Kamis, 30 Desember 2021

Annual Story: December, I Hope I Can Fall In Love With You Again

Mr. Bones, hujan, dan basah.

Semakin dekat tahun berganti, mataku sering basah. Kukira karena tahun ini berjalan lebih tragis karena aku sama sekali tak melakukan kewajibanku sebagai mahasiswa. Namun setelah kuingat, ya memang tahun baruku selalu basah. Entah hujan atau air mata. 

Mr. Bones film komedi. Kami menontonnya karena saluran lain hanya menampilkan konser-konser pergantian tahun. Beberapa berita terkini yang juga membahasas pergantian tahun. Aku lupa tahun berapa, seingatku aku sudah cukup paham untuk tak merengek mengajak bapak keluar. Hanya menikmati malam di depan layar kaca. Dengan lampu yang sudah padam dan remang cahaya televisi, bapak dan ibu rebahan di kasur depan TV. Aku bolak-balik dari kamar ke ruang tengah. Ikut menonton film yang aku sudah hapal alurnya itu. Kalau sedang iklan, kembali ke kamar. Menulis di kertas putih bergaris. Berceloteh tentang setahun terakhir. 

Adegan seperti itu, tak hanya berjalan sekali. Tahun berikutnya berulang. Kami menonton Mr. Bones lagi. Saat itu, sepertinya juga sedang tayang The Gods Must Be Crazy. Film yang bisa membuat bapak terbahak-bahak. Kakakku tidak pernah ada di rumah pada malam tahun baru. Aku lupa apakah saat itu dia sudah menikah dan meninggalkan rumah, atau hanya keluar nongkrong dengan teman-temannya. Malam tahun baru memang seringnya hanya kami bertiga. 

Hujan di luar rumah harusnya tak mengganggu. Setidaknya, karena tak ada petir karena bapak pasti langsung mematikan TV jika demikian. Namun, bocor di sana sini membuat kamarku yang bahkan di bagian atasnya dilindungi plastik lebar turut basah. Bukan, plastiknya tidak bocor. Aku menangis. Selalu menangis. Tetes air mata yang jatuh ke buku tebal berisi banyak tulisan, tak pernah terberkas. Aku memberi jarak pada tangis agar saat Mr. Bones terputar kembali mataku tak sembab. Menaruh handuk di kamar agar mukaku bisa kering seketika. 

Kami kembali tertawa. Di daerah timur Indonesia, sudah berganti tahun. Begitu pun sebagian negara lain. Mataku mengantuk, tapi rasanya hal ini sakral untuk dilewatkan. Kami mengobrol. Tentang hal-hal yang telah berlalu, dan tahun baru yang identik dengan hujan. Perihal bencana adalah hal tabu yang jadi obrolan tersirat. 

Di kota tempat tinggalku ada tempat wisata bernama AIL (Alam Indah Lestari). Sebuah resort? Waterpark? Hotel? Taman? Aku dulu tak paham dan sekarang sudah hampir lupa dengan nama itu. Saat masih bekerja penuh menjadi sopir elf di KUD dekat rumah, bapak dapat ajakan menghadiri acara pembukaan tempat wisata itu. Ya, meski bapak berperan jadi sopir rombongan dari KUD. Aku diajak, sedangkan ibuk tak mau. Kakak sibuk dengan acaranya sendiri. 

Biasanya acara-acara besar korporasi bakal mewah. Dan menurut obrolan yang kudengar di dalam elf, acara itu bakal mewah. Apalagi ini acara pembukaan tempat wisata yang kelak cukup terkenal. Namun, rasanya seperti mimpi buruk. Perjalanan ke tempat itu sangat buruk. Hujan lebat dan petir yang tak ada habisnya menemani. Jalan raya macet, sedangkan jalan kecil hampir tak bisa di lewati. Pohon tumbang di banyak tempat. Ibuk menelpon dari rumah untuk mengingatkan kami agar berhati-hati. Aku menjawab telepon dari hape nokia berwarna milik bapak. Menenangkan ibuk dengan panik. Bodoh. 

Sepanjang perjalanan, tak ada cahaya karena lampu padam. Pun, AIL. Ya meski tidak gelap total, tapi harusnya bisa lebih terang. Sebagian besar acara dibatalkan. Tak ada penampilan artis kabupaten yang hadir, seingatku. Makanan-makanan menjadi dingin. Minuman tak lagi segar. Dan aku hanya bisa ingat detail tempat itu dari cerita. Aku lupa. Aku lupa bagaimana wujud tempat itu karena selain gelap, aku masih sangat kecil. Namun, fakta jika aku pernah ada di sana dan menjadi saksi peliknya malam tahun baru kala itu, nyata. Malam tahun baru termengerikan yang pernah kulewati. Pergantian tahun baru satu-satunya yang kulewati di luar rumah. Bersama bapak.

Kisah yang selalu lucu adalah saat bapak akan menggigit sate, tiba-tiba lampu menyala. Entah bagian mana yang lucu, tapi saat mengobrol tentang kejadian itu, kisah bapak dan sate selalu muncul. Aku sepertinya juga menceritakan kisah ini di buku harian, saat aku menangis di kamar itu. Sayangnya, aku telah menulis banyak hal yang aku sendiri lupa di buku yang mana aku menuliskannya. Mencoba mencari satu per satu adalah hal mengerikan karena ingatanku akan sedikit sakit dan senang sekaligus. Ya, senang dalam kenangan. Karena banyak orang-orang yang ada dalam buku-buku itu sudah tak ada lagi. Sialan. 

Akhirnya aku menangis. Lagi. Meski sampai sekarang masih ada bocor di rumah maupun di kos, untungnya laptopku tak pernah sedikit pun tertetes air hujan. Alih-alih, aku sering panik saat air mataku tak tahu diri dan jatuh tanpa izin. Sial. Kenapa aku selalu takhluk pada tulisan? Kenapa aku selalu larut pada kenangan? Kenapa aku selalu menyedihkan?

Aku tak mau jauh-jauh mengingat bagaimana kesal ataupun sial yang menumpuk di pikiran, utamanya untuk Desember. Tapi, aku sangat berharap jika Desember tak lagi membuatku sedih, sakit. Tahun ini cukup berat. Aku dan kuliahku. Aku dan teman-temanku. Aku dan keluargaku. Aku dan diriku. Aku dan mimpiku. Berat. Semuanya sangat berat. Tak perlu kehilangan lagi, ini sudah sangat menyakitkan. Hal-hal yang bahkan tak mampu kuceritakan ke siapapun, bahkan lewat tulisan. Aku sadar itu akan jadi bom suatu saat. Tapi, aku belum siap untuk menerima sakit akibat mengingat. Tahun ini, itu terjadi tahun ini. Sial! Aku hampir lupa, dan sekarang teringat lagi. Sialan!

Ketakutan dan rasa bersalah. Aku berharap Desember tak lagi menyakitkan, meski itu sepertinya sulit. Setidaknya, aku mencoba untuk kembali menyukai bulan ini. Saat-saat dimana film apik ditayangkan. Home Alone, film legendaris yang tak pernah ketinggalan kutonton. Ya, meski waktu itu aku nonton sendiri, tapi rumahku tak pernah sepi. Sedangkan sekarang, aku di kos sendiri. Ibuk pun di rumah sendiri. Sendirian. 

Meh! Aku menulis ini pada pagi hari di tanggal terakhir bulan ini. Tidak memilih malam bukannya untuk meminimalisir aliran tangis. Aku ada acara. Hahahaha, bukan perayaan tahun baru tentunya. Sebuah kewajiban--kewajiban?--yang tak kusadari aku masih ada di titik itu saja. Aku dengan segala ketidakmampuanku masih meletakkan diriku di pusaran itu. Merasa tak berguna dan bodoh, namun sangat mencintainya. Ya, namanya cinta kadang benci. Aku benci, kadang. Tapi, entahlah. Selalu membingungkan. 

Intinya, aku bodoh. Aku bodoh dengan sok bertanggungjawab dengan mananggalkan kewajiban sebagai mahasiswa. Ya, meski itu bukan sepenuhnya terjadi karena keinginanku, aku tetap melanjutkan pilihan pilu itu. Menyedihkan dan selalu bodoh. Padahal aku tak dapat apa-apa selain kesal. Sok, bertanggungjawab padahal tak ada yang peduli selain diriku sendiri. Kamu harusnya menyerah. Kamu menyia-nyiakan waktumu, setahun ini. 

Gila kan? Aku mulai berbicara pada diri sendiri. Tolol. Sudah. Cukup aku berdepat dengan diriku tentang cerita baru. Fiksi-fiksi yang kuperjuangkan selama ini. Sudah ya. Memang sesal ada di akhir. Jadi, jangan pernah bilang nggak akan menyesal kala akan melakukan suatu hal, karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Dari banyak kemungkinan, ada lebih banyak ketidakmungkinan yang bisa jadi kemungkinan itu dan pyung... terjadi. Tentang sesal atau kelegaan yang terjadi setelahnya, kita tak pernah tahu. 

Ah, 2021. Aku memang benci, tapi aku juga pernah cinta pada Desember. Ah, iyaya. Sudah lama aku tak merasakan ada gejolak di dada. Lama sekali tak merasa ada kupu-kupu di perut. Aku tak berharap banyak tentang cinta yang itu karena aku ingin jatuh cinta pada diriku sendiri. Setidaknya, aku tidak hanya mengasihani diriku tapi juga mencintainya. Cinta yang benar-benar cinta. Memulai dan masih terus belajar. Seperti kata teman yang kutemui tempo hari, peluk kupu-kupu. Aku ada untuk diriku. Aku harus ada untuk diriku. Kramadangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar