18.49
17 hari di kos, tak ada progres yang signifikan. Hanya menonton beberapa video referensi dan niatan mengganti outline. Bahkan, aku belum memutuskan apa saja yang akan kumuat di outline terbaru nanti. Aku sudah sangat mentolerir diri ini yang manja prihal mengerjakan skripsi. Benar, alasan utama di Jember ya agar bisa konsentrasi mengerjakan skripsi. Dan aku belum sama sekali.
Jangankan mengerjakan skripsi yang butuh berpikir, mengerjakan pekerjaan otot seperti mencuci dan berberes lainnya, tak bisa kukerjakan secara maksimal jika ada teman di kosan. Tidak, ini bukan pembelaan. Aku memang begini. Aku rasa kerjaku bisa optimal jika sendiri, apapun itu. Dulu saja, aku hanya bisa membersihkan kamarku jika bapak sedang di luar kota. Jadi, beliau tak pernah tahu kerja kerasku selain mengomel.
Selama di Jember, aku hanya dua hari memiliki waktu seorang diri. Sepuluh hari pertama bersama seorang teman. Jeda satu hari, seorang teman menginap. Keesokan harinya lagi, ada lagi. Tak apa, aku senang. Malam-malamku hanya tangis tanpa mereka. Baru hari ini aku punya waktu sendiri lagi. Namun begitu, tak ada progres. Tidur seusai sarapan, dan menamatkan timeline twitter sepanjang siang. Sorenya, menikmati wajah tampan idola-idolaku dalam MV. Benar-benar tak berguna. Bahkan, sekedar menulis blog saja, aku menunda. Next time, ya. Begitu.
Sampai akhirnya aku menulis. Ya sekarang ini. Berusaha menulis semaksimal mungkin dengan waktu yang terbatas. Aku akan keluar dengan teman. Tidak ada hal penting. Aku rasa, aku perlu menghirup udara luar lagi dari balik maskerku. Selama di Jember, hampir-hampir aku tak pernah keluar. Hanya menonton pameran yang itupun diajak teman, menghadiri sidang, dan sekali ke kampus--diajak teman juga. Entahlah, aku sudah berusaha untuk menahan diri. Tapi, memang ya, aku manja. Istilah lebih cocoknya aleman.
Ya, bagaimana pun definisi aslinya, aleman lebih cocok. Menyebalkan ya? Iya. Aku juga kesal dengan diriku yang begitu. Sedang aku sendiri, tak tahu bagaimana cara untuk berhenti mentoleransi diriku yang begitu. Kalian tahu? Bahkan ibuk yang selama ini tak pernah menekanku prihal skripsi, dengan jelas memintaku untuk segera menyelesaikannya. Hahaha, ini sungguh tidak biasa. Buk, anakmu ini aneh.
Cukup, tentang skripsi. Tak akan ada habisnya jika dibahas sekarang. Dialog tentang itu, ingin sekali kusampaikan secara langsung. Tapi, tak ada tempat yang tepat. Aku sendiri. Secara akademik, fisikal, psikologis, dan batin, aku sendiri. Batinku yang harusnya bisa diajak diskusi saja, malah kebelinger topik lain. Pengaruh lingkungan memang kuat, apalagi karena tekadku sebatas taruhan dengan diri. Jadi ya tertabrak dan tersingkir. Lemah.
Mudah terpengaruh dan pasrah. Harusnya aku tak begitu. Namun, akhir-akhir ini ya begitu. Jelek sekali. Buruk sekali. Menyedihkan. Tentang segala ketetapan yang kubuat, sedikit demi sedikit kulanggar. Tidak dengan sengaja, namun sadar. Aku tak bisa menahannya karena itu terjadi begitu saja. Di sisi lain, ragaku tetap berdiri tegak di lingkar yang kubuat. Hatiku terpendam di bawah tanah yang terinjak. Alih-alih, pikiranku kabur. Pergi ke tempat-tempat yang tak seharusnya--menurut logika. Lantas, yang terpendam itu merasa menang. Padahal, itu hanyalah awal sebuah pesakitan.
Ah... tak ada cerita bagus yang kubuat. Hanya ide kisah fantasi yang berhenti di dua lembar awal dengan outline tak jelas, serta alur yang belum matang. Tapi karena kisah awalnya kudapat dari mimpi, aku senantiasa bersabar menunggu mimpi-mipi lain merangkainya. Tidur pagiku tadi salah satu contohnya. Mimpi manis yang menjijikkan itu bisa menutup lubang yang kubuat sebelumnya. Seperti melanjutkan kisah yang kutaktahu mau dibawa kemana. Yap, benar-benar cocok dengan karakterku yang suka tidur saat-saat menyedihkan begini. Setidaknya, masih ada harap jika mimpi selanjutnya bisa lebih menyenagkan dan menghasilkan.
19.17
Sudah lewat target waktu menulis, tapi tak apa. Oh ya, tentang mimpi pagi yang manis sekaligus menjijikkan itu, ah sudahlah. Tidak jadi. Mimpi itu, biar jadi mimpi. Mimpi yang nantinya kugubah menjadi kisah fiksi. Seperti halnya aturan sebuah prosa, yang sekian persen nyata dan sekian persen mimpi, aku juga memberi takaran kisah-kisahku. Sekian persen mimpi, sekian persen fiksi. Alias tidak nyata. Jadi, kalau-kalau menemui kisah yang kubuat mirip dengan kisah hidupku, berarti aku hidup di mimpi.
Ah, rindu Orakel. Alasanku ingin mengerjakan skripsi juga karena ingin fokus menulis fiksi. Menyelesaikan buanyakkk tulisan yang kubuat. Banyak sekali. Aku tak ingin mereka berakhir sia atau terpaksa karena otakku tak fokus. Pun, aku lelah dan rindu mereka. Mungkin itu penyebabnya justru muncul titik-titik kisah baru lewat mimpi. Sayang tak ditulis. Ah.... entah. Aku lelah. Aku lemah. Aku lengah. Aku menyerah. Aku... goyah. Aku yang selalu rindu sosok ayah.
Menangis.
19.27
Temanku off.
Bahas apa lagi ya?
19. 30
Temanku masih off.
Hmm...
Apa lagi ya?
Ah, udah deh.
19.36
Menyebalkan. Mengkhawatirkan.
19.44
Dia yang tetap off dan aku yang mengantuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar