Selasa, 13 Juli 2021

Aku dan Kisahku

Capek. Sedih. Sakit. 

Hari ini aku mulai chat dosen buat konsul skripsi. Sebuah progres yang harusnya bisa kulakukan tahun lalu. Kalau ingat kenyataan bahwa aku terlambat karena sudah banyak teman-teman yang lulus, aku jadi ingat kata-kata seorang temen yang bilang kalau kita nggak sedang lomba. Oke, aku setuju. Aku juga berpikir demikian. Kami berdua sepakat soal itu. Tapi, pagi tadi, sebelum aku mulai chat dosen itu, aku membaca lagi tulisan-tulisan di sini, tahun lalu, lebih dari setahun lalu, saat teman-teman mulai mikirin tugas akhir, aku masih sibuk nulis di sini. Tulisan yang pada akhirnya kunikmati sendiri, obatku. Saat itu, aku masih mendefinisikan diriku sebagai pasien. Setelah bapak pergi hidupku kosong. Saat ingin bangkit, dunia sakit. Terbelenggu rasa sedih yang seperti tak ada habisnya. Ada saja kesialan. Ada saja berita buruk. Lagi dan terus menerus. Kehilangan. 

Aku nggak tahu kudu apa sekarang. Pikiranku nggak lagi sakit. Nggak ada yang nyakitin hatiku. Tapi aku nggak bisa berhenti nangis. Aku malu sama bapak ibu kos yang di luar yang mungkin denger suara ketikan dan isakan ini. Aku nggak lagi sedih gara-gara skripsi, enggak. Hanya capek. Sedih. Ada rasa sakit yang enggak bisa didefinisi. Aku nggak mau membandoli diriku dengan sebutan pasien lagi. Meski kehilangan masih sangat dekat dan membekas, aku nggak mau menjadi pesakitan. Fakta banyak yang telah hilang, biar. Aku mencoba untuk tidak peduli.

Rasa, aku, dan mawas diri. Tiga hal yang dua bulan ini aku pelajari. Aku tak mau banyak membahas ketiga hal itu, tapi sebagai manusia, ketiga konsep kehidupan itu menggerayangi. Tidak menakutkan, hanya membuatku jadi mikir. Enggak berat, enggak juga ringan. Tapi, tanpa sadar itu penting. Mungkin, tanpa sadar aku mempraktekan telaah itu sehingga masih sanggup melanjutkan hidup. 

Bicara rasa, satu-satunya rasa yang kurasakan sekarang adalah cemas. Pilihan ibu untuk engga bilang kalau lagi batuk pilek sepertinya benar. Takut aku khwatir begini. Tentu dong! Gila apa! Setelah lihat orang meninggal gegara covid secara tiba-tiba di depan mata. Mendengar cerita-cerita--yang dalam hal ini fakta--di media sosial atau dari sanak saudara, sungguh bikin sedih. Sangat. Ibu tahu aku se(aku susah mendefinisikan) itu tentang pandemi, jadi ibu engga bilang, hingga aku sadar. Suara ibu sengau. Ya Allah, takut.

Ibu bilang nggak apa-apa. Ibu bilang nggak habis pergi kemana-mana. Ibu bilang baik-baik saja. Hanya sakit biasa. Ibu ngeyakini aku buat nggak usah khawatir, tapi gimana bisa? Tiap kali telpon, aku selalu bilang, kemana-mana pake masker. Ibu nggak pernah keluar selain beli sayur ke tukang sayur yang berhenti di depan rumah atau nganterin adek ngaji. Ngaji di rumah sepupu dan masjid. Udah beberapa hari setelah ada tetangga sepuh yang meninggal kena covid, adek juga engga dianter ngaji. Beberapa hari sebelumnya pun, pas ada tetangga yang lahiran, aku udah kenyeh bilang nggak usah dateng. Sebelumnya lagi, pas ada sanak yang meninggal, aku bilang nggak usah datang dulu. Ibu bilang, nggak ada pilihan. Nggak ada yang datang takziah, nggak ada yang rewang, dan saat itu aku memastikan bahwa ibu ke sana dengan masker dan pulang langsung mandi, bebersih diri. Ibu juga selalu ngingetin aku. Bahkan, ibu bilang mending bayar denda daripada keluar ke kampus cuma buat balikin buku. Tapi, masih aja, aku kepikiran.

Aku tahu, tindakan pertama yang dilakukan kalau bergejala adalah tes. Swab PCR atau apapun itu. Tapi, kami terlalu miskin untuk mengambil langkah itu. Selama ini aku nggak pernah senyesel ini jadi miskin. Saat rumahku jadi satu-satunya rumah reyot, saat aku satu-satunya yang pake motor butut ke sekolah, saat aku cuma bisa diem pas temen-temen jajan, saat aku bisa membatin saat segala privilege orang lain lewat di layar ponsel yang butuh banyak perjuangan buat kudapatkan, aku nggak pernah sesedih ini. Kalau aja kami kaya. Kalau aja bapak masih ada.

Aku sadar, aku lebih banyak cerita tentang bapak. Itu bukan karena aku nggak sayang ibu. Bukan berarti nggak ada cerita dengan ibu. Tapi, susah. Susah dan dalam jika dikulik. Sedari kecil, ibu mandiri. Dia anak nomor dua paling muda. Hanya ibu dan satu-satunya bulekku yang melanjutkan sekolah sampai SMA. Hidup ibu nggak seenak si adik yang umurnya nggak jauh beda. Ibu milih sekolah di SMA Ambulu, Jember. Entah kenapa, tapi itu bikin aku malu. Ibu tiap minggu pulang. Aku, di sini, bahkan nggak tahu bapak sakit sampe meninggal. Pas aku denger kisahnya sekolah di sini, iri banget sumpah. Kukira masa kuliahku yang jauh lebih berwarna dari SMA dan SMP ini sudah mengesankan, tapi kisah ibu lebih mengesankan. Iri sekali.

Ibu yang saat setelah lulus SMA ikut banyak kursus, punya kerjaan berpenghasilan bagus, pas dimintai tolong keluarga buat bayar ini dan itu, tetep mau bantu. Ibu nggak perhitungan. Padahal, hidupnya kelak masih penuh perjuangan. Kayaknya, kesalahan terbesar ibu adalah ketemu bapak. Hahaha, aku tadi udah berhenti nagis loh. Kenapa sekarang jadi mewek lagiiii! Hahahaha...

Ibu. Satu-satunya yang kumiliki sekarang. Ah, bagaimanapun, aku hanya punya ibu. Dan ibu hanya punya aku. Saudara? Kakak? Aku sayang kakakku. Aku yakin, kakakku juga sayang aku. Tapi, kakakku sedang tidak beres. Gila. Entah, deng. Mungkin aku yang gila dan dia yang waras. Kami selalu berdebat. Debat serius yang nggak ada akhir. Tentang kepercayaan dan mati. Kan! Gimana aku nggak ikutan gila? Aku nggak punya temen ngobrol. Temen? Sejauh apa temen bisa bantu masalah kelarga?

Aku kangen bapak. Aku yakin, ibu sangat kangen bapak.

Aku. Aku dalam ilmu jiwa yang kupelajari itu adalah ego. Biasa disebut kramadangsa. Berlapis-lapis dan dipengaruhi banyak hal. Ya lingkungan, ya ke-Tuhan-an. Aku Alit karena kramadangsa bisa diganti nama masing-masing. Nama panggilan, nama asli, terserah. Kramadangsa adalah manusia, orang. Aku manusia jahat. Kata ibu sinis. Kataku ya aku jahat. Kadang baik, tapi aslinya jahat. Kelihatannya nggak mau ngalah dan keras kepala. Padahal, jujur, aku banyak ngalah. Aku nggak bisa banyak mendeskripsikan karena kalau terlalu detail bakal panjang dan kalaupun bisa nulis panjang, nggak akan valid karena ini dari sudut pandang diriku sendiri.

Terakhir mawas diri. Dari diksinya bisa kebaca kan apa maksudnya? Aku nggak mau jelasin karena aku kudu buka buku lagi biar valid--itupun aku nggak yakin bisa nyampein dengan bener. Ah, kayaknya tadi banyak deh yang pengen kusampein. Tapi, sekarang udah nggak ada. Ilang gitu aja, kayak tangisku yang udah reda. Terima kasih buat kawruh begja yang bikin aku lupa hal sedih-sedih yang pengen kutulis tadi. Semoga semua baik-baik saja. Nggak ada kabar buruk dan badan-pikiran sehat selalu. 

Bai bai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar