Jumat, 09 Juli 2021

THROWBACK 8

 

Aku mengambil tempat di sebelah tempat sopir, dekat bapak. Tempat favoritku. Selalu, kemana pun kami berkesempatan pergi bersama, aku pasti akan mengambil tempat itu. Alasannya sederhana. Aku ingin melihat bapak menyetir. Sepanjang waktu, saat aku duduk di sebelahnya begini, aku selalu berkata, aku akan menggantikan bapak menyetir kalau-kalau ia lelah. Hal yang tidak mungkin. Tapi, dengan kalimat itu, stamina bapak bertambah. Itu jelas karena perubahan tampak jelas di wajah bapak.

Biasanya pula, saat kami berkendara berdua saja. Selalu ada obrolan ndakik yang tak pernah terwujud. Selalu aku bercakap besar kalau kelak akan membelikan bapak mobil. Aku suka melihat bapak menyetir. Aku ingin bisa menyetir mobil. Dan aku ingin belajar dari beliau. Kalau orang lain saja diajari olehnya, kenapa aku tidak kan? Jawabannya karena kami tak punya mobil. Bapak tidak berani, dan tidak akan pernah mau mengajari anaknya menyetir dengan mobil orang lain.

Bapak selalu mengamini kata-kataku dengan bercakap tak kalah besar. Sebesar janjinya untuk membelikanku laptop saat kelas 3 SMP yang akhirnya baru kudapat saat kelas 2 SMA. Itupun hanya berupa notebook. Tapi tak apa, aku sangat bersyukur. Aku tak pernah memberi bapak apa-apa terlebih mobil. Padahal jikalaupun kelak aku sukses dan mampu membeli mobil, bapak hanya ingin mobil Carry

.

.

.

“Di daerah sini masih ada hewan yang dilindungi, masih banyak banteng.” Suara bapak memecah keheningan. Arsy, yang tadi sempat rewel sedang tertidur di pangkuan ibu. Ayah dan ibunya teler. Si ibu duduk di sebelah ibuku. Sedang ayahnya, kakakku, duduk sendiri di kursi paling belakang.

“Loh iya. Itu banteng!” seruku sambil menunjuk sebuah baliho partai berwarna merah. Sedari tadi, memang banyak kutemui gambar serupa itu di daerah ini.

Setelah melihat apa yang kutunjuk, bapak tak merespon. Hanya diam dan kembali fokus pada jalanan. Ibu tak begitu peduli. Sedangkan kakak yang sama recehnya dengan kami—aku dan bapak, sedang menikmati tidurnya.

“Loh, mana ya tulisan Arak-Arak? Sudah kelewat ya?” tanya bapak kepada dirinya sendiri. Pandangannya terpecah ke kanan dan ke kiri, membuatku melakukan hal serupa.

“Sudah diminum kali.” Aku menimpali. Bapak tidak menunjukkan ekspresi lain. Masih menahan diri dan mencari-cari tulisan Arak-Arak yang dimaksud.

“Itu kan arak pake ‘ak’.” Jawab bapak. Dalam hati aku tertawa. Aku paham maksud bapak. Arak yang dimaksud adalah arak dengan akhiran glotal. Dalam ilmu linguistik disebut demikian. Akhiran memekik dari huruf k. Tulisan fonetisnya berupa tanda tanya, (?).

Aku tak menjawab lagi kalimat bapak. Pikiranku melayang ke kejadian-kejadian lama. Obrolan semacam itu, hampir setiap hari kami lakukan. Hal-hal kecil yang disengaja maupun tidak. Kepolosan bapak, kadang menjadi sebuah hal lucu sekaligus ilmu baru juga bagiku. Aku senang. Sangat senang.

“Di Bali, arak itu…” Ah mulai. Sepertinya bapak akan bercerita panjang.

......

 

Hingga suatu siang saat aku sedang menyaksikan tontonan favoritku—drama Korea—di kamar, tiba-tiba beliau masuk. Saat itu drama The Moon That Embraces The Sun episode terakhir. Beliau pulang dengan tanpa mengabariku sebelumnya. Kakak menjemput ibu di halte. Tapi, sebelum pergi, dia hanya bilang akan ke suatu tempat. Begitu saja.

Aku senang. Tentu saja. Bayangan setiap malam harus banjir air mata tatkala mendengar sedikit suara ibu yang tak sengaja masuk di rekaman ponsel kala aku menonton drama Korea, akan segera lebur. Aku tak akan susah-susah membagi waktu antara belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Memasak, menyapu, mencuci piring dan baju, ah aku tak perlu bertengkar dengan bapak lagi.

Namun, rasa senangku tak berselang lama. Setelah memeluk ibu dengan air mata, barulah kutahu alasan kepulangannya. Ibu sakit telinga. Setiap sore, telinga ibu akan terasa sakit. Berdengung hebat, dan kadang mengeluarkan cairan. Entahlah. Padahal selama di kota ibu juga sudah berobat. Tapi, kondisinya tetap saja begitu. Jadilah, ibu pulang. 

......

Mak Mi, salah satu adik perempuan bapak, ikut rombongan kami. Dhe Yam masih tinggal di sana. Lek Yul dan istrinya turut pulang menaiki motor matik mereka. Beberapa meter sebelum rumah Dhe Yam, kami berhenti di makam Mbah Nang dan Mbah Dok. Aku, bapak, dan Mak Mi turun. Lek Yul yang tadi masih di belakang sudah sampai sana rupanya. Kami nyekar. Acara berdoa berjalan haru karena sebelumnya, di sepanjang perjalanan Kediri-Jombang, Mak Mi bercerita banyak. Memutar kisah masa lalu tentang masa kecil mereka. Tentang para saudara yang sudah berpulang, serta bagaimana susahnya hidup menjadi mereka. Dan akhirnya, meski keluarga kami tak patut disebut sukses, setidaknya kami tidak semenderita dulu.

Aku jadi ingat saat ke mari kala 40 hari ayah Jeni waktu itu. Karena bapak agak lupa jalanan ke rumah Lek So, maka Lek Yul ikut rombongan dan menjadi petunjuk jalan. Dan saat-saat itu, aku ingat betul Lek Yul bercerita sampai hampir menangis. Intinya, dia sangat sayang dengan kakaknya yang meninggal, dan selalu berdoa untuk umur saudara-saudaranya yang lain agar panjang. Benar-benar haru. Dan posisi Lek Yul kala itu, terganti oleh Mak Mi ini.

Sesampainya di rumah Dhe Yam hatiku buncah. Sebelumnya, Dhe Yam berpesan agar kami membawa beras, pisang, kelapa, kerupuk, daging sapi dan rawon dari hari raya kurban kemarin. Aku menduga-duga jika hal seperti ini pasti terjadi. Inilah mengapa opsi menyewa mobil adalah pilihan terbaik karena Dhe Yam, maupun keluarga yang lain pasti akan memaksa membawa ini dan itu. Untung Dhe Yam tidak di rumah, jadi tidak akan menambah-nambahi bahan makanan yang lain.

Ah, beberapa kali terakhir bapak ke sini mengendarai mobil sewaan, sangat amat membantu. Dulu, entah tahun kapan, saat kami mudik naik bus, kami harus membawa banyak barang dari sanak di sana. Bukan kami sih, lebih tepatnya bapak, ibu dan Mas Put. Aku mabuk parah. Apalagi karena saat itu lebaran, bis-bis yang lewat penuh. Setelah berjam-jam menunggu di tepi jalan raya, barulah kami mendapatkan sebuah bus yang sayangnya, bapak harus berdiri. Aku duduk, duduk di sebelah orang asing. Bapak, berdiri di sebelahku sambil sesekali memijit tengkukku dan menengadahkan plastik muntahan. Hueak. Ibu dan kakak entah duduk dan berdiri di sisi mana. Yang jelas, barang bawaan kami—berkarung-karung bahan makanan—tersebar di sudut-sudut yang bisa ditempati.

Saat-saat yang seperti itu, adalah saat yang menegangkan. Tak ingin sekali-kali mengulangi. Tapi lebih dari apapun, itu adalah saat-saat yang penuh nostalgia. Jika dilalui rasanya sakit, sulit. Dan jika dikenang, rasanya menyenangkan.

.....

Aku kembali bergas setelah kami mampir ke Indomaret di Probolinggo. Indomaret tanpa tetangga karena di kanan kirinya hanya hamparan tanah kosong. Sesuatu yang akhir-akhir ini ingin kucoba akhirnya terbeli. Kemeripik. Kripik singkong produksi anak presiden. Produknya yang setiap hari menghiasi timeline Twitter, membuat aku ingin mencobanya.

Setelah mampir di Indomart itu, entah kenapa lagi di sepanjang jalan mood bapak buruk. Sangat. Sepertinya karena bapak mengantuk. Tapi bapak bilang tidak apa-apa. Aku sendiri sempat ketiduran sehingga tidak begitu memperhatikan bapak menyetir.

Sesampainya di Jember, kami tak langsung ke kosku. Bapak, dengan mata yang sudah lelah menghentikan mobil di depan gang Jawa 6, dekat Indomaret, lagi. Indomaret langgananku selama tinggal di sini karena memang itu yang paling dekat. Kami membeli beberapa mie untuk nantinya kami masak di kos. Setelahnya mobil masuk ke gang Jawa 4. Belok ke kanan dan masuk ke Jalan Jawa 2b. Lalu ada gang kecil lagi. Sangat kecil. Kemudian jalan buntu. Ada dua kos-kosan di sana. Salah satunya kosanku.

Mobil terparkir di depan gerbang. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku buru-buru mempersilakan mereka masuk sambil memberi isyarat kalo jangan berisik. Bapak langsung mengambil tempat di lantai pendopo tengah kos yang dingin. Aku mencari-cari karpet yang biasanya digunakan mbak-mbak kos kala menonton TV di sana. Tapi, tak kutemukan juga. Maka, kubiarkan bapak dan aku mulai menjerang air untuk memasak.

Mas Put dan istrinya, menidurkan Arsy di kamar. Aku yakin mata sepasang suami istri itu pasti akan mengamati kamarku yang tidak begitu rapi, tapi tidak seberantakan kamarku dulu di rumah. Dan Hana, dia berjalan ke sana ke mari, menimbulkan suara berisik. Berkali aku menegurnya. Tapi, dia tak bisa diam. Bertanya ini dan itu. Apalagi saat Arsy terbangun, tangisnya lumayan kencang di keheningan. Ibu sendiri tengah menurunkan barang-barangku dari mobil. Pakaian dan segala barang yang kupersiapkan dari rumah. Juga makanan-makanan yang kami bawa dari rumah Dhe Yam tadi. Seluruh rawon ibu tinggalkan di kosan. Setelah dipanaskan ibu menyimpannya dalam kulkas. Bersama buah pisang dan makanan-makanan yang lain.

Jam 00 lewat sedikit, aku selesai masak. Semuanya sama, mie sedap goreng. Mie kesukaan kami—kecuali ibu sih. Aku tak punya banyak perkakas makan, tapi cukuplah untuk semua orang mendapatkan piring, mangkuk, sendok, garbu, atau sumpit. Semua orang duduk melingkar di pendopo. Aku mengeluarkan karpetku yang tadinya berada di kamar. Bapak makan dengan cepat, begitupun kakak. Lainnya menyesuaikan. Aku hanya bermain-main dengan Arsy yang terkantuk-kantuk sambil menjawab pertanyaan acak Hana. Aku hanya berharap jika teman-teman kos tidak terganggu saja.

Tak lama setelah selesai makan, bapak langsung beranjak. Sayu di matanya sudah hilang. Sambil mengorek sesuatu di mulutnya dengan tusuk gigi, bapak berpamitan. Entah apa yang dikorek, padahal bapak hanya makan mie saja. Kebiasaan.

Aku mengantar mereka sampai depan gang. Melempar lambai pada dua keponakanku yang matanya bugar di tengah malam. Ah, senangnya melewati beberapa hari bersama mereka. Setelah ini, aku harus menjalani realita hidup di rantau lagi. Rutinitas kampus yang sibuk dan memuakkan, serta kesendirian yang kadang kuidam-idamkan. Ah, sejujurnya, ini akan jadi sangat menyebalkan—menyedihkan.  

Selanjutnya, aku memotret kripik Kaesang. Mengunggahnya di akun Twitter sepupu yang diberikan padaku. Entahlah, aku sedang kesal dengan orang-orang di Twitter pribadiku. Ah, hanya hanya orang-orang tertentu sih. Memikirkan mereka saja membuatku emosi.

Lamat-lamat aku tertidur. Ketiduran. Semenjak itu, aku tak pernah tidur malam. Alih-alih selalu ketiduran. Dan pagi harinya selalu dibangunkan oleh panggilan kesayangan. Suara bapak. Suara yang kedepannya jarang kutemui karena bebalku. Aku yang selalu tak punya waktu dan bangun siang. Sisa-sisa suara yang menyisakan sebuah tulisan.

Panggilan Tak Terjawab.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar