Selasa, 28 November 2023

Aku dan Satu Nama

Singki. Sin-gi. Sin-gi-hada. Luar biasa. 

Dalam bahasa Korea, singhihada artinya luar biasa. Amazing. Tetanggaku ada yang namanya, Singki, atau Sinki, atau... aku tidak tahu bagaimana penulisan namanya, yang jelas penyebutannya sama dengan Sinki di sin-gi-hada. 

Aku pernah tahu nama panjangnya, namun lupa. Yang jelas nama itu tidak diambil dari bahasa Korea. Di mataku, dia masih bocah kelas 2 SD yang belum bisa baca tulis. Bicaranya juga tidak jelas, entah kurang fasih atau cadel. Belibet sekali. Yang paling menyebalkan adalah setiap pagi, dia menunggu diriku di rumahku sebelum berangkat sekolah. Dia nebeng.

Masalah utama yang kuhadapi atas tebeng menebeng ini sederhana saja. Aku tidak kuat. Capek sekali, loh. Aku yang saat itu sudah kelas 6 pun kuwalahan. Singki terkenal sebagai anak yang nakal, meski di rumahku sangat pendiam dan manis. Jadi, anak-anak selalu meledekku sebagai kakaknya. Tidak masalah sih, kami memang masih kerabat meski jauh. 

Ketidakmampuan Singki di ranah akademik juga sangat terkenal. Waktu itu, aku tidak punya kepentingan untuk menghakimi. Masih banyak siswa kelas 2 yang belum bisa membaca maupun menulis. Namun ternyata, hal yang terjadi pada Singki cukup spesial. Bertahun kemudian saat dia duduk di MAN swasta yang salah satu gurunya adalah kerabat kami juga, tante itu berkata bahkan saat itu dia belum bisa membaca. Aku ingin tidak percaya, tapi Ibuk yang diam-diam selalu tahu hal-hal yang terjadi di lingkungan kami, juga mengaku mengetahui hal itu sejak dia SMP. Selama SMP, dia juga kesulitan dalam baca tulis. Miris. 

Singki punya kakak laki-laki yang usianya sekitar 5-6 tahun di atasnya, lebih tua dariku. Dia juga punya adik perempuan yang baru lulus SMA. Tidak seperti kakak pertama yang putus sekolah di bangku SMP, dan kakak kedua yang sulit baca tulis, anak bungsu perempuan keluarga itu cukup cerdas. 

Saat gap sebelum kuliah, aku sempat mengajar dia. Dia kelas 5 atau 6 ya? Aku lupa. Yang jelas dia termasuk yang tertua di les malam. Dia punya antusias yang tinggi pada belajar. Mengingat background keluarganya, aku cukup terkesan. Ya, meski banyak yang harus kusampaikan untuk merawat minat belajar dia. Gadis itu berhasil masuk SMP dan SMA negeri terdekat dari rumah kami, tempatku belajar dulu. Entah regulasi pendaftaran sekarang seperti apa, yang jelas aku turut senang. Belakangan, dia ingin melanjutkan kuliah di UT melalui Banyuwangi Cerdas. Tapi, sepertinya tidak jadi. 

Sekitar dua tahun lalu, aku ingat dia pernah bilang jika ingin punya suami supir. Pemikiran yang menggelikan bagiku. Dengan menggebu dia berkata betapa makmur hidupnya jika suaminya kelak supir. Padahal aku tidak bertanya apa-apa. Baru-baru ini, ada 'calon'-nya yang berasal dari luar kota menginap di rumah mereka. Si perempuan ini tidak tinggal serumah dengan keluarganya, ia tinggal di rumah budhe-nya yang ditinggal anaknya jadi TKW. Aku tidak tahu profesi calonnya itu. Namun, kunjungannya cukup terlihat serius.

Kakak Singki yang sangat-sangat amat pendiam, katanya juga akan menikah. Betapa hari-hari ibunya selalu bercanda tentang calon mantu dan hal-hal begitu. Akhirnya ya, mantu beneran. Calonnya, tetangga kakak iparku. Ibuk tahu dari ibunya yang bercerita secara personal, tidak dari kakak iparku. Aku penasaran bagaimana mereka saling kenal dan memutuskan menikah. Usia? Latar belakang keluarga? Pendidikan? Pekerjaan?

Aku tidak tahu seperti apa perempuan itu. Namun, jika berasal dari daerah rumah kakak ipar, aku bisa membayangkan lingkungan di sana. Meski orang kaya, kadang mindset mereka masih... ya begitulah. Meski berpendidikan, masih banyak yang konservatif dan harus ina inu. Stereotif yang kulekatkan pada daerah itu ya demikian. Ya, contohnya saja kakak iparku. Meski pendidikan maupun latar belakang keluarga tidak jauh dengan kakakku, keluarga kami, harusnya mereka tidak buru-buru menikah. Harusnya biar kakakku mandiri finansial dulu. Apa tidak ada mimpi yang ingin dicapai? Ah, mulai ngelantur.

Masalah menikah dan cinta-cintaan, Singki juga seperti kakaknya. Dia tumbuh dengan menjadi sosok pekerja keras. Meski tidak sependiam kakaknya, tidak tidak neko-neko. Lebih sering menyapa, dan masih sedikit cadel. Selain si bungsu, aku tidak pernah mengobrol dengan dua anak yang lain. Kepada Singki ya sebatas basa basi. 

Entah kenapa tiba-tiba ingin menulis nama Singki. Namanya unik memang, tapi bukan ini bukan kali pertama aku sadar. Nama adik dan kakaknya biasa, dalam artian, mainstream. Bukan termasuk nama yang populer sih, tapi juga bukan nama yang jarang ditemui. Singihada~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar