Bosan. Capek. Dua kata yang menggambarkan hari ini, sekaligus mengingatkanku pada sebuah puisi yang diteaterkan bertahun-tahun lalu.
Aku baru saja membaca ulang tulisan sebelumnya, OSPEK. Tak ada alasan tertentu. Hanya bosan dan capek. Ingin menulis tak tahu menulis apa. Mengerjakan skripsi pun pada tahap bosan dan capek. Kebetulan aku sedang mencari-cari kata bosan hari ini, jadinya capek. Begitu kira-kira penjelasan tentang bosan dan capek hari ini.
Sebelumnya aku menonton drama My Liberation Notes. Aku nggak akan membahas drama itu dalam-dalam karena terlampau banyak yang musti kujelaskan. Nanti saja di kesempatan lain. Di waktu lain yang khusus drama itu.
Awalnya aku berpikir jika tulisan OSPEK dan My Liberation Notes memiliki sebuah hubungan yang baru kusadar. Mimpi yang terjadi di OSPEK seakan wujud dari imajiku atas My Liberation Notes. Di sana, mereka-mereka tinggal sampai dewasa bersama orang tuanya. Kukira demikian. Kukira mimpi itu muncul dari sana. Namun ternyata tidak. Aku jatuh pada drama itu mungkin saja karena mimpi itu. Mimpi yang berupa andai. Pengandaian yang hanya bisa muncul pada cerita; drama Korea. Ah, drama ini nggak hanya relate, alih-alih jadi dunia kedua seperti layaknya mimpi.
My Liberation Notes episode yang kutonton hari ini benar-benar bikin mata bengkak. Sudah lama isakan di depan sebuah film tak kualami. Terakhir drama tentang seorang sahabat yang meninggal di usia muda. Nangis di sana berlangsung di seluruh episode. Ada bagian-bagian yang sangat sakit sampai-sampai kenanganku bersama Ristin turut memukul tengkukku. Memang drama itu bergenre air mata. Aku sudah sangat mempersiapkan diri. Namun, drama yang kutonton kali ini benar-benar berbeda. Aku tidak siap dengan lompatan cerita yang sayangnya bukan sebuah lompatan. Itu sebuah alur yang mau tak mau harus dilewati. Benar-benar memukul.
Aku hampir-hampir tak berhenti menangis di episode berikutnya. Sepuluh menit pertama air mata tak mau berhenti. Aku capek sesenggukkan. Berhenti, aku mencoba melakukan beberapa aktivitas lain yang sama tak bergunanya. Kemudian lanjut. Kukira di titik berikutnya, aku jadi biasa. Ternyata tidak. Perihnya makin menjadi. Alurnya yang lambat membuat kesengsaraan terlihat semakin jelas. Pelan, sangat pelan. Luka-luka mereka terlihat semua. Menyesakkan. Di tiga puluh menit kemudian, aku berhenti. Keluar dari jendela Nteflix.
Temanku pulang. Keluarga Ibu Kos sedang melakukan entah apa itu pokoknya ramai sekali. Perutku lapar. Tak ada makanan, pun malas keluar. Tidak bisa berpikir untuk melanjutkan yang bosan dan capek tadi. Akhirnya aku menulis. Harusnya, beberapa hari belakangan ini banyak yang kusalurkan. Namun, urung. Aku memilih tidak. Akan memakan waktu lama. Besok saja, saat itu semakin jelas.
Eh, saat itu kapan? Hari ini ada pesan dari hal yang ingin kusampaikan itu. Namun, aku malah mengabaikannya. Bersyukur karena read WhatsApp mati. Tidak jahat. Aku juga berpikir apa jawabannya. Aku bingung harus menjawab apa. Aku takut tak bisa berkomitmen jika mencoba-coba saja. Dan yang lebih membuatku seakan enggan membalas, keegoisan seorang teman yang membuatku tetap begini-gini saja. Sayangnya, dia tak sadar. Tak pernah sadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar