Putra.
Nama itu, adalah nama seorang laki-laki yang amat sangat kusayang kukenal. Laki-laki yang tumbuh bersamaku dan menjadi cinta nomer dua setelah bapak. Yash, my old brother. Tapi aku gak lagi mau bahas dia. Hanya nama sesosok orang yang sama dengan dia, Putra.
Aku punya teman sekolah bernama sama dengan kakakku itu. Putra. Nama panjangnya lebih keren dari sekedar Putra. Tapi, aku tak bisa menuliskannya di sini. Putra, kukenal sejak TK. Dia... aku lupa kesan seperti apa yang kupikirkan tentang dia waktu TK, yang jelas rumah Putra tak jauh dari sekolah TK kami.
Tahun terakhir SMP, aku bertemu Putra lagi. Ya, memang kami berada di SMP yang sama, tapi di kelas 9 itu kali pertama kami satu kelas. Aku sempat mengobrol dengan dia. Tidak sering, tapi lebih sering ke dia daripada teman laki-laki lainnya. Alasannya beragam. Pertama, karena dia duduk di seberang bangkuku. Kedua, karena kami teman TK, jadi aku sok kenal. Ketiga, karena dia sosok unik tapi 'tidak terlihat'.
Maksud alasan ketigaku adalah dia berbeda dan hampir-hampir tak masuk lingkar pertemanan manapun. Dia duduk bersama salah satu teman yang sekarang baru kutahu sebutannya--wibu. Dan yang duduk di bagian belakang bangkunya adalah dua orang teman dengan nama kembar--anggap saja Riko dan Riki, yang tak punya hubungan darah. Kebetulan mereka juga temanku di kelas 7--tahun sebelum aku menghindar berinteraksi dengan sosok laki-laki.
Nah, kondisi Putra yang hampir-hampir tak nampak itu, membuatku bisa berinteraksi dengan dia. Tapi, tentu tak semudah berinteraksi dengan si wibu, Riki atau Riko. Aku tak tahu apa yang dialami Putra, tapi dia sering diam dan menunduk. Bukan, bukan dengan ekspresi sedih, melainkan seperti kebingungan. Tapi, itu terjadi setiap saat.
Ya, saat mukanya datar, aku akan memanggil namanya. "Putra, kata Pak Ini tadi, tugasnya di kumpulin di mana?" Dia akan menjawab gelagapan. Mungkin dia berpikir keras mencari jawaban. Padahal kalo tak tahu, jawab saja tak tahu kan? Atau sebenarnya dia tahu dan lupa.
Kadang jika sedang bosan dan hanya ingin sekedar mengobrol dengannya, dia juga menjawab dengan tergesa. Padahal aku masih dalam tahap melempar topik sebelum mengobrol tentang masa lalu. Sering sapaku tak terbalas. Tapi, aku yakin bukan karena dia tak mau membalas.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Putra. Sebenarnya, aku tak merasa ada yang salah dengannya. Tapi, orang-orang sekitar kami yang menganggap dia 'berbeda' membuat pikiranku berlarian kesana dan kemari. Bertanya-tanya pada diri sendiri, Putra ini kenapa?
Di pelajaran, Putra bukan underground. Tapi dia juga tak sampai bisa berada di atasku. Ouch, sombong. Tidak aktif tapi selalu menyimak saat guru menjelaskan. Aku tak sering memperhatikan dia karena tentu aku lebih memperhatikan guru, tapi serius, jika bukan karena pelajaran atau karena kami sama-sama duduk di depan--yang artinya semua mata tertuju ke kami--aku akan mengingat detail pergerakan dia.
Selentingan yang mengatakan jika Putra aneh, sering kudengar. Mungkin Putra juga mendengar itu jadi dia minder. Tapi, aku tak habis pikir, apa yang membuatnya insecure? Muka? Well, aku tak bisa menilai paras, apalagi kami sudah lama tak bertemu, yang jelas kulitnya putih. Yap, syarat cakep yang jadi pandangan masyarakat pada umumnya.
Materi? Hm, saat aku TK sampai SMP itu, kupikir keluarga dia sederhana. Dia punya rumah yang cukup bagus--yang jauh lebih bagus dari rumahku. Aku tak tahu pekerjaan orang tuanya, yang jelas aku sering melihat ibu Putra lewat di depan rumah menaiki sepeda ontel dengan berbagai bawaan. Ya, kadang tidak membawa apa-apa juga. Tak hanya di depan rumah sih, sering juga aku bertemu beliau di tempat-tempat tertentu.
Pada masa itu, menaiki sepeda ontel adalah hal yang jarang ditemui. Apalagi, untuk orang-orang dewasa. Ibu Putra, konsisten menaiki sepeda mini biru berkarat itu sejak dia TK. Kadang Putra naik sepeda itu juga ke sekolah. Kadang pula, saat-saat dia tak membawa sepeda itu, ibunya menjemput dengan sepeda ontel itu. Entah, sih. Aku ingat ibunya menunggu di perempatan jalan SMP, tapi ingatanku tentang Putra menaiki sepeda itu tak begitu jelas.
Time flies, kami SMA. Kali pertama dan terakhirku melihat dia pasca lulus SMP adalah saat aku akan berangkat sekolah SMA. Saat itu aku ada bimbingan pagi, jadi berangkat lebih awal. Dan holla, aku melihat Putra berangkat sekolah juga. Pakaiannya putih-putih, tak seperti aku yang putih-abu-abu. Entah dengar darimana, sepertinya Putra sekolah di tempat jauh. Akhhh, sial. Aku lupa. Bukan SMA, tapi aku tak yakin jika itu SMK, yang jelas sekolahnya bagus.
Itu kali terakhir aku melihat dia. Jika si ibu, bahkan sampai saat ini masih sering lewat dengan sepeda biru berkaratnya. Sering aku berpapasan kala mengantar dua keponakanku sekolah di sekolahan yang jadi satu dengan TK-ku dulu. Tapi, aku tak pernah melihat sosok Putra. Pun, tak penasaran juga.
Ah, satu hal yang musti kalian tahu, rumah Putra mengalami renovasi. Awalnya rumahnya sendiri dipercantik. Lalu, halaman di sebelahnya dibangun rumah lagi. Katanya untuk kakak perempuannya. Rumah yang luasnya dua kali lipat dari rumah Putra yang sudah besar, dan terdiri dari dua lantai. Pada saat dibangun, rumah itu sepertinya masuk ke 4 besar rumah mewah di daerah kami. Tapi, tetap saja, ibu Putra berkeliaran dengan sepeda ontelnya.
Melenceng dari kisah Putra yang aku tak tahu apa yang terjadi padanya, aku sungguh salut dengan ibunya. Ibuku tentu mengenal ibunya, tapi aku tak penasaran untuk mencari tahu apa yang terjadi pada keluarga mereka. Respect ke si ibu yang konsisten. Hm, ini tidak valid, tapi katanya kakak perempuan Putra kuliah atau kerja di Australia. Jadi, wajar jika bisa bikin rumah besar.
Hahaha, yang awalnya teringat Putra dengan segala keunikannya, malah melebar ke keluarganya. Ingin sih, berkabar dengan teman-teman lama. Tapi, ke mereka yang cara mengontaknya saja aku tahu dan bisa, malas. Apalagi ke Putra yang aku tak tahu sama sekali. Aku tak yakin dia punya sosmed dan tak juga ingin mencari tahu.
Kembali ke Aku dan Satu Nama, Putra. Nama Putra, agaknya telah pasaran. Selain dia, aku baru ingat di SMP punya teman bernama Putra selain dia. Panggilannya PP--singkatan nama lengkapnya. Karena aku yakin tak ada teman SMP-ku yang membaca ini, tapi ada sedikit kemungkinan teman SMA-ku membaca ini jika kubagikan tautannya nanti. Ya, PP ini PP yang tak hanya tenar di SMP, juga di SMA.
Aku lupa apa saja pencapaian PP di SMA, karena dia aktif di berbagai bidang. Osis, Pramuka, berbagai aliran musik dari modern sampai tradisional, dan entah banyak lainnya. Kami beda jurusan dan tentu beda kelas, jadi tak begitu akrab. Tapi, di SMP kami pernah satu kelas.
Dia ketua kelas saat aku kelas 8--tahun termenyebalkan. Dari lima bocah laki-laki di kelas unggulan kami, dia cenderung yang paling menonjol. Tak hanya di pelajaran juga di organisasi SMP yang hampir sama dengan organsisasi SMA yang aku sebutkan tadi. Entah di SMP atau SMA, yang jelas PP pernah menjadi ketua Osis. Halah, sudah deh bahas Osis. Nggak seru karena aku buta hal begitu, hehe.
Hmm, apalagi ya? PP orang yang ramah. Ya, kadang menjengkelkannya dia, terbalut sama guyon. Kali terakhir interaksi, lupa. Aku tak berteman di semua sosmed, tapi beberapa saja. Baru-baru ini di daerah Banyuwangi sedang gencar jaranan ngamen. Pertunjukkan seni jaranan yang biasanya ditanggap untuk hajatan mengamen karena pandemi. Dia salah satu penggeraknya. Hal yang bikin aku salut juga.
Sepertinya, tulisan kali ini nggak bahas borok sama sekali ya? Seperti manusia lainnya, mereka yang kutulis tentu punya cela. Tapi, aku tak tahu dan tak mau tahu. Setidaknya, aku tak terusik saat ini, jadi ya sudahlah, hehe. Ga tau ya maksudku? Gpp deh, hehe
Nama Putra lain di daerah rumahku, ada. Dulu kuhitung-hitung, ada 4 termasuk kakakku dan Putra teman TK. Tapi, aku lupa mereka siapa saja dan sekarang dimana, hehe. Sudah deh, cukup. Nama Putra bagus dan keren. Satu-satunya nama Putra yang menyebalkan adalah Mas Put. Hahaha, udah deh. Bye~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar