Pernahkan sakit sampai merasa akan mati?
Beberapa hari ini, kepalaku sering pusing. Awalnya hari Sabtu kemarin. Ibu ke luar kota bersama keponakan yang biasanya tidur di rumah, serta beberapa kerabat dekat lain. Aku di rumah sendiri. Harusnya tidak apa-apa. Dulu, dulu sekali saat rumah kami masih terasa menyenangkan, aku sering bermalam di rumah sendirian--sepertinya. Dulu, saat usiaku belasan dan atmosfer lingkungan yang harusnya sedikit lebih mengerikan.
Tidak ingin begadang karena hari Minggu-nya berencana ke Jember, aku tidur lebih awal. Sekitar jam setengah sepuluh, setelah kenyang makan, ngemil, menonton drama, dan bercuit di media sosial. Mas juga datang sebentar. Ada perlu dengan Lek di sebelah rumah. Tapi, karena tahu aku sendiri, ia menawariku ikut ke rumahnya. Aku enggan, selain karena sangat jauh, malas sekali di sana. Aku kan suka sendirian. Lagi mendambakan privasi.
Dini hari jam satu lewat, kepalaku sakit sekali. Seperti ada jarum yang menusuk entah di sebelah mana. Sangat sangat sakit. Aku tidak habis mengonsumsi sesuatu yang membuat darah rendahku kumat. Beberapa hari ke belakang, aku tidak juga begadang (Ah aku baru ingat malam sebelumnya begadang. Tidak terlalu malam dan malam-malam sebelumnya selalu tidur dengan jam normal). Ya, aku anggap begadang itu bukan masalah. Alih-alih, aku menyalahkan cuaca yang membuatku menyalakan kipas non stop. Apalagi karena sendirian, tak ada yang mengingatkan untuk mengurangi kencangnya agar tak masuk angin. Ya, mungkin karena itu.
Aku tak tahan dengan rasa sakit itu. Ponsel yang ku-charge sebelumnya sudah penuh. Butuh usaha lebih untuk melepasnya dari catu daya. Sangat. Padahal tanganku sangat bisa menjangkau. Ibuk dan teman yang akan berangkat ke Jember keesokan harinya yang kuhubungi pertama kali. Tentu tak ada jawaban dari keduanya, mengingat waktu yang demikian. Aku bingung harus bagaimana. Kepalaku semakin sakit. Aku mencoba memampatkan pening dengan menekan kepala dengan bantal. Meringkuk lebih lingkar. Menggenggam bantal lain lebih erat. Kipas sudah kumatikan dengan kesusahan. Aku kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk mengirim pesan pada Mas. Takut mengganggu jika dia panik dan langsung ke rumahku, namun di lain sisi aku perlu seseorang untuk menetralisir sakit itu.
Sebuah pesan lugas tentang sakitnya kepalaku terkirim. Lagi-lagi tak ada jawaban. Mas sudah tidur. Aku mulai menghubungi teman-temanku lain yang mungkin masih bangun. Kali itu, aku ingin menguatkan diri ke kamar mandi. Berharap kencing atau berak bisa meredakan sakit yang entah kenapa tiba-tiba begitu. Sialnya, dari sekian banyak pesan yang kusebar, tak satu pun terjawab. Iya, ada rasa takut juga sama setan atau manusia jahat. Aku beralih ke media sosial yang lebih mirip diary, Twitter. Berkeluh tentang sakit yang tak tahu sebab dan penangkalnya.
Sambil masih menahan pening, seorang teman membalas pesan. Syukurlah. Aku sangat senang sampai-sampai ingin menangis. Kebiasaannya begadang benar-benar menjadi harapanku malam itu. Entah, padahal hanya keberadaannya di dunia maya. Namun, aku merasa tak sendiri. Alih-alih membalas pertanyaannya, aku segera menuntaskan keperluanku di kamar mandi. Rasanya agak lega, namun pusing di kepala tak serta merta pergi. Masih merasa berputar dan ada sesuatu yang mengganjal di perut. Namun, setidaknya tak semenusuk tadi. Ya, sesekali masih muncul. Sesekali. Lainnya hanya pening yang membuatku tetap harus menggenggam sesuatu dan menekan kepala dengan sekuat tenaga. Sakit.
Dengan lemah, aku membalas pesan temanku tadi. Membalas beberapa hal dan sesekali mendiamkannya karena pening menusuk yang lagi-lagi muncul. Sesekali pula, aku kembali membuka beranda Twitter yang sering menampilkan muka-muka Korea. Masih pusing. Namun, setidaknya ada senyum di wajah melihat penampakan mereka.
Aku mulai berpikir lagii tentang alasanku tiba-tiba sakit begitu. Apa karena spaneng mengerjakan skripsi? Ah, enggak. Aku bahkan tak berprogres apa-apa selama kembali ke rumah. Atau jangan-jangan karena tidak progres itu ya? Mungkin karena parno pada hal-hal ganjil yang mungkin terjadi saat di rumah sendiri. Atau mungkin juga karena merasa nggak biasanya balik ke kosan tanpa berpamitan langsung dengan Ibuk. Mungkin juga kangen Bapak, seperti biasanya. Ah, Bapak. Belio yang menurunkan penyakit ini pasti. Suka tiba-tiba sakit kepala.
Dulu aku benci sekali jika Bapak sambat ngelu. Serius. Apalagi saat-saat beliau ada job ke luar kota. Itu nyebelin banget. Bapak sudah kuanggap malas gara-gara pekerjaannya sebagai sopir travel yang suka melek malam dan membayar tidur-tidurnya di pagi hari, alih-alih olahraga atau membantu kerjaan rumah. Dan saat tidak mau bekerja begitu (apapun alasannya), aku masih saja menganggap Bapak tidak baik. Penyakit ngelu-nya itu juga sering kumat kala aku minta uang untuk keperluan sekolah. Obrolan tentang uang, benar-benar efektif membuat bapak mengikat kepalanya dengan handuk dan bersarang di kamarnya untuk beberapa waktu. Aku juga benci itu. Bukannya memang kewajiban orang tua mencukupi kebutuhan anaknya ya?
Sejak sebal melihat Bapak yang demikian, aku mengubah caraku meminta uang. Saat kami sedang ceria, cerita, dan mereceh bersama menertawakan patung polisi yang tak mau berteduh saat panas dan hujan, aku berseloroh tentang buku-buku paket yang mahalnya minta ampun. Saat sedang diminta bikin sambel terasi beserta lauk-lauknya, dan beliau membantu sekedar mencucikan beras dan menanaknya di magic com, lalu berlanjut menyenandungkan lagu kendang kempul favoritnya sambil sesekali mereceh, aku mengutarakan hal yang kutahan seperti, "Pak, bulan depan, DSB tampil di Madiun. Seragamnya baru lagi. Ganti baru. Ada dua setel. Satunya dari sekolah, satunya beli sendiri." Di tengah bernyanyi, bagaimana Bapak menginterupsi kan? Apalagi aku lagi tandang gawe. "Seragam yang sekarang nih lebih murah dari yang merah dulu. Nggak suruh kudu buru-buru bayar sih. Tapi, karena nantinya dimiliki pribadi, nggak dibalikin ke sekolah, jadi akhir-akhirnya ya ganti." Selalu ada pembanding yang seakan berkata, 'uang segitu tuh nggak ada apa-apanya'.
Aku masih sering membumbui dengan, "Biaya makan yang ke Madiun besok separuh aja yang ditanggung sekolah, nggak kayak dulu di Probolinggo yang full sama transport. Ya untung sih, transport masih gratis. Gara-gara sampean sih, nyuruh doa biar Pak R (kenalan Bapak) jadi kepsek di sekolahku. Jadi dana buat marching seret." Kalau sudah disalahkan begitu, Bapak pasti menjawab, "Ya, setidaknya kan Pak R tahu kondisi keluarga kita." Aku tak mau kalah. "Kalau tahu, terus kenapa?" (FYI, belio, Pak R, meninggal setahun setelah Bapak, saat jadi kepsek SMANSA alias sekolah terfavorit sekabupaten. Terakhir kabar yang kudapat saat belio menjabat di sekolahku, adalah fotonya di koran yang terlibat korupsi.)
Aku masih terus memberikan serangan seperti, "Tenang, kalau sampean nggak punya uang, aku masih ada simpenan kok. Buat transport, makan, dan jajan masih bisa aja. Tapi, nggak ada jaga-jaga buat SPP bulan-bulan depan." Dengan begitu, kalau kubilang jauh sebelum-sebelumnya, Bapak jadi giat kerja. Menyisihkan uangnya. Bapak sangat boros, asal tahu saja. Kalau habis dapat uang, aku selalu merampoknya dengan berbagai muslihat. Jadi, di hari-hari tertentu, uangku lebih banyak dari Bapak. Jika orderan sepi dan tak memegang uang, aku tak lantas tak bisa jajan. Bisa, selalu bisa. Hanya kadang memilih tidak atau membatasi diri. Selain itu, aku sangat perincian. Jika tak dapat saku di hari-hari Bapak tak ada uang, aku menagihnya saat Bapak banyak uang. Itulah sumber danaku saat memiliki Bapak yang boros.
Aku sering bercerita hal-hal tak penting untuk Bapak seperti, "Harga trompet ini mahal loh Pak." Menyebutkan nominal sambil menunjukkan trompet berwarna kuning emas yang kukeluarkan dari case saat harus berlatih sendiri di rumah. Menerangkan betapa mahal ekstra yang kuikuti dan bagaimana kami bertahan di saat-saat sulit. Aku juga memamerkan kemampuanku meniup alat musik itu, seperti halnya saat aku memamerkan kemampuan bermain pit (marching bell/cellophone mini) yang juga kubawa pulang untuk berlatih sendiri saat SD. Saat punya piano kecil yang kubeli diam-diam dari uang THR lebaran, bapak diam-diam pula mendengarkanku memainkannya. Kalau sedang iseng lagu asing, bapak hanya diam. Tapi kalau sudah lagu banyuwangen atau lagu lain yang bapak tahu, beliau pasti berteriak menyahut. Entah request atau ikut nyanyi. Ah, kenapa jadi ngomongin Bapak?
Ya, Bapak memang bukan orang yang sempurna. Bahkan sangat punya banyak cacat sebagai seorang Bapak. Namun, aku tidak sedang menjelekkan beliau, karena aku sangat yakin beliau tahu dan sangat tahu itu. Bapak juga pasti akan berkata hal yang sama untuk dunia jika disuruh mengenalkan dirinya sebagai seorang bapak. Aku merasa sangat tidak adil jika selama ini, di blog ini, hanya bercerita tentang baik-baik beliau. Meski ya dia benar-benar baik. Selain emosional dan sakit kepala ini, sakit kepala yang tanpa sebab--pun ada sebab juga nggak masuk akal, semoga aku bisa berumur panjang. Setidaknya, aku tidak ingin buru-buru mati. Serius.
Sebenarnya, aku enggan menulis. Alasannya sekedar takut ini jadi tulisan terakhir kalau aku mati. (Fak! Kenapa playlistnya nyetel Sampai Menutup Mata? Sebelumnya malah Perpisahan Termanis lagi.) Ya, aku takut mati. Setelah pening di kepala dini hari itu, kepalaku tak benar-benar bisa leluasa melakukan fungsinya. Aku tak sempat bertemu Ibuk karena berangkat pagi dan Ibuk menambah hari di tempatnya menginap. Rumah lenggang kosong. Perutku mual. Awalnya aku sudah memutuskan untuk tidak berangkat. Tapi, Mas yang menelpon pagi-pagi sekali menyarankanku meminum salah satu merk obat yang belum pernah kucoba. Dengan penuh keyakinan aku beli dan minum obat itu. Berkata pada teman yang akan berangkat bersama jika aku siap. Meski tidak lanjut tidur setelah terbangun di malam itu, aku seperti baik-baik saja. Seperti.
Ini sudah jadi hal yang sangat aku tahu. Aku selalu terlihat baik-baik saja saat bersama orang lain. Tetap melemparkan banyak guyon yang terkadang bisa membuat temanku terbahak atau sekedar mengerutkan dahi. Dan saat itu, sepanjang perjalanan berangkat itu aku tetap melakukannya. Dengan badan yang jujur saja belum fit, kami dan puluhan orang di sana mendapat tiket berdiri. Pertama kali di kondisi tubuh yang begitu? Padahal kami sudah datang sangat-sangat-sangat pagi. Aku ingin mengumpat. Tapi sayang ucapanku kan. Mending effort itu untuk mereceh saja.
Di perjalanan, syukur aku dapat kursi kosong. Banyak yang lain berdiri di tengah jalan dan di pinggir gerbong. Pemandangan itu, baru pertama kutemui di kereta. Kalau di bis, aku sudah biasa. Banyak kali aku berdiri dari Jember ke Banyuwangi. Ya, tulisan pertamaku di sini tentang itu juga kan? Sepertinya. Seorang perempuan di seberang dudukku, membaca sebuah buku yang judulnya familiar. Filosofi Teras. Saat itu, aku lupa dimana mendengar judul itu. Kukira itu novel. Tapi, ternyata kemarin saat kucoba cari di internet, itu buku filsafat. Ah, aku ingat dimana mendengar judul itu. Pikiran-pikiran yang kutanamkan ke perempuan yang membaca buku itu, tiba-tiba berganti. Kukira novel loh, ternyata buku filsafat. Bukannya apa-apa. Aku hanya kagum betapa tinggi niat baca perempuan itu bahkan saat kondisi kereta tidak nyaman begitu.
Kembali ke kos, hari-hari berjalan seperti biasa. Aku masih minum obat saran dari Mas. Tapi, tak terlihat efeknya. Aku masih sering pusing. Padahal sudah makan banyak, bergizi (harusnya), dan teratur. Jadilah aku berganti ke merk yanag biasanya sangat manjur untukku. Namun, itu juga tak berefek sekali. Aku tak melanjutkan minum obat lagi karena takut ketergantungan seperti Bapak yang selalu menyetok banyak obat-obatan di rumah yang cepat habis dan selalu mengganggu waktuku dengan menyuruh membelinya lagi dan lagi. Aku tak mau begitu. Kuputuskan berhenti. (Oh ya, sempet minum Tolak Angin juga sih, tujuannya biar pinter aja, hehe.) Melakukan hal-hal yang kusukai dan berakhir sama. Meringkuk di kasur dan menyaksikan hiruk pikuk manusia-manusia melalui media. Melakukan hal menyenangkan yang malah jadi menyesakkan, Aku menolak ajakan keluar beberapa teman. Bukan karena sakit kepala sebenarnya, karena aku akan senang hati meredakan kesakitan itu dengan bertemu mereka. Hanya, aku malas. Malas dengan diriku.
Aku menahan diri sekuat mungkin. Menahan sakit yang kadang membuatku sambat di dunia maya serta pada satu-satunya teman yang sedang bersamaku. Sebenarnya aku muak dengan diriku sendiri yang saat tak kuasa, melenguh, "Uh, ngelu!" Sumpah, aku kesal dengan diriku yang itu. Aku tahu rasanya mendengar keluh yang tak ada habisnya itu dari Bapak, dan temanku itu sangat sial mendengar keluh-keluh itu.
Hari ini temanku itu sidang, ujian akhir. Aku masih harus ikut pusing perkara teknis dan tetek bengeknya. Tapi, tak apa. Aku senang-senang saja. Sayangnya kepalaku menganggu. Ingin aku meletakkan saja di suatu tempat. Tapi, bagaimana? Bagaimana bisa? Bagaimana kelanjutannya? Sepertinya berlebihan jika mendramatisir sakit kepala ini jadi alasan mati, tapi serius, aku takut mati.
Lirik Sampai Menutup Mata, seperti mengingatkanku jika aku harus berdoa dan memohon. Aku jauh dari-Nya dan tak pantas meminta. Terakhir aku ingin mati, bapakku yang meninggal. Kali ini aku tak ingin mati, aku tak ingin kehilangan siapapun. Diri sendiri, keluarga, teman-teman, kenalan, dan bahkan orang-orang yang kubenci. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Aku tak ingin duka kehilangan Bapak, kakak, dan teman, muncul lagi. Pun, tak ingin orang lain merasakan perasaan serupa jika aku mati. Aku masih sangat pecundang untuk benar-benar pulang. Gol-golku masih sangat-sangat banyak. Aku bahkan kesulitan mengorganisir hal-hal sederhana yang sayangnya kuantitasnya banyak. Apalagi, aku masih punya keluarga yang harus kutemani. Aku tak bisa janji atau melemparkan pernyataan untuk hidup sampai kapan atau sampai apa, tapi aku ingin hidup.
Obrolanku akhir-akhir ini benar-benar menakutkan. Benar, aku sering berceletuk tentang kematian dengan banyak orang. Tapi, serius. Ada rasa aneh akhir-akhir ini saat aku berceletuk hal jelek itu. Rezeki, jodoh, dan mati. Tak ada yang tahu itu kan, selain yang di sana? 'Kata-kata adalah doa' adalah kata-kata yang sangat menakutkan. Ya Tuhan, Ya Allah, aku tak ingin kata-kataku yang 'itu' terkabul. Itu guyon Tuhan. Agar orang-orang di sekitarku tertawa. Menertawakan diriku, bukan kematianku. Aku ingin hidup. Pikiran-pikiran buruk dan reka adegan tak baik ini, mohon jauhkan dari hamba. Dulu, dulu saat skenario terburuk hamba reka, engkau memberi hamba skenario yang jauh lebih buruk. Mohon untuk tidak demikian lagi. Hamba lelah. Sangat lelah. Namun, demikian, hamba tak ingin mati pasrah. Jangan cabut nyawa ini. Hamba mohon, jangan.
Oh ya. Nggak apa-apa aku masih harus berbagi tempat privat untuk lebih lama. Semoga, aku baik-baik saja. Semoga kalian baik-baik saja. Semoga mereka-mereka yang tersayang baik-baik saja. Semoga dan selalu. Selamat berganti hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar