Beberapa teman yang bukan pedestrian dan kebetulan sempat menemaniku berjalan kebanyakan mengatakan hal yang sama.
"Enak ya jalan kaki." Atau, "Uh, pengen deh jalan kaki." Ya silakan teman-teman. Nggak ada yang melarang, pun nggak ada yang memaksa kalian buat begitu.
Sebagai pedestrian yang menggunakan kaki sebagai transportasi utama saat di perantauan ini, aku mengiyakan segala rasionalisasi yang mereka sampaikan. Benar, nggak macet. Benar, nggak bingung parkir. Benar, bisa memaksimalkan fungsi mata buat melihat hal-hal asing. Tapi, itu berlaku cuma ketika tujuan kalian jalan bukan ke suatu tempat atau hal tertentu.
Selama ini, aku memikirkan itu semua. Privilege-privilege kecil yang sebenarnya hanya elakan dari fakta jika aku tidak berdaya. Aku tak punya pilihan sehingga mencari validasi atas pikiran positif yang tentu tak luput dari bayang-bayang pikiran negatif. Pikiranku bekerja terlalu keras hingga hatiku kosong. Terabaikan oleh paham yang kian hari kian melebar dan melupakan tujuan awal.
Aku lelah menghadapi segala hal yang tak ada habisnya ini. Lelah tercebur urusan orang lain. Lelah peduli dengan orang lain. Lelah terlibat pada hal-hal yang hanya berakhir omong kosong. Aku mengakui diriku memang patut disuka. Membuat orang lain nyaman bercerita. Pun, aku yang melempar cerita. Aku suka. Namun, sampai kapan aku berkutat pada hal-hal ini? Aku lelah.
Lima tahun sudah aku ada di tempat asing. Sering aku kesepian, namun lebih sering aku ingin sepi. Aku rindu bertukar pikiran dengan diriku sendiri. Rindu mengomentari mimpi yang terjadi di tiap malam. Rindu mencari jalan keluar untuk masalah yang ditimbulkan seseorang di pikiranku. Rindu mengorganisir data pribadi yang bisa jadi referensi suatu saat nanti. Suatu saat nanti itu kapan?
Kurasa, aku terlalu peduli, meski bersikap tidak demikian. Kurasa, sulit bagiku untuk mementingkan diriku sendiri. Ribuan kali aku berniat egois dengan tak larut selain pada diriku sendiri. Tak terhitung kali aku menyesali pilihanku yang berakhir tidak untuk diriku. Selalu mendapati pilihan tanpa bisa memilih. Setiap saat aku meratapi waktu-waktuku yang hilang tanpa diriku bersamanya. Entah apa sebutannya, meski kesal dan penuh sesal, kurasa aku tetap pada pilihan yang sama jika dihadapkan pada pilihan-pilihan itu. Aku, si paling tak suka diganggu, menyayangi teman-temanku melebihi diriku sendiri. Bodoh. Kami orang-orang terluka yang sama-sama bodoh.
Menjelang maghrib suasana hatiku turut meredup. Pasangan suami istri depan kosan yang biasanya menggelar lapak Jumat berkah, sepertinya baru membongkar dagangannya. Aku baru tahu kalau mereka juga jualan rujak dan asinan dari papan tulisan yang mereka bawa. Seorang bapak-bapak di rumah sampingnya berusaha mengeluarkan motor. Gerbang rumahnya tak sesempit gerbang rumah kosku, namun sepertinya tidak mudah. Ah, semua orang punya kesulitannya masing-masing. Semua orang punya tujuannya masing-masing. Bahkan bapak-bapak pemotor yang baru masuk gang itu, pasti punya masalah. Mas-mas gojek di warung kopi sudut gang, dan seluruh orang yang berlalu lalang di jalan raya, pasti juga punya masalah.
Saat berjalan, tak biasanya aku mengmati sekeliling. Selain karena bukan tujuan, rasanya tak etis menatap manusia lain atau tempat-tempat asing milik orang lain. Aku bahkan hampir tak pernah benar mengamati ruang tamu bukos karena merasa tidak etis. Tapi, sepertinya kali ini aku melanggar prinsip itu. Sedikit.
Mbak-mbak penjual Teh Poci yang duduk di atas trotoar depan gerai aksesoris ponsel terlihat lesu. Biasanya nggak ceria juga sih. Atau mungkin pikiranku saja yang keruh sehingga berpikir begitu? Tukang parkir paruh baya di depan Roti O sudah pulang. Orang-orang di gerai ponsel, kosmetik, dan warung-warung makan sibuk dengan urusannya. Aku melempar pandang lebih jauh. Tak ada tanda-tanda bakul keripik di depan Bursa Mahasiswa. Apa mungkin karena masih menjelang Maghrib?
Aku terus berjalan.Tak habis kesalku pada fasilitas publik yang macam tai. Syukurnya, lubang dalam sebelum bakul keripik alias seberang Jawa Tresna, sudah ditambal. Setidaknya tak membuatku was-was jatuh ke lubang menyeramkan. Setidaknya, tak menambah skenario buruk tentang kesialan yang selalu menghantuiku. Aku terus berjalan. Satu-satunya makhluk yang terlihat santai di depan mataku hanya kucing liar di atas trotoar bekas lubang tadi. Awalnya, kukira dia tidak punya mata. Sampai dua tiga meter lebih melewatinya, pandanganku tak lepas dari kucing itu. Dia tidur. Ya Tuhan, andai aku kucing.
Leherku sakit dan akan terlihat aneh jika aku tak melepaskan pandang dari kucing itu. Apalagi trotoar akan melewati area pujas yang membuatku harus turun ke bahu jalan yang itupun dipakai untuk parkir. Dan hey, aku baru menyadari jika mobil-mobil yang kulewati hampir kesemuanya berwarna putih. Di depan toko aksesoris dan sparepart ponsel--setelah Bursa Mahasiswa--dua mobil Innova putih dengan P berjajar rapi di halaman toko. Aku bahkan ingat jika plat kedua mobil itu berawalan angka 13-- dan 19-- yang seperti tahun. Tumben. Dua mobil putih lain di depan gym. Mobil Jazz di bahu jalan, dan Yaris di halaman gym. Ya Tuhan, tumben sekali aku ingat dan membaca tipe mobil itu. Dan hey, mobil di bahu jalan depan bursa tadi juga putih, Dan oh, mobil yang lewat juga putih. Hmm menarik.
Hatiku sedikit hangat. Manusia, manusia, dan manusia. Parkir pujas ramai seperti biasanya. Dengan sabar aku menunggu mbak-mbak yang akan masuk dan keluar di depanku. Ada beberapa dan ngawur. Tapi, ya sudahlah. Mas-mas gojek di depan stand kebab (yang ada di trotoar) tidak begitu banyak. Tapi, motor-motor mereka di bahu jalan membuat aku was-was tertabrak motor dan mobil yang semakin padat. Aku tak ingin berakhir di UGD meski mungkin ada sosok macam Kim Sabu yang mengobati. Aku tak mau. Tiba-tiba saja aku kesal pada motor dan mobil yang membuat aku was-was. Tapi setelah kupikir lagi, harusnya aku kesal ke motor-motor yang parkir di bahu jalan. Eh, kesal ke warung dan stan-stan makanan di trotoar juga ga sih? Atau pemerintah?
Aku berdoa semoga baik-baik saja dan melanjutkan perjalanan melewati trotoar depan KPPN yang sangat-sangat ramai ojol. Dalam hati aku bersyukur karena memutuskan mencari makan saat matahati masih sedikit memancarkan cahayanya. Kalau malam aku tak akan bisa jalan selambat ini. Setelah kantor KPPN yang memiliki ATM BRI, aku bisa naik ke trotoar. Tak ada penghalang sampai nanti di depan kantor cabang partai atau apa ya? Lupa. Masih terhitung sore. Pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sana belum ada. Namun, beberapa langkah kemudian aku harus turun. Pedagang molen mini dan ayam goreng sudah menggelar lapak. Rombong mereka masih kosong, tapi wajan sudah penuh. Aku yakin saat kembali lewat sini nanti, jualan mereka ada yang sudah matang.
Aku kembali berjalan. Pedagang mie lidi di sebelahnya lagi tidak banyak seperti biasa. Pernah ketika aku lewat sana dengan salah satu temanku, ada oknum yang melempar cat calling. Menjijikkan. Aku berjalan. Melewati salah satu gerbang gedung Sutarjo yang sangat fenomenal itu. Melewati pedagang tisu yang baru kutahu jika jualan barang receh seperti itu juga didata dan punya atasan. Ada mas-mas berpakaian agak rapi yang mengecek barang satu-satu dengan membawa map berisi kolom-kolom entah apa. Sedang mas-mas satunya di belakang tempat ia biasa berjualan. Bakaran Sutarjo sudah kelihatan. Untung kali ini tidak tutup. Tapi, sepertinya akan sangat ramai. Seperti biasa.
Semakin dekat dengan tujuan, aku menyadari ada mas-mas berpakaian nyentrik serba putih--yang ada sedikit campuran merah--dengan celana pendek selutut berjalan searah denganku di seberang jalan. Tadi, entah di titik mana, sepertinya dia masih jauh di belakang. Mas-mas berbadan gempal itu berjalan cepat--eh, aku saja yang lambat. Karena tak ada lagi yang bisa kuperhatikan selain gedung Sutarjo yang tiba-tiba menyebalkan, mataku mengikuti langkah mas-mas itu. Dia berhenti di tempat yang tak kuduga, namun kusuka. Cilok. Andai tak menyeberang, aku bakal sering jajan ke sana.
Akhirnya aku mengantri. Jauh dan banyak. Di belakang mas-mas berbadan besar. Saat-saat seperti itu, harusnya aku bisa mencuri tempat karena badanku lebih kecil. Namun, aku memilih untuk tidak. Menunggu dan mengamati orang-orang yang bergerak. Namun, gerak itu hanya di jalan dan tempat-tempat lain selain orang-orang dalam tenda. Mas-mas di depanku tak ada yang gerak, padahal di dalam ada sedikit ruang. Pada tahap ini aku berpikir. Inikah privelege-ku sebagai perempuan? Bisa mencari celah tanpa takut dituduh melakukan pelecehan jika tak sengaja besinggungan dengan orang lain.
Satu dua langkah membawaku pada baris kedua. Mas-mas di depanku ada jauh di belakang. Tanganku yang sedari tadi di kantung jaket dan akan kukeluarkan untuk mengecek uang, tak sengaja menyentuh mbak-mbak di depanku. Nah ini, kalau aku tadi cowo mungkin ekspresi mbaknya bakal lebih garang. Sepersekian detik kemudian, pikiran lain muncul. Lupakan gender, sebagai manusia, kalau aku nanti dituduh mencuri bagaimana? Mengingat tasnya tepat di depanku dan penampilan gembelku. Ah, mana mbaknya lama lagi pesennya. Nggak profesional banget.
Sampai mas-mas di depanku tadi--dan mas-mas lain yang kulihat baru turun dari motor saat aku mengnatri--telah mendapatkan makanannya aku belum. Suaraku yang sebenarnya nggak lemah gemulai ini tetap kalah dengan para laki-laki itu. Pun masker yang sekarang beralih fungsi jadi pelindung muka buruk rupa menghalangi. Sial. Privilege jadi perempuan cuma sesaat doang.
Tumis ati, tumis labu siam, dan dua tusuk tahu pentol kudapat dengan membayang Rp.6000,00 saja. Iya, murah. Aku pun sudah yakin dan percaya dengan rasanya. Jadi, kesabaran ini setimpal dengan harga dan rasa yang kudapat. Adzan Maghrib berkumandang saat aku mengantri. Dan sekarang aku harus berjalan cepat jika tak ingin kehabisan waktu solat karena belum mandi sore juga. Namun, pikiranku masih berkecamuk. Aku lelah. Namun, baliho toko kaos polos sedikit menghiburku. Aku tak ingat kapan terakhir membaca baliho dan memaknai artinya. Biasanya sekedar baca. Sekedar.
Aku meneruskan langkah. Dugaanku benar. Rombong ayam goreng dan molen sudah terisi. Aku membeli molen isi pisang Rp. 3000,00 untuk teman menikmati kesendirian nanti malam. Bakul kripik tak bisa di-jagakne. Berjalan dan terus berjalan. Kantor bea cukai di sebelah KPPN selalu mengingatkanku pada dua temanku yang sudah bekerja di sana. Bukan kantor itu, tapi kantor-kantor di kota lain. Menyebalkan. Kami dulu sama, sekarang... ah. Memuakkan. Dan oh, para gojek tak lagi menjamur--meski masih ada banyak motor di depan kebab tadi.
Berjalan dan berjalan lagi. Aku berpapasan dengan ibuk-ibuk berjilbab besar. Ah, ibuk-ibuk yang bisa disebut nenek dengan punuk besar sekali di kepalanya. Aku ingat bertemu dia di warung soto depan PKM. Waktu itu beliau melemparkan permisi padaku dan teman-teman yang duduk lesehan. Entah apa yang dibicarakannya terhadap akul lampu lentera sebelumnya. Namun, setelah mereka mengobrol dan si ibuk memesan ayam goreng paha ke penjual soto, bapak-bapak penjual lampu lentera pergi. Si ibuk berpunuk besar tadi duduk di kursi plastik depan kami. Masih melempar permisi dan berkata jika memesan ayam goreng bagian paha. Kami mengiyakan. Aku ganti melempar tanya asal si ibu. Beliau menjawab dari sana, menyebutkan nama toko yang aku tak tahu. Tapi, sepertinya jauh. Aku tak mencoba memperpanjang obrolan karena beliau seperti terburu. Berbanyak kali si ibu meminta pesanannya. Tumben sekali aku mengingat kejadian itu? Bagaimana bisa?
Di pertemuan kedua itu, aku tak sempat menyapanya. Sudah terlewat saat aku menyadari itu beliau. Pun, maghrib. Aku berjalan lebih cepat. Cepat, cepat, cepat. Menatap jauh ke depan ke ruko yang salah satunya terpampang logo pakaian bermerk. Satu tahun setengah tinggal di lingkungan ini, aku baru sadar ada patung di atas ruko tengah beberapa waktu belakangan saat berjalan bersama seorang teman. Memang aku kurang menikmati keseruan dunia luar. Bagaimana aku bisa jadi penulis jika menutup mata pada hal-hal sosial. Hal-hal nyata yang benar ada, bukan cuma mimpi.
Memang, melakukan tak semudah mengatakan. Aku. Misalpun memang berjalan untuk menikmati perjalanan, tak akan bisa kulakukan jika aku tak sendiri. Aku akan terus menimpali setiap omong kosong dengan omong kosong. Tak akan habis topik di kepala ini. Pun, misal pun habis, sepanjang jalan, sepanjang mata memandang, aku bisa menjadikannya obrolan. Setidaknya, aku bisa menjadikannya jokes receh pemecah hening.
Kucing yang tadi tidur di trotoar kusadari keberadaanya yang berjalan masuk ke toko pakaian adat. Meski demikian aku yakin dia kucing liar. Mbak-mbak teh poci tak terlihat di tempatnya. Alih-alih aku mendapati pemandangan yang jarang terjadi. Seorang mbak-mbak makan mie bebek sendirian. Ia memilih meja terdepan yang menghadap jalan. Ah, aku jadi ingat pernah melihat banyak mas-mas makan di tempat umum bertemankan Youtube. Menurutku, mbak ini jauh lebih keren.
Gang kosanku sudah terlhat. Pun bundaran DPR juga terlihat lenggang. Bundaran yang menyimpan banyak cerita. Bukan, aku tak begitu mengabadikan momen aksi di sana. Ingatan yang terkunci di kepala adalah saat pertama kali naik Lin D dan ngetem di dekat tukang tambal ban saat tes SBM, serta teriakan-teriakan bodoh di atas sana. Ya, sekitar jam yang sama. Senja-senja tai kucing. Difrosir untuk melakukan hal bodoh yang benar-benar tak berguna. Berteriak seperti orang gila. Bernyanyi seakan besok kami tak punya suara. Berjoget macam manusia tak tahu agama. Maghrib goblok! Aku tak alim, tapi aku tak akan menggiring teman-temanku untuk sesat. Ingatan menyakitkan. Semenyakitkan gedung Sutarjo.
Dua tukang gojek di warung pojokan, sempat-sempatnya melempar obrolan menganggu telinga. Aku yakin jika aku tak fokus pada bundaran DPR dan sedikit saja menoleh ke arah mereka, obrolan menyebalkan itu bisa lebih frontal. Rumah kosku sudah terlihat. Televisi kecil di atas pintu bagian dalam menyala. Sepertinya masih ada orang di sana. Sandal Pak Kos terlihat. Ah, beliau belum naik atau sudah turun? Mau beli koyok sih. Punggungku manja. Setelah nyuci langsung sakit. Tapi, nanti saja ah. Saat ada Bu Kos saja, lebih sat set.
Aku menaiki lantai dengan lemah. Tak ada tanda-tanda suara Mas Kos yang sedang solat di ruang tengah. Jadi, aku tak perlu mengatur suara supaya tidak menganggu--meski demikian juga aku nggak mengeluarkan suara. Setelah melepas jaket dan atribut nyari makan lainnya, aku langsung ke kamar mandi menyalakan air. Tumben, tidak macet. Sambil menunggu, aku mengecek chatku ke ibuk yang kukirim sebelumnya. Bocil menjawab, ibuk sedang solat sedangkan dia sudah, dengan vn. Vn kedua, dia menuduhku bermain hape mentang-mentang ia membaca chatku saat maghrib. Padahal chat itu sudah lama.
Aku mandi dan melakukan ritual biasa. Masih murung dan ragu. Setelah memastikan ibuk baik-baik saja di sana harusnya aku bisa leluasa menonaktifkan wasap. Namun, tetap saja was-was. Nanti kalo si A chat, nanti kalo si B chat, nanti kalo C butuh sesuatu, nanti kalo D mau nanya sesuatu, nanti kalo E perlu, nanti... ah aku menanggalkan pikiran itu. Melanjutkan nonton drama sambil menunggu nasiku dingin. Setengah jam kemudian, aku merubah posisi dari rebahan di kasur ke meja kecil dekat karpet. Lauk pauk dari Sutarjo belum pernah mengecewakan--eh, pernah tapi karena besoknya sakit aja sih. Berniat melanjutkan separuh episode lanjutan sambil makan. Namun, sial. Kenapa selalu pas adegan bedah-bedah perut? Beberapa hari ini aku makan ditemani gamabr mengerikan. Akhirnya kuputuskan menonton Stand Up yang sudah beberapa hari ini kulewatkan.
Belum selesai seorang komedian kawakan bercerocos, aku selesai makan. Perutku kenyang karena sampai nambah nasi saking banyaknya lauk. Mau digado pun bumbunya kerasa banget. Kudu pake nasi. Haha. Baru saja piring kusisihkan dari depan mataku, ponsel berdering. Padahal aku sudah off. Aku mengangkat panggilan biasa itu dan telah menduga apa yang ingin dia sampaikan. Sudah kuduga begini. Padahal tadi sore aku sudah bertanya apa dia akan kemari dan jawabannya besok. Kenapa... kenapa sekarang? Aku ingin sendirian. Aku ingin bertemu diriku. Aku ingin mengatakan banyak hal padanya. Di waktu yang baik, di laku yang tak menyakitkan begini.
Katakanlah sekarang aku aleman. Katakanlah aku memanjakan diri dengan memberi toleransi berlebih pada tiap tindakan keliruku. Misal mengerjakan skripsi alih-alih begadang berjam-jam untuk menulis narasi tak penting begini. Namun, ini semua terjadi karena aku ingin lepas dari beban itu. Pikiran-pikiran yang berkecamuk tentang ini dan itu. Mataku terbuka dari subuh hingga akan subuh. Namun, aku tetap saja jadi orang yang kurang. Kasihan diri ini. Kasihan kisah ini.
Jadi, aku mau memberi judul tulisan ini apa? AH... WALKING WITH ALIT? WALKING WITH ME? Aku ingat pernah berceletuk, "Kalo di Youtube ada konten #NEBENGBOY atau talk show yang muter-muter pake mobil, aku mau bikin acara sendiri aja. Walking with Alit. Walking with me. Kita bisa bikin obrolan bagus sepanjang jalan yang jelek ini."