. Pikirnya, aku mengada-ada. Biarlah, aku sudah memberanikan diri bercerita jujur dan meminta dia bertanya pada kenalannya yang bersekolah di SMA R.

Kuperkirakan umur R dua tahun lebih tua dariku. Pasalnya, aku baru melihat dia berangkat sekolah di SMA itu ketika aku kelas 2 SMP. Padahal kami sejalur. Itu pula yang menjadikanku semangat berangkat sekolah. Karena aku mengendarai sepeda ontel sedangkan dia sepeda motor, aku selalu berangkat sepuluh menit lebih awal dari jadwal dia berangkat. Kuperkirakan, dia akan keluar dari rumah yang satu halaman dengan masjid itu tepat pukul 06.30, jadi sebisa mungkin 06.20 aku bergegas. Senang bukan kepalang jika sampai berpapasan. Bahkan, bisa menemui bayang punggungnya pun aku senang. 

Waktu berlalu. Aku tak kunjung tahu siapa namanya. Dia seperti oppa-oppa Korea lokal. Ya, waktu itu aku gila drakor dari televisi. Terlepas dari tampan tidaknya dia menurut standar masyarakat, sekalinya aku jatuh pada seseorang karena fisik sepertinya ya hanya pada dia.
Setiap kali melewati depan rumah yang awalnya kuanggap rumahnya itu, aku selalu menoleh. Entah pagi, siang, atau sore, aku memelankan laju kendaraanku. Beruntung jika sedang dibonceng, aku bisa menengok ke kiri sampai ekor mataku tak nampak rumah itu. Ahaha, sebegitunya ya. Saat-saat yang sangat menyengkan jika berpapasan dengan dia saat dia berjalan. Ah, tak terhitung banyaknya itu terjadi dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Uhhh~

Lama kelamaan, aku tahu jika rumah yang kuanggap rumahnya itu adalah rumah neneknya. Sedangkan rumahnya ada di dekar jalan ke sungai. Sungai tempatku bermain waktu TK karena berada tepat di belakang madrasah tempat TK-ku bernaung.  Orang tua R punya usaha material. Aku tahu nama ayahnya karena terkenal juga. Apalagi, bapak dulu juga sering mencucikan mobil di sungai belakang rumah R itu. Agak rumit. Tapi, memang begitu.

Suatu hari saat aku bersama saudara yang meneruskan sekolah di madrasah itu, aku iseng bertanya tentang nama anak Pak J—ayah R, sebut saja begitu. Saudara yang setahun lebih tua dari aku itu menyebutkan beberapa nama. Sayangnya semua anak-anak Pak J laki-laki. Salah satu yang disebutkannya memiliki nama berawalan R. Aku hanya meyakinkan diriku jika dia yang kumaksud bernama R.

Hal semacam itu berlanjut sampai aku SMA. Saat itu, aku tidak naik sepeda ontel lagi. Kami sama-sama motoran. Pikirku, aku bisa mengebut dan memandanginya dari belakang. Tapi, itu tidak terjadi. Jarang sekali kami bertemu di pagi hari. Ah, aku baru tersadar. Karena waktu itu dia sudah kelas 3, mungkin dia ada jadwal bimbingan tambahan. Hmmm, iyaya. Ah. 

Kelas 1 SMA, aku baru punya akun Facebook. Itupun karena info-info seputar latihan marching lewat sana. Adanya Facebook, tidak aku sia-siakan. Aku mencoba mencari profil dirinya di platform itu. Tapi, bodohnya aku. Karena hanya huruf R yang ada di pikiran, saat itu aku lupa R itu apa kepanjangannya. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku mulai mencari dengan nama-nama random. R, Rizky, Rizki, Riski, Risky, Rizal, Risal, Ryzal, Riza, Ryza, Rifki, Rivky, Refky, Resky, Reza, Rendy, dan R-R lainnya. Serius, sebegitu pelupa aku. Dan hasilnya, tidak kutemui profil dirinya atau gambar diri yang menyerupai. Tak menyerah, aku mulai mencari lewat grup. Segala kata kunci tentang grup angkatan, grup kelas atau grup apapun dari sekolahnya aku cari. Jika dikunci aku gabung. Jika tidak aku cari satu-satu. Hehe. Oh, iya, kami tidak satu SMA ya. Karena masih tidak ketemu, aku mencari dengan keyword lain, nama ayahnya. Ya karena ayahnya termasuk pesohor di desa kami, siapa tahu punya Facebook kan. Nama, bisnis  ayahnya tak luput dari pencarianku. Tapi, semua nihil. Aku menyerah. Padahal aku hanya ingin tahu namanya.

Cerita berlanjut. Dia telah lulus SMA. Aku pikir, sepertinya dia melanjutkan pendidikan berhubung mereka dari keluarga berada. Tapi, aku malah sering melihat dia wara-wiri dengan motor matik putihnya. For me, it looks like a white horse that I wait every day. Ya, misalnya saja ketika aku menyebrang jalan dan melihat sorot motor matik putih di kejauhan. Separuh berharap, separuh menebak, dan ya, itu dia. Sering sekali seperti itu. Dan banyak lagi hal-hal kebetulan lainnya.

Singkat cerita, aku lulus SMA dan telah bekerja di pabrik roti. Setahun ke belakang aku hampir tidak pernah melihat kelibat dirinya. Entah karena aku yang jarang di rumah karena sibuk bekerja atau karena memang dia yang menghilang. Kupikir waktu itu dia benar-benar mati. Saat itu, untuk menunjang promo cerita-cerita buatanku aku membuat akun medsos lain. Instagram. Seperti Facebook, aku melakukan hal yang sama di Instagram. Sayang, hasilnya juga sama. Sebenarnya untuk mengetahui nama, aku bisa saja tanya abangku, tapi itu sama saja melemparkan diri ke jurang olok yang tak ada habisnya. 

Sepertinya, mantra kebetulan yang terapal sudah tidak berfungsi. Tak ada pertemuan, apalagikebetulan. Sekalinya lewat di depan rumah, hanya sekelebat dan terlewat begitu saja. Entah mobil trek, entah apa. Bahkan, keinginanku untuk dipertemukan di satu tempat seperti toko, harus hilang karena aku memilih belok ke salah satu toko ketika melihat ada motor yang kemungkinan motornya di toko lain. Menyesal sekali ketika kami sama-sama keluar dari toko yang berbeda. Ah, saat itu aku sudah kuliah. Jarang di rumah. Melihatnya saja sudah merupakan keuntungan, kesenangan. 

Di rantau, aku tidak terlalu memikirkan R. Hanya sesekali saja. Suatu sore, setelah mendapat kabar jika adik sepupuku meninggal dunia, aku mengecek akun Facebook yang lama tak kukunjungi. Biasanya berita tentang apa yang terjadi di lingkungan rumah, aku dapat dari sana. Sedih, sepupu jauhku itu baru saja masuk menjadi maba. Satu kota, lain kampus denganku.
Tidak dinyana, saat men-scrool timeline, aku menemukan hal mencengangkan. Dia, R, akun facebooknya lewat begitu saja di berandaku. Ah, shit! Terkejut sekaligus senang. Bisa-bisanya ya Tuhan. Seakan apa yang kulakukan selama ini untuk mencari akunnya sangat tidak berguna—ya memang!

Namanya benar R. R dari salah satu yang kutebak dulu---



Tidak ada komentar:

Posting Komentar