Mungkin tiga bulan yang lalu, obrolan biasa sebelum tidur bersama Ibuk, berujung pada pembahasan panjang yang menyesakkan. Hal-hal tentang mereka yang telah meninggalkan kami dibahas. Aku harus menyalakan rekaman di ponsel karena takut lupa apa saja yang kami obrolkan. Berjam-jam lamanya. Untuk kesekian kalinya, ada hal-hal yang baru kutahui. Tapi, yasudahlah. Tak boleh ada kata andai muncul.
Belum hilang quote tentang, "mending yasudahlah, daripada andai," merasuki otakku, aku kembali berandai. Tak sedang sesak atau menderita atas rasa rindu yang tak akan pernah terbalas selain pada mimpi. Namun, mimpi itu menjadi bahaya dengan tidak mempertemukanku dengannya secara imaji saja. Melainkan, membawa pada cerita lain yang membuatku berandai.
Aku ada bersama mereka. Mereka yang sudah pergi meninggalkan dunia, dan mereka yang pergi meninggalkan kehidupannya bersamaku. Aku kembali tinggal dengan keluarga kecilku. Bapak, Ibuk, Mas, dan aku. Tidak, ini bukan kisah tentang masa lalu, melainkan tentang andai. Andai Bapak masih hidup, andai Masku belum menikah dan masih seperti ia yang dahulu.
Kami tinggal di rumah sederhana yang jauh lebih baik dengan rumahku saat ini. Poin pentingnya, di sana bapak terlihat bahagia. Aku dan yang lainnya pun demikian. Apalagi, kami tidak tinggal di kota kami sekarang. Melainkan di kampung halaman bapak. Meski demikian, kami tidak serta merta mapan secara ekonomi. Bapak tetap bekerja setiap harinya. Aku dan Mas berbisnis bersama di pasar. Berjualan entah apa, yang jelas kami punya truck modern yang digemari banyak orang. Mas tetap menjadi dirinya yang bekerja keras dan enggan meninggikan ilmunya secara akademik. Dan aku, tetap menjadi aku yang tengah berjuang di tugas akhir. Bagiku, di mimpi itu juga berat. Namun, ada keluargaku di sana.
Mimpi semakin melebar ke hal-hal acak. Pernikahan sepupu, aku yang masuk tim detektif dan kemudian disandra penjahat lalu diperlakukan seperti sedang ospek, jalan-jalan bersama Mas di aspal pesawahan yang berlandskap indah, makan-makanan enak khas perayaan, bertemu keluarga besar, berlarian di kota kabur dari penjahat, punya banyak teman kompak di tim entah apa yang kesemuanya sudah sangat kukenal di mimpi itu. Ah, pengandaian yang berbahaya. Andai, mimpiku hanya sebatas Bapak yang memarahi atau menyemangatiku perkara skripsi, aku tak larut dalam kisah yang tak mungkin terjadi itu.
Hal-hal terkait Bapak, sudah tak mungkin bisa kuwujudkan. Bahkan menjadi satu-satunya anaknya yang sarjana, seakan tak berguna tanpa senyum Bapak. Omong kosongku bersama Bapak, menjadi bohong semata. Dari kecil, hidup Bapak tak mudah. Meski dia selalu tertawa di depan orang-orang, suka melawak, mengabaikan masalah yang sebenarnya ia alami, kehidupannya cukup sulit. Hanya Bapak yang berperilaku demikian. Tawa dan segala macam dirinya. Fase-fase tertentu yang membuat pikirannya kaku, menjadikan dirinya tak mau gerak dan meratapi nasib dalam mimpi. Ya, seperti aku. Tidur. Itulah persamaan kami, gampang drop jika kebanyakan pikiran.
Obrolanku bersama Ibuk tiga bulan yang lalu lebih kompleks dari obrolan kami mengenai Bapak atau hal-hal lain biasanya. Aku mulai mengandai dan menyalahkan takdir kenapa membawa kisah kami pada hal buruk begini. Aku punya banyak janji pada Bapak yang satupun belum kuwujudkan. Aku tak pernah bersikap baik pada Bapak, seperti membelikan hadiah pada Ibuk dengan gaji pertamaku dulu. Aku meminta Bapak mengerti aku sedangkan aku yang berkata selalu mengerti Bapak hanya ada di pikiranku saja. Bapak orang baik. Bapak selalu jadi hebat di mataku, meski tak semua yang dilakukannya dinilai baik di mata orang lain. Bapak orang baik, meski hidupnya buruk.
Pengandaian tentang aku yang menginginkan hidup bapak pun baik, hanya akan jadi bunga tidur untuk selamanya. Andai diriku menjadi lebih baik dari saat ini pun, hanya aku seorang yang mengecap rasa yang harusnya manis itu. Bagaimana pun kelak, pahit akan selalu menemani aku yang menyesali kehidupan ini, meski bukan aku yang membuat begini, meski bukan aku yang ingin begini. Ibuk? Ibuk pasti akan bangga padaku. Tentu saja. Namun, Ibuk ya Ibuk, Bapak ya Bapak. Mereka punya indikatornya sendiri. Ibuk, hanya ingin hidup seperti saat ini. Kami tak pernah berandai punya ini itu, dan ketika kutanyai Ibuk tak pernah ingin. Ibuk ingin aku sukses meraih apapun yang kuinginkan, namun Ibuk tak ingin apapun selain itu. Beliau sudah merasa sangat kecukupan di titik ini. Aku ya aku, Ibuk ya Ibuk.
Ah... Lagi-lagi menghabiskan waktu untuk berceloteh. Lelah karena tidak melakukan apa-apa, benar adanya. Aku lelah sekali. Berlari ke manapun, akhirnya ya ke sini lagi. Melompat ke manapun, jatuhnya ke sini lagi. Ke titik yang masih tak seberapa ini, aku sudah sangat lelah. Menjadi pribadi yang bisa dibilang lebih baik dari sebelumnya di beberapa hal. Pun, menjadi pribadi yang sangat bisa dibilang lebih buruk dari sebelumnya di beberapa hal lainnya. Aku benci diriku, tapi aku juga sangat menyayanginya. Mungkin sekarang, rasa sayangku kepada diriku lebih besar dari rasa sayangku kepada diriku dahulu. Namun sepertinya, rasa sayang itu belum sebesar rasa sayang bapak terhadapku. Masih ada benci di sebagian yang lain. Ah, mungkinkah kebencian selalu mengiringi rasa sayang? Cinta?
Aku sedikit bisa bernapas. Entahlah. Aku tidak sedang kesal atau kenapa-kenapa. Hanya tiba-tiba air mata tak mau berhenti dari balik kaca mata. Padahal layar monitor laptop hanya menunjukan lagu Super Junior jedag jedug. Hahaha, sudah deh ya. Terima kasih telah menampung keluh kali ini. Sampai jumpa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar