Jumat, 29 September 2023

R for Repeat

Hai, selamat pagi! 

Susah banget nyari waktu buat nulis ini. Aku enggak berani nulis pas lagi on going alias pas momen ini lagi kejadian. Tapi, buat cerita ulang di waktu lain, cukup bikin prokrastinasi karena bakal njlimet dan yah... mengungkit sedikit luka, haha. 

Aku mau cerita tentang R lain, R yang seperti mengulang. Aku enggak lagi mempertanyakan, kenapa kudu berinisial R, karena era ini inisial R terkenal banget brengsek. R yang pernah kuceritakan di sini, my first crush, kelihatannya enggak bagian dari R brengsek. Pun R yang akan kuceritakan. Dan sepertinya, ini akan jadi another tulisan nonsensor karena aku sudah gedek sama kebadutan diriku sendiri. Ya, semoga plong, ya. 

Awalnya aku mau bikin tulisan ini di Aku dan Satu Nama, tapi ini terlalu privat untuk dikomersilkan. Pun terlalu berharga untuk sekedar jadi remehan fafifu. Namanya indah. Enggak seindah nama 'unik' yang selama ini kujadikan standar. Namanya indah karena ada di Asmaul Husna. Yep, very Islamic. Enggak cuma nama panggilannya aja loh, tapi nama lengkapnya. Ya, kecuali nama depan, Muhammad, hehe. Nama panggilannya diambil dari nama terakhirnya, sedangkan nama tengahnya satu kata yang terdiri dari dua kosa kata arab yang dua-duanya ada di Asmaul Husna. Jadi, selain Muhammad, ada tiga Asmaul Husna di namanya. Sungguh indah, kan?

Aku tahu nama lengkap itu secara tidak sengaja. Saat itu, di banyak tempat sepi, termasuk rumah kosku. Aku benar-benar sendirian. Enggak ada penghuni kos lain. Ibu Kos dan seluruh keluarga pergi. Mau tidak mau, aku menerima paket atas namanya. Nama yang saat itu kuanggap biasa saja. Aku berencana tidak membuat kenangan bersama orang yang hanya akan menjadi sekedar tahu, tidak mau tertarik dengan orang yang jelas-jelas tidak bisa digapai. Gimana enggak? Orang itu cukup membuatku takjub di hari pertama tinggal di rumah itu.Ternyata ada ya, ada laki-laki seperti dia. Benar-benar definisi 'anak baik-baik'. Masa pas aku balik ngopi dia lagi tahajud dan ngaji. Itu sudah lebih dari jam dua dini hari. Culture shock buat aku yang biasanya tinggal di lingkungan kos 'nakal'.

Enggak mau jadi orang naif yang menganggap baiknya orang karena agamis semata, aku selalu punya kecurigaan dengan orang itu. Jangan-jangan dia hacker. Mungkin selalu di kamarnya tanpa ada suara karena dia melakukan hal buruk. Enggak mungkin sih, dia penulis yang lagi mengerjakan proyek diam-diam. Kalo penguntit gimana? Residivis? Apa di kamarnya ada penyadap suara yang ngerekam obrolanku dengan teman-teman yang main ke kamar? Kalo suara kipas dan detik jam di kamarnya saja terdengar dari kamarku, apa sebaliknya tidak begitu? Ah, persetan dengan privasi. Waktu itu, aku hanya butuh kesenyapan dan tetangga kamar itu memberi waktu yang menguntungkanku. Aku bisa menikmati kesunyian yang sesekali terhias suara merdunya melantunkan ayat Qur'an. 

Aku melewati masa sulit yang terjadi saat itu di sana. Masalah keluarga, masalah kuliah, masalah pandemi, masalah pertemanan. Laptop dua-duanya rusak, kakak kehilangan motor karena aku, gagal jadi pemimpin redaksi, KKN, pandemi, kakak ipar masuk RS, ibuk sakit, aku yang masih bercumbu dengan tulisan kesedihan tengkar dengan... ah situasi saat itu sungguh pelik. Ya, aku bisa melewati masa itu di sana. Sembari kerja freelance dan menyimak kehidupannya. Bisa ya, ada orang yang 7/24 ada di rumah. Ya, kalau beberapa hari hanya terdengar detik jam dari kamarnya, sepertinya dia lagi ke rumah kakaknya di luar kota. Pikirku, mungkin karena pandemi. Namun, bertahun-tahun kemudian, sampai pandemi usai pun, kebiasaan itu tidak berubah. Justru lebih 'unik'.

Selama tinggal di sana bersama seorang teman yang kamarnya di seberang kamarku, kami sering membahas dia. Enggak, tidak menggosip yang aneh-aneh dengannya. Dia tipe teman yang lurus, tidak bisa diajak berdosa. Kami memuji-mujinya. Katanya, andai dia tidak punya pacar, dia sudah membidik laki-laki itu. Enggak jarang dia menyuruhku untuk mendekati dia. Aku? Gila apa haha. Cuy, inferioritasku besar sekali berhadapan dengan laki-laki alim macam itu. Lagian, aku tidak melihat hal baik lainnya dari dia selain keangkuhan. Meski sering membahas dia dan sosoknya, sampai berbulan-bulan tinggal di sana aku tidak pernah benar-benar melihat mukanya. Sepertinya, selama 2 tahun tinggal di kamar itu, hanya 2-3 kali aku melihat wajahnya. Satu saat gempa konyol membuatku ngah-ngoh saling tatap dengannya. Kedua saat kami berpapasan di tangga, itu pun dia pakai masker. Ah, ada pula saat berpapasan di jalan ketika dia pulang mengantar ibunya. Di ketiga kejadian itu, menurutku wajahnya berubah-ubah. Klaim temanku yang bilang dia sangat tampan, tidak bisa kuterima. Katanya dia jauh lebih tampan dari teman-teman laki-laki kami yang kuanggap tampan. Bagiku, tidak. Mungkin preferensi kami berbeda. 

Time flies. Temanku keluar dari kos dan aku pindah ke kamarnya. Sebenarnya memang ingin pindah dari lama. Jujur saja, di kamar itu, aku merasa tidak punya privasi. Depan pintuku ruang tamu keluarga Bu Kos yang akan ramai jika ada tamu. Kamar sebelahku yang lain hanya berbatas triplek. Okelah, kamar itu sudah kosong di tahun kedua aku di sana, tapi rasanya rapuh. Mau pindah, terlalu malas dan ada rasa skeptis lain yang muncul. Bagaimana kalo di kamar yang kupakai nanti berhantu? Apalagi kanan kirinya kosong. Sedangkan di kamar itu, setidaknya di sebelahnya ada dia yang rajin ibadah. Jauh sih dari kamar mandi, tapi aku enggak pernah ketakutan jalan ke sana tengah malam pun karena tidak merasa sendiri. Sampai suatu saat hujan lebat bikin kamar itu bocor, mau tidak mau pindah. Asa, kesempatan mendobrak rasa malas. Mau enggak mau, pindah. Aku pindah di bekas kamar temanku karena sudah lama aku menginginkan meja kayu yang hanya ada di kamarnya. Pindah kamar, tidak buruk. Jauh lebih menyenangkan ternyata.

Ketika sudah pindah, aku berniat menulis segala tentang dia. Tentu tidak ada ketertarikan secara romansa. Hanya, benar-benar tertarik dengan kehidupannya. Dia lulusan Gontor, pesantren yang selama ini kukagumi. Harusnya dia pandai fafifu bahasa Inggris dan Arab dong ya. Jurusan kuliahnya bikin aku khawatir sekaligus kagum juga, TI. Ketakutan akan hacking dan hal semacam itu makin nyata. Dan jujur saja, sedari mengenal komputer dan laptop aku ingin punya pasangan yang mahir dunia itu haha. Tapi, lagi-lagi, aku masih tidak tertarik dengan dia ke arah itu. Selain pikiran-pikiran seperti, 'Apa dia bisa diajak diskusi? Bagaimana kalo dia patriarki? Gimana kalo dia terlalu kolot atau terlalu bebas? Gay? Brengsek?' ada hal yang membuat aku mundur jauh yaitu suku dan beberapa kali obrolan teleponnya dengan seorang perempuan. Tidak intens tapi aku berpikir dia pacarnya, agar tidak melewati batasku sendiri. Untuk suku, bukan karena rasis atau benci atau semacamnya, crush pertamaku di kampus, suku yang sama dengan dia. Aku tidak mau mengulang patah hati haha. 

Di kamar baru, aku tidak begitu tahu aktivitasnya lagi. Tapi dia lebih sering keluar masuk rumah. Tangga ke bawah ada di depan kamar baruku, jadi aku sering menyadarinya. Kamar dia satu-satunya kamar yang pintunya menggunakan gagang dan bersuara 'jegleg'. Mudah kan, menandai. Dan hal lain yang kutandai, dia keluar rumah saat adzan berkumandang dan pulang beberapa waktu tidak lama kemudian. Hingga suatu saat aku dengar jawaban Bu Kos saat suaminya bertanya kemana perginya orang itu. Ke masjid Sumatra. Wow! Aku bisa menduga kalau selama itu dia pergi jamaah 5 waktu. Tapi, saat Bu Kos bilang masjid itu, ingatanku melayang ke tahun 2017 saat bapak mengajakku berkeliling area kampus untuk mencari kos. Setelah 'perang dingin' kami sepanjang pagi, kami sholat Dzuhur di masjid Sumatra itu. Setelah itu, aku dan bapak bisa berdiskusi dengan kepala dingin dan memutuskan mengambil kos di kosanku sebelumnya. Ya, itu sedikit hal yang bikin aku tercengang. Pikiran menggrambyang yang langsung membuat skenario konyol. Aneh sekali.

Aku heran dengan diriku. Aku bisa membayangkan cerita seru di pikiranku, tapi tidak di tulisan (semoga belum). Mungkin aku masih tidak ingin mencurahkan waktuku untuk hal sia-sia karena skenario dari kisahku dengannya, lebih tepatnya di rumahnya, hanya bagian kecil dari kisah hidupku. Betapa aku dulu membuat banyakkkkkk sekali skenario serupa saat ngekos di kosan lama. Bahkan tiap-tiap orang kujadikan tokoh utama di cerita mereka masing-masing. Semuanya masih di dalam otak, tidak tercetak, belum terberkas. Aku kukuh merasa si R ini adalah sama. Suatu saat akan hilang begitu saja seperti aku melupakan Mbak Nyala dan kegiatan malamnya bersama bule (shit, sekarang dia tinggal di London), Mbak Dewi dan kasus-kasusnya, Mbak Lia dan pacar yang hohihe di sebelah kamarku (anaknya lucu), Mbak Mayang dan 'kepolosan'nya (udah punya suami), Mbak Putri dan Halo Dek-nya (pasangan ini juga udah punya anak), Mbak Ulfi dan lonliness padahal ada bf-able (sepertinya sekarang sudah tunangan), Cio dan emaknya yg problematik, Reka, Annisa (bestie-ku ini juga sudah punya Nara), dan banyak lainnya. R adalah satu dari mereka dari sudut pandang lain. Aku merasa kepindahanku ke kos baru untuk menghapus segala kenangan menyedihkan di sana. Menangis histeris di kamar hijau saat temanku meninggal, menatap kosong setiap malam setelah bapak pergi, rasa kesal dan sakit hati, obrolan-obrolan nakal yang kudengar setiap malam dari tetangga kosan, yaaa sepertinya keputusan yang benar pindah kos kala itu. 

R bukan alasanku pindah. Tapi, adanya R membuatku bersyukur pindah. Oh, masih ada ya, orang seperti itu. Aku mencoba tidak lagi melihat dia dari sisi negatif. Tidak pernah tersenyum bukannya tidak ramah kan? Tidak basa-basi menyapa adalah hal baik karena aku tahu punya induk semang yang kepo akan lebih merepotkan. Apalagi dia laki-laki di kos perempuan. Bukannya itu hal yang sudah benar? Apalagi kamu sering fafifu pelecehan seksual bersama teman-temanmu di kamar. Bukankah, dia mungkin 'teredukasi' kalo-kalo denger juga? Dulu kan kamu lagi gencar-gencarnya meliput itu sampai berhari-hari begadang sampai pagi. It's good right!

Memikirkan dari sudut pandang dia, kadang aku berpikir adanya dua CCTV di teras dan di jalan membuat dia tidak punya kekepoan sama sekali ke seluruh penghuni kosan. Dia sekedar tahu, ya sudah. Lalu, aku berpikir, bagaimana kalo sikap 'dingin' dia selama ini karena menganggap aku perempuan tidak baik. Okelah, aku memang enggak alim, tapi aku kan enggak 'nakal'. Sering pulang malam dan selalu dijemput laki-laki yang berbeda. Iya kalo dia berpikir, oh karena cowo-cowonya ganti, berarti bukan pacar, kalo pikirannya kolot dan mikir yang aneh-aneh? Lah, kenapa aku peduli dengan pikirannya? Oh, kan ya aku peduli dengan pikiran-pikiran orang lain memang. Dia salah satunya. Hanya itu. 

Menjelang akhir masa di sana, aku mulai berpikir bagaimana jadinya jika ia menikah. Maksudku, entah dengan siapapun, bagaimana nanti regulasi pernikahan dan apakah istrinya dibawa ke rumah, atau bagaimana? Itu sangat mengguggah imajinasi. Tapi, ya sudahlah. Bukan urusanku juga. Misal dia menikah dengan salah satu temanku--atau diriku (wkwk)--mungkin lain cerita. Ya, aku sekedar penasaran. Sama halnya dengan pikiranku tahun lalu yang ingin segera lulus tapi ingin mendengar lantunan suaranya saat mengimami solat traweh. Pada akhirnya aku bertemu ramadan lagi di sana, dengan ia yang tak lagi mengimami orang tuanya--yang artinya aku belum lulus juga.

Di masa-masa ramadan itu, aku berkesempatan bertatap muka dengannya saat membeli sesuatu. Sungguh vibes-nya bikin jatuh cinta. Nada suaranya tidak arogan seperti pikiranku selama ini. Cukup membikin keringat dingin keluar. Untung tidak 'goblok' seperti saat sebelumnya. Pernah aku bilang beli mie kuah rasa kari spesial, bu kos mengambilkan rasa lain dan aku langsung membayar lalu pergi. Buru-buru sekali karena orang itu ada di sana juga. Haha.

Cukup merasa jatuh cinta-nya, karena itu tidak sungguhan. Aku benar-benar tidak tertarik, hanya... mengikuti alur otakku agar punya plot cerita yang bagus, yang tidak menjadikan genre hidupku tragis saja. Akhirnya aku membulatkan tekad setelah beberapa kali berpikir. Aku akan membuat gol, seperti kisah-kisahku yang sebelumnya. Bertahun lalu, aku ingat pernah satu bis dengan mas-mas yang kena semacam gendam untuk membeli burung bohongan seharga jutaan. Sedengarku dari percakapan mereka, dia rumahnya di jalan Kalimantan. Katanya ayahnya pecinta burung. Dia berminat membeli burung goib mereka. Saat itu, dia turun di tengah jalan untuk mengambil uang bersama para penipu. Aku ingat kejadian itu tapi tidak bisa apa-apa karena mbak-mbak di sebelahku menghimbau untuk diam saja, demi kebaikanku. Keluarga Pak Kos memelihara burung cukup banyak. Nah, pengalamanku ini bisalah untuk bahan uji coba. Kalau misal orang itu bukan dia, ya tidak apa-apa. Aku hanya penasaran dengan responnya. Toh aku akan menanyakan ini saat telah lulus kelak. Dan jika memang iya, betapa apik plot kisah kami, hehe. 

Aku menjalani hari-hari di kos dengan masih sama. Menulis dan menunggu lanjutan progres skripsi. Saat skripsiku hampir tuntas, aku gencar menulis tentangnya. Di beberapa blog, aku menuliskannya secara jelas. Di medium lebih banyak namun tersirat. Di draf cerita fiksi, ada satu ide yang masih sekedar sinopsis. Ah, aku masih belum benar-benar tertarik. Hanya sekedar merasa memiliki crush--seseorang yang tidak akan bisa kugapai. Hingga suatu hari saat aku sibuk-sibuknya menulis fiksi untuk suatu kompetisi, aku yang jarang menengok ke kamarnya yang berseberangan dengan kamarku, melihatnya sedikit melirikku. Sialan, jangan bikin otakku bikin narasi yang tidak perlu dulu dong. Di hari lain, aku yang hampir tidak pernah membuka pintu kamar ketika sendirian membuka pintu karena... sepertinya listrik mati dan sumuk pol. Akumasih mengetik di meja yang membuatku menghadap ke pintu. Saat itu juga, dia seperti melirik ke arahku. Wow, apakah dia mulai tertarik dengan aktivitasku? Setelah sekian lama? Duh, aku belum siap meninggalkan kos alias kapan golku kusampaikan ya???

Di hari aku menjadi hopeless romantic yang sempurna itu, kabar duka datang dari rumah. Budheku meninggal dan aku harus pulang. Aku tidak lagi memikirkan dia, dan menanggalkan tulisan kompetisi itu. Sibuk di rumah dan kembali fokus ke persiapan ujian skripsi. Waktu berlalu dan akhirnya aku ujian sidang beberapa saat sebelum lebaran kurban. Menjelang lebaran Kurban, di depan kosan didirikan tenda. Biasanya memang tetangga Bu Kos sering menggunakan area depan untuk keperluan mereka. Saat itu aku basa basi dengan Bu Kos, apakah ada yang mau punya hajat. Bu Kos menjawab iya. Beberapa hari kemudian masih belum ada tanda-tanda pernikahan atau apalah. Hanya tenda. Sampai Pak Kos terlihat sibuk berdiskusi dengan para tetangga laki-laki di teras sambil membawa selebaran undangan. Oh, mungkin Pak Kos jadi panitia kurban. Tenda di depan untuk solat ied kali ya.

Aku pulang ke rumah menjelang lebaran. Tinggal di rumah cukup lama karena banyak acara keluarga dan tidak ada hal urgent yg perlu kulakukan di Jember. Sampai aku harus mengumpulkan syarat wisuda secara langsung. Aku harus ke Jember dan kebetulan motor masku menganggur karena dia di luar kota beberapa hari. Aku bisa sekalian nyicil membawa perkakas kos. Dan... sepertinya saat yang tepat menyatakan golku. 

Hari itu, aku berangkat sangat pagi karena subuh sudah terlewat. Menerjang rintik hujan agar tidak kesiangan sampai Jember. Bukan, bukan karena jadwal akademik. Aku berniat sampai di kos sekitar jam 8 agar bisa melihat dia sebelum berangkat kerja. Shitttt aku teringat R tetanggaku. Dengan segenap usaha, aku sampai di kos di waktu yang sesuai dengan harapanku. Tapi, sayangnya itu bukan waktu yang tepat. Tenda yang hampir sebulan lalu masih ada di sana. Teras depan yang biasanya jadi tempat parkir tertutup karpet seluruhnya. Aku bingung harus parkir dimana. Kata seorang tetangga, hari ini akan ada temu manten sampai siang. Keluarga Bu Kos sedang menunggu besan dan manten yang datang dari Banyuwangi. Siallllllll. Tepat sekali waktuku.

Aku berusaha tenang. Bukan karena perasaanku sedih, iya perasaanku campur aduk, tapi bukan karena sedih yang begitu. Rasanya lega tinggal di kos itu, menyimak dia yang dulu tidak pernah di rumah karena kuliah (saat hanya main ke kos temanku), lulus dan kembali ke rumah dibarengi pandemi, saat-saat kerja, dan kini menikah. Yeah, aku akan menyaksikan momen bahagia ini. Tapi, tunggu. Aku punya urusan. Persetan dengan gol, karena tak akan kulaksanakan. Kunci kosku yang sebelumnya kutitipkan Bu Kos karena katanya temanku akan menginap (ternyata tidak jadi), hilang. Bu kos lupa ditaruh mana. Suasana keos dan akhirnya Pak Kos membuka paksa kamarku, menggantinya dengan kunci dan gembok baru. Sialll lagi, aku kehilangan gantungan kunci DSB. 

Hari berlalu dengan aku yang excited sekaligus... merasa bodoh. Maksudku, iya, ini semua sudah pernah kuprediksi, kubayangkan dan tidak apa-apa. Aku tidak merasa kehilangan apapun. Hanya... kenapa nyaris. Kenapa harus hari itu? Kenapa waktunya tepat saat tekatku sudah bulat? 

Menjelang sore, saat urusanku sudah selesai, saat aku menyimak obrolan keluarga yang aku tidak paham topiknya, aku berniat membayar janji temu dengan seorang teman laki-laki. Rencananya aku ketemuan dengannya di perpus pusat. Dia menjemput temanku yang lain dan aku menyusul. Tapi, tiba-tiba saja dia sudah di depan kos dan membuat aku buru-buru keluar. Aku yang biasa memakai sepatu di bawah tangga menenteng sepatu itu sampai ke gerbang. Untung acaranya sudah selesai. Aku menukar senyum ke teman itu yang ada di seberangku. Tanpa sadar si R yang tidak terlihat seperti pengantin baru duduk sendirian di bangku depan toko, di sebelahku. Lah, sendirian aja? Aku pengen lihat istrinya loh hmm.

Ah sudahlah. 

Rasanya kayak mengulang R.

Semoga bahagia kalian para R. Semoga aku juga bertemu bahagiaku ya. Bai bai.

Note: Pas ibuku ke kos untuk wisudaku, belio chit chat sama bapak ibu kos dan katanya besannya kepsek SMP 1 Purwoharjo yang itu masih sekitar sini. Ini kalo belio nyebut nama aku bisa aja tau orangnya hahaha. Nice ingfo semesta~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar