Sabtu, 17 Juli 2021

This fucking sick and the nightmare! II

This fucking sick and the nightmare! Haha, ini bakal jadi sub judul baru deh. Hahahaha, hahahaha, gatau mau mengekspresikan kondisi diri gimana di tulisan. Hahahahahahaha~

Hari ini aku di rumah. Ibu sakit. Batuk, pilek, pusing, lemes, ya gitu deh. Udah, udah periksa. Nggak tes gitu-gituan sih, tapi udah disuntik juga. Khawatir pasti. Banget-banget-banget. Tapi berusaha buat berpikir sehat dan logis. Nggak ibu doang sih, di rumah Mak, kakak ibu, pada sakit juga. Mak emang udah enggak begitu sehat fisik dan pikirannya, dan ditambah kondisi lingkungan yang begini... aku kepikiran juga. Dan tadi subuh pas orang-orang belanja di tukang sayur yang berhenti di depan rumah, jelas kakak iparku, menantu Mak membenarkan kabar yang katanya-katanya itu. Mbak bilang, nggak cuma Mak yang susah makan. Semua. Bahkan, sekeluarga yang biasanya masak 1,5 kg beras, jadi cuma 0,5 kg doang. Ya Tuhan, aku takut dong. Tapi, bisa apa? Udah sering banget kami ngobrol perkara pandemi dan penanganannya. Tapi, keluarga mereka ya gitu deh. Percaya covid tapi ahhh susah deh ngomonginnya. 

Kebetulan, si mbak ipar tadi ngajar ngaji di mesjid. Dan kata ibu, si Mbak nggak pake masker. Bingung banget deh, gimana ngejelasinnya. Padahal aku sering ngasih berita dan kabar dengan bahasa yang harusnya mudah dipahami. Pun, dia sering merespon. Tapi di lain sisi, dia juga sering nyebarin hal yang tipis banget batesnya sama hoax. Bener-bener capek.

Beda mbak sepupu ipar, beda kakakku sendiri. Dia... keknya lebih parah dari si mbak. Sumpah, aku cape ngobrol sama dia. Barusan aja, aku habis neriakin dia pake kata-kata kasar--kasar loh ya, bukan kotor. Kakak cerita kalau sekeluarga di rumahnya pada sakit. Adik iparnya yang seumuran denganku, yang aku mimpikan di This fucking sick and the nightmare! sebelumnya, sakit. Sekeluarga di rumah mertua adik iparnya sakit. Karena nggak bisa saling rawat orang sakit, dia balik ke rumah ibunya sama suami dan anak bayinya yang juga sakit. Eh, sakitnya nular ke adik dan ibunya. Kakakku dan istrinya tinggal terpisah di sebelahnya. Kakak cerita sambil cengingas-cengingis. Sebel banget lihatnya. Dia lanjut sambil bilang kalau lama-lama ibu mertuanya ngeluh sesek juga. Terus kakak iparnya yang lain, yang tinggal di daerah situ juga ngeluh hal yang sama. Aku negur dia dong, jangan sambil ketawa ceritanya. Sebelum dia ngoceh hal ga logis lain, aku udah ngegas bilang pagebluk dan kegilaan yang mungkin dia bakal sebut. Aku juga ngungkit kenapa dia nggak pake masker padahal lagi batuk.

"Loh, yang penting pede."

Pede tai kucing. Sakit kok dibikin pede. Gila. Aku bilang dong, yang sakit bukan fisik dia, tapi pikirannya. Nggak waras! Ibu di depanku udah yang melerai gitu sambil berusaha nelen makanannya. Aku sebel banget sumpah. Aku yang tiap detik nanyain ibu masih bisa cium aroma sambil bisa ngrasain masakan merasa sia-sia banget kalo punya abang yang kek gitu. Nyakitin banget. 

Hal-hal kayak gitu, nggak sekali dua kali. Selalu. Chat bodoh yang berakhir kuabaikan. Terakhir kali, pas aku posting story prihal orang tua yang kehilangan anaknya gegara lebih percaya anaknya ketempelan daripada kena meningitis, aku udah ngasih warning. Awas aja kalo sampe bilang itu takdir. Dan kakakku bilang gitu. Mungkin banget dia cuma mancing emosiku doang, tapi itu nggak etis setelah sebelumnya dia chat goblok bilang lagi kejang-kejang covid dan orang-orang di rumah pada sakit. Gilak! Gimana aku engga kepikiran? Pas nggak lagi di rumah dan dia telpon, rasanya takut banget mau ngangkat. Masih sakit banget inget tiba-tiba aja dia bilang, "Bapak ninggal, Nduk." Dengan tanpa intro apa-apa dan itu nyata. Nyata!

Setelah kakakku merespon storyku dengan, takdir, aku hanya sekali membalas, cok. Dia terus mengirim stiker bodoh dan hal-hal konyol nggak penting. Sampai akhirnya tadi setelah aku cerita ke ibu tentang 'cok' itu, aku minta maaf. Sebenar-benarnya, aku ingin dia yang minta maaf terlebih dahulu. Tapi, bahkan setelah aku bilang maaf, setelah dengan jelas aku bilang kalau dia nggak bisa minta maaf, udah aku maafkan. Balasannya, lagi-lagi cuma emot konyol. Aku tahu dia tipikal orang yang nggak bisa mengekspresikan sikap selain dengan ketawa dan marah, tapi ayolah. Kita udah dewasa. Kita udah nggak punya bapak. Dia punya keluarga, anak istri, bahkan dia masih punya ibu kandung yang banyak duit. Aku? Aku cuma punya dia dan ibu. Aku tahu semasa kecil dia banyak ngalah demi aku, tapi itu bukan alasan untuk dia jadi begini. Aku pun yakin bukan itu alasannya. Aku tahu hidup sebagai dia sulit. Tapi itu jalannya, itu pilihannya, dan dia sadar itu. 

Pernah aku iri lihat temen-temen atau siapapun yang punya privilege masa depan alias punya jalan mudah menempuh kesuksesan berkat kakak-kakaknya. Tapi, aku? Bahkan saat punya 3 kakak yang sepertinya sangat sayang kepadaku, sesayang bapak ke aku. Di titik inilah aku sadar, kalau ibu satu-satunya yang peduli dengan prosesku. Kedua kakakku yang nggak tinggal bareng aku, selalu mewanti-wanti untuk sukses. Untuk jangan pacaran, belajar yang rajin, bahagiain orang tua, but how? Mana peduli dengan caraku ngelakuin semua itu? Semuanya, mana ada yang peduli? 

Udahlah, capek. Aku sayang mereka. 

Tentang mimpi, sebenarnya aku mimpi indah tadi. Indah banget sampe bangun dan nangis. Mimpi kedua yang terasa nyata setelah mimpi di hari ke 40 bapak. Setelah banyak mimpi acak terreka, tentang teman-teman di kampus, keluarga di rumah, masa lalu, hal-hal asing dan familiar yang berselang-seling lewat, di hari Jumat, orang-orang pulang dari masjid. Suasananya sangat hangat. Tak ada kekhawatiran akan pandemi meski aku tak yakin setting tahun di mimpi itu. Tiba-tiba saja di beberapa orang yang pulang dari masjid itu ada bapak. 

Bapak dengan santainya berjalan ke rumah sambil tersenyum. Senyuman yang bukan disengaja. Hanya wajah tersenyum yang selalu ada di dirinya. Aku yang mengintip di balik pintu merah muda--itu pintu rumah lamaku--berteriak. Keluar, menggandeng dan menarik paksa tangan bapak. Sepertinya aku takut dengan pandemi, padahal jika itu di rumah lamaku, berarti kan belum ada pandemi. Aku marah ke bapak. Kenapa perginya lama sekali? Kenapa sebelum pergi bapak nggak pamitan dulu? Bapak nggak tahu apa ibu lagi sakit? Bapak kan tahu aku selalu marah kalau bapak pergi nggak bilang-bilang. Dulu, sekalipun bapak cuma ke belakang buat jodohin kembang salak, atau ke kanal, aku bisa teriak-teriak nggak jelas nyaariin. Meski bapak sering pergi lama ke luar kota, pergi sebentar pun, aku bakal nyariin kalau enggak pamitan. 

Ah, tetiba aku inget adegan-adegan dimana bapak cuma nyalain motor dan aku langsung nangkring di jok belakang. Nggak tahu kemana, pokoknya ikut. Entah aku lagi berpakaian kayak apa, udah mandi apa belum, bahkan  saat aku udah kuliah ini, selalu ikut. Meski nantinya aku hanya nunggu di motor atau diam canggung di tempat yang seharusnya aku nggak ikut, selama ada bapak, semua baik-baik aja. 

Aku menarik bapak ke belakang, ke kamarnya. Ibu berbaring di sana. Loh, bukannya ibu tadi di kamarku? Ah, pikiranku agak berseling di sana. Bapak nggak kaget. Santai sekali. Malah bapak cuma lihat-lihat kamarnya. Di situ, aku ingat kalau harusnya kamar bapak sekarang udah jadi gudang. Aku lebih erat megang tangan bapak. Sadar ini mimpi. Aku masih ingin sama bapak. Aku nggak ingin bangun. Tapi, tapi rasanya aku udah mau bangun. Aku tetep megang bapak. Aku ngomong banyak, entah ngomong apa. Bapak mengamati rumah kami. Ibu hanya bergeming di atas kasur, seakan tidak mendengar suara kami. Aku, aku mulai khawatir. Tiba-tiba saja aku ingin mengakhiri mimpi itu, tapi aku kangen bapak. Di lain sisi, aku cemas. Aku takut bapak rindu ibu. Aku takut. 

Selasa, 13 Juli 2021

Aku dan Kisahku

Capek. Sedih. Sakit. 

Hari ini aku mulai chat dosen buat konsul skripsi. Sebuah progres yang harusnya bisa kulakukan tahun lalu. Kalau ingat kenyataan bahwa aku terlambat karena sudah banyak teman-teman yang lulus, aku jadi ingat kata-kata seorang temen yang bilang kalau kita nggak sedang lomba. Oke, aku setuju. Aku juga berpikir demikian. Kami berdua sepakat soal itu. Tapi, pagi tadi, sebelum aku mulai chat dosen itu, aku membaca lagi tulisan-tulisan di sini, tahun lalu, lebih dari setahun lalu, saat teman-teman mulai mikirin tugas akhir, aku masih sibuk nulis di sini. Tulisan yang pada akhirnya kunikmati sendiri, obatku. Saat itu, aku masih mendefinisikan diriku sebagai pasien. Setelah bapak pergi hidupku kosong. Saat ingin bangkit, dunia sakit. Terbelenggu rasa sedih yang seperti tak ada habisnya. Ada saja kesialan. Ada saja berita buruk. Lagi dan terus menerus. Kehilangan. 

Aku nggak tahu kudu apa sekarang. Pikiranku nggak lagi sakit. Nggak ada yang nyakitin hatiku. Tapi aku nggak bisa berhenti nangis. Aku malu sama bapak ibu kos yang di luar yang mungkin denger suara ketikan dan isakan ini. Aku nggak lagi sedih gara-gara skripsi, enggak. Hanya capek. Sedih. Ada rasa sakit yang enggak bisa didefinisi. Aku nggak mau membandoli diriku dengan sebutan pasien lagi. Meski kehilangan masih sangat dekat dan membekas, aku nggak mau menjadi pesakitan. Fakta banyak yang telah hilang, biar. Aku mencoba untuk tidak peduli.

Rasa, aku, dan mawas diri. Tiga hal yang dua bulan ini aku pelajari. Aku tak mau banyak membahas ketiga hal itu, tapi sebagai manusia, ketiga konsep kehidupan itu menggerayangi. Tidak menakutkan, hanya membuatku jadi mikir. Enggak berat, enggak juga ringan. Tapi, tanpa sadar itu penting. Mungkin, tanpa sadar aku mempraktekan telaah itu sehingga masih sanggup melanjutkan hidup. 

Bicara rasa, satu-satunya rasa yang kurasakan sekarang adalah cemas. Pilihan ibu untuk engga bilang kalau lagi batuk pilek sepertinya benar. Takut aku khwatir begini. Tentu dong! Gila apa! Setelah lihat orang meninggal gegara covid secara tiba-tiba di depan mata. Mendengar cerita-cerita--yang dalam hal ini fakta--di media sosial atau dari sanak saudara, sungguh bikin sedih. Sangat. Ibu tahu aku se(aku susah mendefinisikan) itu tentang pandemi, jadi ibu engga bilang, hingga aku sadar. Suara ibu sengau. Ya Allah, takut.

Ibu bilang nggak apa-apa. Ibu bilang nggak habis pergi kemana-mana. Ibu bilang baik-baik saja. Hanya sakit biasa. Ibu ngeyakini aku buat nggak usah khawatir, tapi gimana bisa? Tiap kali telpon, aku selalu bilang, kemana-mana pake masker. Ibu nggak pernah keluar selain beli sayur ke tukang sayur yang berhenti di depan rumah atau nganterin adek ngaji. Ngaji di rumah sepupu dan masjid. Udah beberapa hari setelah ada tetangga sepuh yang meninggal kena covid, adek juga engga dianter ngaji. Beberapa hari sebelumnya pun, pas ada tetangga yang lahiran, aku udah kenyeh bilang nggak usah dateng. Sebelumnya lagi, pas ada sanak yang meninggal, aku bilang nggak usah datang dulu. Ibu bilang, nggak ada pilihan. Nggak ada yang datang takziah, nggak ada yang rewang, dan saat itu aku memastikan bahwa ibu ke sana dengan masker dan pulang langsung mandi, bebersih diri. Ibu juga selalu ngingetin aku. Bahkan, ibu bilang mending bayar denda daripada keluar ke kampus cuma buat balikin buku. Tapi, masih aja, aku kepikiran.

Aku tahu, tindakan pertama yang dilakukan kalau bergejala adalah tes. Swab PCR atau apapun itu. Tapi, kami terlalu miskin untuk mengambil langkah itu. Selama ini aku nggak pernah senyesel ini jadi miskin. Saat rumahku jadi satu-satunya rumah reyot, saat aku satu-satunya yang pake motor butut ke sekolah, saat aku cuma bisa diem pas temen-temen jajan, saat aku bisa membatin saat segala privilege orang lain lewat di layar ponsel yang butuh banyak perjuangan buat kudapatkan, aku nggak pernah sesedih ini. Kalau aja kami kaya. Kalau aja bapak masih ada.

Aku sadar, aku lebih banyak cerita tentang bapak. Itu bukan karena aku nggak sayang ibu. Bukan berarti nggak ada cerita dengan ibu. Tapi, susah. Susah dan dalam jika dikulik. Sedari kecil, ibu mandiri. Dia anak nomor dua paling muda. Hanya ibu dan satu-satunya bulekku yang melanjutkan sekolah sampai SMA. Hidup ibu nggak seenak si adik yang umurnya nggak jauh beda. Ibu milih sekolah di SMA Ambulu, Jember. Entah kenapa, tapi itu bikin aku malu. Ibu tiap minggu pulang. Aku, di sini, bahkan nggak tahu bapak sakit sampe meninggal. Pas aku denger kisahnya sekolah di sini, iri banget sumpah. Kukira masa kuliahku yang jauh lebih berwarna dari SMA dan SMP ini sudah mengesankan, tapi kisah ibu lebih mengesankan. Iri sekali.

Ibu yang saat setelah lulus SMA ikut banyak kursus, punya kerjaan berpenghasilan bagus, pas dimintai tolong keluarga buat bayar ini dan itu, tetep mau bantu. Ibu nggak perhitungan. Padahal, hidupnya kelak masih penuh perjuangan. Kayaknya, kesalahan terbesar ibu adalah ketemu bapak. Hahaha, aku tadi udah berhenti nagis loh. Kenapa sekarang jadi mewek lagiiii! Hahahaha...

Ibu. Satu-satunya yang kumiliki sekarang. Ah, bagaimanapun, aku hanya punya ibu. Dan ibu hanya punya aku. Saudara? Kakak? Aku sayang kakakku. Aku yakin, kakakku juga sayang aku. Tapi, kakakku sedang tidak beres. Gila. Entah, deng. Mungkin aku yang gila dan dia yang waras. Kami selalu berdebat. Debat serius yang nggak ada akhir. Tentang kepercayaan dan mati. Kan! Gimana aku nggak ikutan gila? Aku nggak punya temen ngobrol. Temen? Sejauh apa temen bisa bantu masalah kelarga?

Aku kangen bapak. Aku yakin, ibu sangat kangen bapak.

Aku. Aku dalam ilmu jiwa yang kupelajari itu adalah ego. Biasa disebut kramadangsa. Berlapis-lapis dan dipengaruhi banyak hal. Ya lingkungan, ya ke-Tuhan-an. Aku Alit karena kramadangsa bisa diganti nama masing-masing. Nama panggilan, nama asli, terserah. Kramadangsa adalah manusia, orang. Aku manusia jahat. Kata ibu sinis. Kataku ya aku jahat. Kadang baik, tapi aslinya jahat. Kelihatannya nggak mau ngalah dan keras kepala. Padahal, jujur, aku banyak ngalah. Aku nggak bisa banyak mendeskripsikan karena kalau terlalu detail bakal panjang dan kalaupun bisa nulis panjang, nggak akan valid karena ini dari sudut pandang diriku sendiri.

Terakhir mawas diri. Dari diksinya bisa kebaca kan apa maksudnya? Aku nggak mau jelasin karena aku kudu buka buku lagi biar valid--itupun aku nggak yakin bisa nyampein dengan bener. Ah, kayaknya tadi banyak deh yang pengen kusampein. Tapi, sekarang udah nggak ada. Ilang gitu aja, kayak tangisku yang udah reda. Terima kasih buat kawruh begja yang bikin aku lupa hal sedih-sedih yang pengen kutulis tadi. Semoga semua baik-baik saja. Nggak ada kabar buruk dan badan-pikiran sehat selalu. 

Bai bai.

Jumat, 09 Juli 2021

THROWBACK 8

 

Aku mengambil tempat di sebelah tempat sopir, dekat bapak. Tempat favoritku. Selalu, kemana pun kami berkesempatan pergi bersama, aku pasti akan mengambil tempat itu. Alasannya sederhana. Aku ingin melihat bapak menyetir. Sepanjang waktu, saat aku duduk di sebelahnya begini, aku selalu berkata, aku akan menggantikan bapak menyetir kalau-kalau ia lelah. Hal yang tidak mungkin. Tapi, dengan kalimat itu, stamina bapak bertambah. Itu jelas karena perubahan tampak jelas di wajah bapak.

Biasanya pula, saat kami berkendara berdua saja. Selalu ada obrolan ndakik yang tak pernah terwujud. Selalu aku bercakap besar kalau kelak akan membelikan bapak mobil. Aku suka melihat bapak menyetir. Aku ingin bisa menyetir mobil. Dan aku ingin belajar dari beliau. Kalau orang lain saja diajari olehnya, kenapa aku tidak kan? Jawabannya karena kami tak punya mobil. Bapak tidak berani, dan tidak akan pernah mau mengajari anaknya menyetir dengan mobil orang lain.

Bapak selalu mengamini kata-kataku dengan bercakap tak kalah besar. Sebesar janjinya untuk membelikanku laptop saat kelas 3 SMP yang akhirnya baru kudapat saat kelas 2 SMA. Itupun hanya berupa notebook. Tapi tak apa, aku sangat bersyukur. Aku tak pernah memberi bapak apa-apa terlebih mobil. Padahal jikalaupun kelak aku sukses dan mampu membeli mobil, bapak hanya ingin mobil Carry

.

.

.

“Di daerah sini masih ada hewan yang dilindungi, masih banyak banteng.” Suara bapak memecah keheningan. Arsy, yang tadi sempat rewel sedang tertidur di pangkuan ibu. Ayah dan ibunya teler. Si ibu duduk di sebelah ibuku. Sedang ayahnya, kakakku, duduk sendiri di kursi paling belakang.

“Loh iya. Itu banteng!” seruku sambil menunjuk sebuah baliho partai berwarna merah. Sedari tadi, memang banyak kutemui gambar serupa itu di daerah ini.

Setelah melihat apa yang kutunjuk, bapak tak merespon. Hanya diam dan kembali fokus pada jalanan. Ibu tak begitu peduli. Sedangkan kakak yang sama recehnya dengan kami—aku dan bapak, sedang menikmati tidurnya.

“Loh, mana ya tulisan Arak-Arak? Sudah kelewat ya?” tanya bapak kepada dirinya sendiri. Pandangannya terpecah ke kanan dan ke kiri, membuatku melakukan hal serupa.

“Sudah diminum kali.” Aku menimpali. Bapak tidak menunjukkan ekspresi lain. Masih menahan diri dan mencari-cari tulisan Arak-Arak yang dimaksud.

“Itu kan arak pake ‘ak’.” Jawab bapak. Dalam hati aku tertawa. Aku paham maksud bapak. Arak yang dimaksud adalah arak dengan akhiran glotal. Dalam ilmu linguistik disebut demikian. Akhiran memekik dari huruf k. Tulisan fonetisnya berupa tanda tanya, (?).

Aku tak menjawab lagi kalimat bapak. Pikiranku melayang ke kejadian-kejadian lama. Obrolan semacam itu, hampir setiap hari kami lakukan. Hal-hal kecil yang disengaja maupun tidak. Kepolosan bapak, kadang menjadi sebuah hal lucu sekaligus ilmu baru juga bagiku. Aku senang. Sangat senang.

“Di Bali, arak itu…” Ah mulai. Sepertinya bapak akan bercerita panjang.

......

 

Hingga suatu siang saat aku sedang menyaksikan tontonan favoritku—drama Korea—di kamar, tiba-tiba beliau masuk. Saat itu drama The Moon That Embraces The Sun episode terakhir. Beliau pulang dengan tanpa mengabariku sebelumnya. Kakak menjemput ibu di halte. Tapi, sebelum pergi, dia hanya bilang akan ke suatu tempat. Begitu saja.

Aku senang. Tentu saja. Bayangan setiap malam harus banjir air mata tatkala mendengar sedikit suara ibu yang tak sengaja masuk di rekaman ponsel kala aku menonton drama Korea, akan segera lebur. Aku tak akan susah-susah membagi waktu antara belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Memasak, menyapu, mencuci piring dan baju, ah aku tak perlu bertengkar dengan bapak lagi.

Namun, rasa senangku tak berselang lama. Setelah memeluk ibu dengan air mata, barulah kutahu alasan kepulangannya. Ibu sakit telinga. Setiap sore, telinga ibu akan terasa sakit. Berdengung hebat, dan kadang mengeluarkan cairan. Entahlah. Padahal selama di kota ibu juga sudah berobat. Tapi, kondisinya tetap saja begitu. Jadilah, ibu pulang. 

......

Mak Mi, salah satu adik perempuan bapak, ikut rombongan kami. Dhe Yam masih tinggal di sana. Lek Yul dan istrinya turut pulang menaiki motor matik mereka. Beberapa meter sebelum rumah Dhe Yam, kami berhenti di makam Mbah Nang dan Mbah Dok. Aku, bapak, dan Mak Mi turun. Lek Yul yang tadi masih di belakang sudah sampai sana rupanya. Kami nyekar. Acara berdoa berjalan haru karena sebelumnya, di sepanjang perjalanan Kediri-Jombang, Mak Mi bercerita banyak. Memutar kisah masa lalu tentang masa kecil mereka. Tentang para saudara yang sudah berpulang, serta bagaimana susahnya hidup menjadi mereka. Dan akhirnya, meski keluarga kami tak patut disebut sukses, setidaknya kami tidak semenderita dulu.

Aku jadi ingat saat ke mari kala 40 hari ayah Jeni waktu itu. Karena bapak agak lupa jalanan ke rumah Lek So, maka Lek Yul ikut rombongan dan menjadi petunjuk jalan. Dan saat-saat itu, aku ingat betul Lek Yul bercerita sampai hampir menangis. Intinya, dia sangat sayang dengan kakaknya yang meninggal, dan selalu berdoa untuk umur saudara-saudaranya yang lain agar panjang. Benar-benar haru. Dan posisi Lek Yul kala itu, terganti oleh Mak Mi ini.

Sesampainya di rumah Dhe Yam hatiku buncah. Sebelumnya, Dhe Yam berpesan agar kami membawa beras, pisang, kelapa, kerupuk, daging sapi dan rawon dari hari raya kurban kemarin. Aku menduga-duga jika hal seperti ini pasti terjadi. Inilah mengapa opsi menyewa mobil adalah pilihan terbaik karena Dhe Yam, maupun keluarga yang lain pasti akan memaksa membawa ini dan itu. Untung Dhe Yam tidak di rumah, jadi tidak akan menambah-nambahi bahan makanan yang lain.

Ah, beberapa kali terakhir bapak ke sini mengendarai mobil sewaan, sangat amat membantu. Dulu, entah tahun kapan, saat kami mudik naik bus, kami harus membawa banyak barang dari sanak di sana. Bukan kami sih, lebih tepatnya bapak, ibu dan Mas Put. Aku mabuk parah. Apalagi karena saat itu lebaran, bis-bis yang lewat penuh. Setelah berjam-jam menunggu di tepi jalan raya, barulah kami mendapatkan sebuah bus yang sayangnya, bapak harus berdiri. Aku duduk, duduk di sebelah orang asing. Bapak, berdiri di sebelahku sambil sesekali memijit tengkukku dan menengadahkan plastik muntahan. Hueak. Ibu dan kakak entah duduk dan berdiri di sisi mana. Yang jelas, barang bawaan kami—berkarung-karung bahan makanan—tersebar di sudut-sudut yang bisa ditempati.

Saat-saat yang seperti itu, adalah saat yang menegangkan. Tak ingin sekali-kali mengulangi. Tapi lebih dari apapun, itu adalah saat-saat yang penuh nostalgia. Jika dilalui rasanya sakit, sulit. Dan jika dikenang, rasanya menyenangkan.

.....

Aku kembali bergas setelah kami mampir ke Indomaret di Probolinggo. Indomaret tanpa tetangga karena di kanan kirinya hanya hamparan tanah kosong. Sesuatu yang akhir-akhir ini ingin kucoba akhirnya terbeli. Kemeripik. Kripik singkong produksi anak presiden. Produknya yang setiap hari menghiasi timeline Twitter, membuat aku ingin mencobanya.

Setelah mampir di Indomart itu, entah kenapa lagi di sepanjang jalan mood bapak buruk. Sangat. Sepertinya karena bapak mengantuk. Tapi bapak bilang tidak apa-apa. Aku sendiri sempat ketiduran sehingga tidak begitu memperhatikan bapak menyetir.

Sesampainya di Jember, kami tak langsung ke kosku. Bapak, dengan mata yang sudah lelah menghentikan mobil di depan gang Jawa 6, dekat Indomaret, lagi. Indomaret langgananku selama tinggal di sini karena memang itu yang paling dekat. Kami membeli beberapa mie untuk nantinya kami masak di kos. Setelahnya mobil masuk ke gang Jawa 4. Belok ke kanan dan masuk ke Jalan Jawa 2b. Lalu ada gang kecil lagi. Sangat kecil. Kemudian jalan buntu. Ada dua kos-kosan di sana. Salah satunya kosanku.

Mobil terparkir di depan gerbang. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku buru-buru mempersilakan mereka masuk sambil memberi isyarat kalo jangan berisik. Bapak langsung mengambil tempat di lantai pendopo tengah kos yang dingin. Aku mencari-cari karpet yang biasanya digunakan mbak-mbak kos kala menonton TV di sana. Tapi, tak kutemukan juga. Maka, kubiarkan bapak dan aku mulai menjerang air untuk memasak.

Mas Put dan istrinya, menidurkan Arsy di kamar. Aku yakin mata sepasang suami istri itu pasti akan mengamati kamarku yang tidak begitu rapi, tapi tidak seberantakan kamarku dulu di rumah. Dan Hana, dia berjalan ke sana ke mari, menimbulkan suara berisik. Berkali aku menegurnya. Tapi, dia tak bisa diam. Bertanya ini dan itu. Apalagi saat Arsy terbangun, tangisnya lumayan kencang di keheningan. Ibu sendiri tengah menurunkan barang-barangku dari mobil. Pakaian dan segala barang yang kupersiapkan dari rumah. Juga makanan-makanan yang kami bawa dari rumah Dhe Yam tadi. Seluruh rawon ibu tinggalkan di kosan. Setelah dipanaskan ibu menyimpannya dalam kulkas. Bersama buah pisang dan makanan-makanan yang lain.

Jam 00 lewat sedikit, aku selesai masak. Semuanya sama, mie sedap goreng. Mie kesukaan kami—kecuali ibu sih. Aku tak punya banyak perkakas makan, tapi cukuplah untuk semua orang mendapatkan piring, mangkuk, sendok, garbu, atau sumpit. Semua orang duduk melingkar di pendopo. Aku mengeluarkan karpetku yang tadinya berada di kamar. Bapak makan dengan cepat, begitupun kakak. Lainnya menyesuaikan. Aku hanya bermain-main dengan Arsy yang terkantuk-kantuk sambil menjawab pertanyaan acak Hana. Aku hanya berharap jika teman-teman kos tidak terganggu saja.

Tak lama setelah selesai makan, bapak langsung beranjak. Sayu di matanya sudah hilang. Sambil mengorek sesuatu di mulutnya dengan tusuk gigi, bapak berpamitan. Entah apa yang dikorek, padahal bapak hanya makan mie saja. Kebiasaan.

Aku mengantar mereka sampai depan gang. Melempar lambai pada dua keponakanku yang matanya bugar di tengah malam. Ah, senangnya melewati beberapa hari bersama mereka. Setelah ini, aku harus menjalani realita hidup di rantau lagi. Rutinitas kampus yang sibuk dan memuakkan, serta kesendirian yang kadang kuidam-idamkan. Ah, sejujurnya, ini akan jadi sangat menyebalkan—menyedihkan.  

Selanjutnya, aku memotret kripik Kaesang. Mengunggahnya di akun Twitter sepupu yang diberikan padaku. Entahlah, aku sedang kesal dengan orang-orang di Twitter pribadiku. Ah, hanya hanya orang-orang tertentu sih. Memikirkan mereka saja membuatku emosi.

Lamat-lamat aku tertidur. Ketiduran. Semenjak itu, aku tak pernah tidur malam. Alih-alih selalu ketiduran. Dan pagi harinya selalu dibangunkan oleh panggilan kesayangan. Suara bapak. Suara yang kedepannya jarang kutemui karena bebalku. Aku yang selalu tak punya waktu dan bangun siang. Sisa-sisa suara yang menyisakan sebuah tulisan.

Panggilan Tak Terjawab.