Aku dan Kisahku part
3,5
Hallo, dan hai!
Sudah lama tidak menyapa. Ya karena sebelumnya rajin gegara ikut challenge,
jadi sok-sokan ngerasa lama hehe. Padahal dulu-dulu ya jarang begini kan ya.
Syukur-syukur kan bisa ninggalin jejak sebulan sekali.
Tuh, di judul aku
sudah nulis Aku dan Kisahku part 3,5 (aslinya Aku dan Kisahku part 4 tapi karena kepanjangan aku
potong hehe). Itu artinya aku akan membayar janji yang sudah kubuat lebih dari
sebulan lalu. Melanjutkan cerita tidak jelas yang tentu tidak ada manfaatnya,
hehe. Sebenernya tentang si R, aku ingin membingkai kisah itu sebagai
satu-satunya cerita romance—euwh apaan sih! Ya karena dia spesial. Sangat.
Tapi, sepertinya eksekusinya tidak begitu. Ini akan menjadi kisah menyedihkan
lain.
R. Nama itu bukan
sekedar inisial seperti biasanya aku mengibaratkan orang-orang yang kuceriakan.
Dia, sejak kali pertama aku berpapasan dengannya, wajahnya seakan menggambarkan
jika namanya diawali huruf R. Lucu sekali dugaan bocah SMP sepertiku dulu. Waktu
itu, aku masih duduk di kelas dua SMP. Tahun yang paling kubenci selama masa
SMP. Jika pernah baca kisah bulian di masa SMP-ku, ya benar di tahun itu. R,
jadi alasanku untuk tetap menanam harapan. Paling tidak, aku memiliki kisah
tersendiri sebagai secret admirer pada salah seorang teman dekat yang bahkan
tak percaya keberadaan si R. Pikirnya, aku mengada-ada. Biarlah, aku sudah
memberanikan diri bercerita jujur dan meminta dia bertanya pada kenalannya yang
bersekolah di SMA R.
Kuperkirakan umur
R dua tahun lebih tua dariku. Pasalnya, aku baru melihat dia berangkat sekolah
di SMA itu ketika aku kelas 2 SMP. Padahal kami sejalur. Itu pula yang
menjadikanku semangat berangkat sekolah. Karena aku mengendarai sepeda ontel
sedangkan dia sepeda motor, aku selalu berangkat sepuluh menit lebih awal dari
jadwal dia berangkat. Kuperkirakan, dia akan keluar dari rumah yang satu
halaman dengan masjid itu tepat pukul 06.30, jadi sebisa mungkin 06.20 aku
bergegas. Senang bukan kepalang jika sampai berpapasan. Bahkan, bisa menemui
bayang punggungnya pun aku senang.
Waktu berlalu. Aku
tak kunjung tahu siapa namanya. Dia seperti oppa-oppa Korea lokal. Ya, waktu
itu aku gila drakor dari televisi. Terlepas dari tampan tidaknya dia menurut
standar masyarakat, sekalinya aku jatuh pada seseorang karena fisik sepertinya
ya hanya pada dia.
Setiap kali melewati
depan rumah yang awalnya kuanggap rumahnya itu, aku selalu menoleh. Entah pagi,
siang, atau sore, aku memelankan laju kendaraanku. Beruntung jika sedang
dibonceng, aku bisa menengok ke kiri sampai ekor mataku tak nampak rumah itu.
Ahaha, sebegitunya ya. Saat-saat yang sangat menyengkan jika berpapasan dengan
dia saat dia berjalan. Ah, tak terhitung banyaknya itu terjadi dan beberapa
kali pandangan kami bertemu. Uhhh~
Lama kelamaan,
aku tahu jika rumah yang kuanggap rumahnya itu adalah rumah neneknya. Sedangkan
rumahnya ada di dekar jalan ke sungai. Sungai tempatku bermain waktu TK karena
berada tepat di belakang madrasah tempat TK-ku bernaung. Orang tua R punya usaha material. Aku tahu
nama ayahnya karena terkenal juga. Apalagi, bapak dulu juga sering mencucikan
mobil di sungai belakang rumah R itu. Agak rumit. Tapi, memang begitu.
Suatu hari saat
aku bersama saudara yang meneruskan sekolah di madrasah itu, aku iseng bertanya
tentang nama anak Pak J—ayah R, sebut saja begitu. Saudara yang setahun lebih
tua dari aku itu menyebutkan beberapa nama. Sayangnya semua anak-anak Pak J
laki-laki. Salah satu yang disebutkannya memiliki nama berawalan R. Aku hanya
meyakinkan diriku jika dia yang kumaksud bernama R.
Hal semacam itu
berlanjut sampai aku SMA. Saat itu, aku tidak naik sepeda ontel lagi. Kami
sama-sama motoran. Pikirku, aku bisa mengebut dan memandanginya dari belakang.
Tapi, itu tidak terjadi. Jarang sekali kami bertemu di pagi hari. Ah, aku baru
tersadar. Karena waktu itu dia sudah kelas 3, mungkin dia ada jadwal bimbingan
tambahan. Hmmm, iyaya. Ah.
Kelas 1 SMA, aku
baru punya akun Facebook. Itupun karena info-info seputar latihan marching
lewat sana. Adanya Facebook, tidak aku sia-siakan. Aku mencoba mencari profil
dirinya di platform itu. Tapi, bodohnya aku. Karena hanya huruf R yang ada di
pikiran, saat itu aku lupa R itu apa kepanjangannya. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku
mulai mencari dengan nama-nama random. R, Rizky, Rizki, Riski, Risky, Rizal,
Risal, Ryzal, Riza, Ryza, Rifki, Rivky, Refky, Resky, Reza, Rendy, dan R-R
lainnya. Serius, sebegitu pelupa aku. Dan hasilnya, tidak kutemui profil
dirinya atau gambar diri yang menyerupai. Tak menyerah, aku mulai mencari lewat
grup. Segala kata kunci tentang grup angkatan, grup kelas atau grup apapun dari
sekolahnya aku cari. Jika dikunci aku gabung. Jika tidak aku cari satu-satu.
Hehe. Oh, iya, kami tidak satu SMA ya. Karena masih tidak ketemu, aku mencari
dengan keyword lain, nama ayahnya. Ya karena ayahnya termasuk pesohor di
desa kami, siapa tahu punya Facebook kan. Nama, bisnis ayahnya tak luput dari pencarianku. Tapi,
semua nihil. Aku menyerah. Padahal aku hanya ingin tahu namanya.
Cerita berlanjut.
Dia telah lulus SMA. Aku pikir, sepertinya dia melanjutkan pendidikan berhubung
mereka dari keluarga berada. Tapi, aku malah sering melihat dia wara-wiri
dengan motor matik putihnya. For me, it looks like a white horse that I wait
every day. Ya, misalnya saja ketika aku menyebrang jalan dan melihat sorot
motor matik putih di kejauhan. Separuh berharap, separuh menebak, dan ya, itu
dia. Sering sekali seperti itu. Dan banyak lagi hal-hal kebetulan lainnya.
Singkat cerita,
aku lulus SMA dan telah bekerja di pabrik roti. Setahun ke belakang aku hampir
tidak pernah melihat kelibat dirinya. Entah karena aku yang jarang di rumah
karena sibuk bekerja atau karena memang dia yang menghilang. Kupikir waktu itu
dia benar-benar mati. Saat itu, untuk menunjang promo cerita-cerita buatanku
aku membuat akun medsos lain. Instagram. Seperti Facebook, aku melakukan hal
yang sama di Instagram. Sayang, hasilnya juga sama. Sebenarnya untuk mengetahui
nama, aku bisa saja tanya abangku, tapi itu sama saja melemparkan diri ke
jurang olok yang tak ada habisnya.
Sepertinya,
mantra kebetulan yang terapal sudah tidak berfungsi. Tak ada pertemuan,
apalagikebetulan. Sekalinya lewat di depan rumah, hanya sekelebat dan terlewat
begitu saja. Entah mobil trek, entah apa. Bahkan, keinginanku untuk
dipertemukan di satu tempat seperti toko, harus hilang karena aku memilih belok
ke salah satu toko ketika melihat ada motor yang kemungkinan motornya di toko
lain. Menyesal sekali ketika kami sama-sama keluar dari toko yang berbeda. Ah,
saat itu aku sudah kuliah. Jarang di rumah. Melihatnya saja sudah merupakan
keuntungan, kesenangan.
Di rantau, aku
tidak terlalu memikirkan R. Hanya sesekali saja. Suatu sore, setelah mendapat
kabar jika adik sepupuku meninggal dunia, aku mengecek akun Facebook yang lama
tak kukunjungi. Biasanya berita tentang apa yang terjadi di lingkungan rumah,
aku dapat dari sana. Sedih, sepupu jauhku itu baru saja masuk menjadi maba.
Satu kota, lain kampus denganku.
Tidak dinyana,
saat men-scrool timeline, aku menemukan hal mencengangkan. Dia, R, akun
facebooknya lewat begitu saja di berandaku. Ah, shit! Terkejut sekaligus
senang. Bisa-bisanya ya Tuhan. Seakan apa yang kulakukan selama ini untuk
mencari akunnya sangat tidak berguna—ya memang!
Namanya benar R.
R dari salah satu yang kutebak dulu---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar