Selasa, 08 Juni 2021

Aku dan Kisahku - Minggu Ke-sekian

Halo! Selamat sekarang! Semoga sehat selalu.

Lagi-lagi, aku menggugurkan rencana menulis rutin di sini ya. Dimulai dengan minggu pertama, dan berlanjut dengan minggu ke sekian, berbulan-bulan kemudian. Alasan tentu ada. Saat setelah memutuskan menulis di sini, aku malah kembali dekat dengan buku harian. Hahaha, lucu. Hanya mencoret hangeul yang nggak memungkinkan kutulis di sini. Selanjutnya, banyak hal yang tiba-tiba saja menjadi rumit. Padahal masalah-masalah yang pernah sedikit kuceritakan saja belum terselesaikan. Selama tinggal di kos setelah tulisan terakhir, banyak hal sial terjadi. Akhirnya, dan yang sangat menakutkan, terjadi tepat saat aku memutuskan pulang. Mungkin kejadian itu adalah insiden tersakit setelah kehilangan bapak, kehilangan ponsel, kehilangan data di laptop Aning, dan notebookku yang jatuh.

Kurasa, aku belum menceritakan kisah itu ke siapapun. Hagin, nggak ada temen cerita juga. Lagian, itu sangat menyesakkan. Prihal kesialan yang tak ada habisnya. Bukan salahku, dan aku tak ingin menyalahkan orang lain. Hanya nasib yang berkata begitu. Sesal tak akan pernah membantu selain menambah kesedihan. Andai saja waktu itu... andai saja waktu itu... ah, semua akan tetap begitu kan, kalau nasib sudah ditentukan?

Haengbok? Ahahaha... Eopso!

Saat itu, aku nggak tahu harus gimana dan memang nggak ada yang bisa dilakukan. Bahkan, orang-orang disekitarku. Pun, si yang bersangkutan. Kenapa nasib kami begini? Mencari kambing hitam, aku menurutkan kronologi perbuatan kami. Apa yang salah di diri kami? Aku tentu bukan manusia suci. Tapi, hal fatal apa yang kuperbuat? Dan dia? Kutahu, sepertinya dia hampir sesat--atau pikiranku saja yang berpikir demikian. Dan di situlah pikiranku berhenti. Yang dikasihani, tak mau mengerti. Yang disayang, selalu menyerang. Aku pasrah, Mencuci tangan seakan hal itu tak pernah ada. Aku lelah berdebat dengan yang begituan. 

Lambat laun, aku berusaha melupakan kejadian itu. Tapi, hubungan kami tidak membaik. Bahkan, hari fitri yang biasanya penuh kasih dan maaf, berjalan cepat dan canggung. Kata orang-orang aku sensi. Tapi, beginilah aku. Kami tak mempermasalahkan kejadian itu. Hanya hal lain yang kujadikan kambing hitam tadi yang menganggu. Dia, menyebalkan.

Aku membuat dinding setinggi mungkin. Berusaha tak tersenyum menyaksikan kehadirannya. Berusaha menyadarkan dia dengan ketidakmampuanku. Dan aku menyerah. Aku punya masalah sendiri yang tak ada hubungannya dengan dia. Banyak dan tak habis-habis. Meski ya, tetap ada rasa bersalah untuknya. 

Suatu saat, setelah pertengkaran batin. Aku dan diriku sepakat untuk memulai lagi. Melepaskan yang hilang, dan untuk kesekian kalinya belajar ikhlas. Berharap segala hal buruk yang terjadi, tak pernah terulang. Dan segala hal yang seperti terulang ini, menjadi sebatas pengingat jika aku pernah menjadi pesakitan. Duniaku yang sekarang, yang sebenarnya tak jauh dengan saat itu, setidaknya harus lebih tegar. Meski rasa sakitnya tak pernah berkurang, setidaknya ini bukan yang pertama kali. Meski di tiap-tiap sakit itu ada serangan yang lebih mematikan, setidaknya aku sudah kuat. Berusaha menjadi kuat. 

Dengan diam yang kosong, aku menata pikiran dan perasaan. 

Saat ini, aku mulai bangkit. Ingin melanjutkan apa yang pernah kuusahakan. Sisa-sisa kesialan tempo hari. Puluhan ribu catatan perjalananku yang hilang itu, tak lagi kutuntut. Aku masih punya sebuah kisah fantasi yang kukerjakan dengan sungguh-sungguh dan riset penuh. Belum banyak. Ada 5 bab cerita matang dan sisanya outline untuk tiap bab. Aku ingat karena untuk pertama kalinya aku mencatat jumlah dari tiap-tiap bab serta poin utama. Tapi sayangnya, harapan itu kabur kala apa yang ada di depan mata tak benar-benar demikian. Aku selalu merasa bersalah pada diri sendiri. Seperti melakukan banyak hal yang sia-sia. Menulis, menulis apa? Tak ada. Mark Kaban, hilang bersama catatan perjalanan. Dia dan tangan cacatnya, bersembunyi di tempat yang aku tak tahu lagi apa kuncinya. Tuts piano dan lukisan. Tai kucing. Mana bisa aku menulis lagi seperti apa yang pernah kutulis? Gila. Aku mencurahkan fantasiku di sana, Gila!

Aku menangis di depan si merah. Sambil mendengarkan lagu ost yang memang sedari tadi berbunyi. Aku menangis. Merasa bersalah pada kehidupanku. Apa sudah benar aku menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama ke-Korea-an ini? Setidaknya, aku tak kehilangan apapun selain waktu dan kesempatan yang bagaimana pun juga akan hilang. 

Seperti yang kubilang, ini bukan yang pertama. Catatan perjalanan sudah menjadi tamparan telak. Aku tak larut dan melanjutkan kesenangan. Membuka album foto lama. Sepertinya menonton kekonyolanku kala bernyanyi sambil merekam diri akan menjadi hiburan. Bayangkan, wajah bundar dengan headphone besar, rambut dora, raket nyamuk, dan suara sumbang akan memenuhi layar monitor. Terlebih latar belakang kamar yang tak bisa kutemui keberadaannya lagi, pasti akan menguras emosi. 

Aku memulai dengan video paling bawah. Mengenakan baju biru bertuliskan 'prambanan'. Baju yang kala itu masih baru. Seperti baju hitam I Love Jember dan I Love Malang di beberapa video lain. Saat ini, ketiganya masih kupai dan tentu sudah tak bagus penampakannya. 

Silau cahaya menyorot diriku di dalam layar. Itu pasti sorot lampu belajar. Aku membenahi arah cahaya sehingga mukaku nampak jelas di kamar tanpa jendela itu. Ya, itu aku. Lagu ost yang kudengarkan lewat headphone saat itu, tersalurkan dengan suara sumbangku. Lagu ost drama yang telah kuubah liriknya menjadi bahasa Indonesia. Aku menahan tawa dan rasa malu. Lucu sekali. Aku yakin, ini video paling tidak memalukan dari yang lain. Di video kali itu, rambutku sudah panjang. Aku menebak-nebak, kapankah? Saat aku bekerja di pabrik? Karena tak mungkin jika aku sudah berkuliah. 

Aku mulai terisak. Kenapa? Kenapa aku menangis di sana? Karena dibuli? Hey, tatapan nanarku menunjukkan jika bukan karena itu. Aku terus menebak. Masalah apa sih yang dimiliki remaja belasan tahun? Kamu masih punya keluarga lengkap, kenapa menangis?

Aku menatap diriku yang basah. Air mata mengalir deras. Aku bingung harus apa. Dia menutupi hidunya yang merah. Matanya yang terus berair diusap berkali-kali. Ia, kembali menatap kamera dan menenagkan diri, berbicara. Suaranya lirih dan serak. Aku mengeraskan volume. Memasukkan lebih dalam earphone di kedua telingaku. Aku berbicara menggunakan bahasa Inggris yang sangat sangat buruk. I mean, bahasa Inggrisnya jelek sekali, sejelek wajahnya--wajahku. 

Aku mencoba memahami apa yang ingin kusampaikan. Apa aku sedih karena teman-teman tak lagi bisa dihubungi? Pasalnya saat itu kata 'chinggu' terdengar dari headphone yang telah tersangkut di leher. Tapi, tidak. Bukan. Apa karena aku tidak lolos SNMPTN? Tapi, masa sih aku segila itu. Serius, penampakanku sangat mengerikan. 

Aku masih mendengarkan dengan seksama. Kehilangan? Kehilangan apa? Apa sih?

Setelah beberapa waktu aku tersadar. Seakan ada yang tiba-tiba memukul dadaku sampai sesak sekali. Sesak, dan sakit. Aku tertawa. Aku tertawa melihat diriku menangisi ponsel baru yang kubeli dengan hasil keringatku sendiri, lalu hilang tak lebih dari tiga bulan pakai. Gila! Betapa saat itu aku sangat mendambakannya. Sekarang wajahku jadi basah. Aku terisak. Tapi bibirku tertarik simetris ke samping. Aku tersenyum. Aku tersenyum sambil berkucuran air mata, menahan isak yang dalam sekian waktu akan meledak.

Benar saja, saat memahami apa yang ingin kusampaikan dalam video itu, aku gusar. Aku menangis karena semenjak mempunyai ponsel, aku menulis cerita di sana. Menulis di saat-saat istirahat kerja karena tak mungkin membawa notebook ke sana. Ya, aku ingat. Aku ingat jika aku menulis di sana. Melanjutkan sebuah cerita yang sampai saat ini mangkrak, ya karena hilang itu. Pun, cerita-cerita baru yang kusimpan di sebuah aplikasi menulis. Ah, ah! Kesialan yang terulang. Sial. 

Pantes nangis kejer begitu. 

Sekarang, mungkin lebih rumit dan mengesalkan. Tapi, aku menyangkal tentang kesamaan ini, tentang kesedihan ini. Aku hanya menjalani perjalananku. Meski aku tak tahu lagi bagaimana menyiasati kehidupanku, aku tetap melaluinya. Mengikuti alur yang penuh kekecewaan, kekalahan, kesedihan, dan segala yang mengundang air mata.

09062021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar