Sabtu, 23 Oktober 2021

OP

Anyeong! Selamat siang!

Udah lama banget aku ga nulis di sini ya. Bukan karena bikin Medium sih, karena di sana pun aku cuma nulis sekali. Nggak juga garap skripsi karena progres masih 0 dari pas di Jember tempo hari.

Yap, aku masih di rumah. Masih berkegiatan sama dengan sebelum-sebelumnya. Tetap sedih dan menyedihkan. 

Sebenernya, banyak yang ingin kutulis. Beberapa tulisan sebelum ini, ada. Mengendap jadi draft begitu saja. Bulan September kemarin, bulan yang biasanya kusebut bulan jatuh cinta menjadi menyebalkan. Entah, apa sebutannya. Tapi, aku mengalami hal yang sangat menyebalkan.

Tentu saja yang kumaksud bukan di tanggal 15 September. Hari saat keponakanku lahir, yang bertepatan dengan ulang tahun Ibuk. Tepat juga saat aku sudah bersiap berangkat ke Jember. Benar-benar sudah siap. Tinggal menunggu Epen yang sedang bersiap karena sedang kelas. Sudahlah, tak ada gunanya menyesali hal itu. 

Aku ingin bercerita hal lain. Hal yang biasanya tak kutulisakan di sini. Beberapa hari yang lalu, aku berpikir menulis prosa lagi. Kali ini rencananya novel. Base on my story, bukan fantasi. Bukan juga memoar karena aku tak akan berkisah secara detail sesuai fakta seperti sebelumnya. Ya kali harus kembali ke sepuluh tahun silam. 

Nggak ada motivasi tertentu sih. Aku udah lelah memulai tanpa ada akhir. Tak punya karya tuntas selain Beauty and The Beast. Saat itu pun terpaksa dan sekarang, karya itu tertahan dalam kontrak yang tak lagi kuurus. Aku lelah untuk memulai. Tapi, zku nggak boleh gini-gini aja.

Kehilangan naskah catatan perjalanan di Jogja serta draft cerita fantasi baru di laptop Aning, kadang jadi bayangan menakutkan. Bagaimana jika di laptop baru ini juga demikian? Bagaimana jika aku kehilangan lagi?

Selama dengan si merah ini, aku masih sekedar buka tutup skripsi tanpa mengerjakannya. Pernah mencoba menulis sebuah cerita baru yang berakhir buntu. Mencoba melanjutkan memoar yang entah kapan akan kuselesaikan. Aku sempat menulis beberapa paragraf kisah Orakel, tapi terhenti karena kisah baru. Ya, yang kubilang tadi. Prosa tadi. 

Menulis kadang jadi obat. Penguat banyak kesedihan yang tak terkendali. Tapi di lain sisi, menulis juga bisa jadi pemicu. Obat umumnya pahit, begitupun menulis. Katakanlah aku menanggalkan seluruh teknis atau teori menulis, cukup menyampaikan apa yang ingin kucurahkan, tapi rasanya akan sangat-sangat-sangat sakit. Aku sangat sering menangis di depan teks. 

Sebenarnya, prosa yang sedang kutulis sekarang, yang jadi pemicu baru naiknya emosiku barusan, hampir semua tentang Korea. Sejauh yang kutulis dan kurencanakan akan membahas Korea. K-pop, Kdrama, keduanya akan mendominasi. Tapi, rasanya tetap sesak. Sangat. 

Jika memoar yang kubilang sebelumnya kurencanakan tertulis untuk waktu tertentu dan terstruktur, prosa ini tidak. Mengambil bagian-bagian tertentu--yang sakit. Menyakitkan untuk diungkit, namun begitulah harusnya. Sesakit apapun hari ini, aku tak akan pernah lupa sakit-sakit yang telah lalu. Semua orang punya cerita, semua orang punya luka, dan semua orang punya cara masing-masing untuk menikmatinya. 

Serius. Jika punya kesempatan, aku ingin memukul diriku sendiri. Menyiram air, atau mengataiku langsung di depan mata. Menampar dengan kenyataan agar aku sadar--sabar. Yuk, jangan sedih terus yuk. Ini nggak ada gunanya, sampe kapan pun!

Terakhir, aku nulis ini buat diriku sendiri. Nggak terhitung kali baca tulisan sendiri. Entah di blog ini atau di draft tulisan yang lain, selalunya jadi penenang. Tentu saja dengan air mata yang bergelinang. Jadi, misal ada yang baca nih (karena akan ku-share linknya entah kapan, hehe), anggap spam aja. Aku suka berbagi cerita tapi nggak untuk diceritakan kembali.

Udah ye, mau mencoba bangkit dulu wkwk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar