1.3 31 Desember 2019
Malam tahun baru, akhir dari bulan Desember, bulan yang baru-bari ini sangat kubenci. Ya, aku masih dendam dengan kesialan yang bertubi-tubi ini. Asal tahu saja, hidupku belakangan benar-benar berat. Sungguh.
Sebelumnya, aku pernah bertanya-tanya, kenapa rasanya hidupku berjalan mulus. Maksudnya, masalah apapun yang aku alami saat itu, selalu bisa kuatasi. Apapun masalahnya dan bagaimanapun caranya, semua terlewati begitu saja. Memang, alasan ingin kuliah dan tinggal jauh dari zona nyamanku dulu adalah ingin dapat masalah dan mengatasinya. Namun, akhir-akhir itu, masalah seakan benar-benar kompleks. Mulai dari jatuh cinta hingga perkara remeh tugas aku sangat sial. Sebuah usaha aku lakukan, dan pada akhirnya semua jadi sampah di pikiran. Lalu, sedikit banyak drama bermunculan. Bangsat! Aku masuk di dalamnya pula. Lalu kemanakah cita? Masa bodoh.
Di tengah-tengah itu, aku masih tulus mengerjakan tanggung jawab di lain hal. Tapi lagi-lagi, sakit hati ini ketika itu tidak dihargai. Aku hanya bisa tertawa di tengah lelucon bodohku. Tak tahu saja, getir hati ini mengingat saat itu. Semuanya, seperti ada dan tiada. Kekecewaan tak pernah benar kusebutkan. Tapi, aku kasihan hatiku. Karena dia terus menerus sok kuat, akhirnya sakit juga. Ya, menular ke otak dan jadilah bodoh.
Haha, lucu sekali. Jika tahun ini kembali kuingat,—lewat ingatan pendekku yang tidak begitu detail—setahun ini mungkin adalah gambar hidup bapak. Awal tahun, dengan takut-takut dan berbagai rasa baru yang ada, aku menghadapi tanggung jawab baru. Anggap itu sebuah hubungan. Aku sangat cinta. Aku melakukan segala hal untuknya. Aku, tak kenal egois untuk itu. Ya, meski dari sudut pandangku sendiri. Tapi tetap saja, sebuah hubungan pasti ada masalah. Terlepas siapa yang salah. Sambil meraba-raba aku tetap berjalan.
Setelah melewati pemanasan yang cukup panas, di pertengahan tahun, aku mulai jatuh lagi. Sulit kuakui, tapi menurut analisis orang-orang pada umumnya, itu namanya cinta. Biar sudah, aku ingin fokus pada cintaku yang sebelumnya. Baru saja aku mampu berdiri, keadaan menyuruhku lari. Semua terasa semakin berat.
Dan kuliah? Aman. Meski aku kesal karena ketidakadilan yang kualami selama proses belajar mengajar terhadap nilai yang muncul, tapi itu sudah cukup. Aku tak mau menambah pikiran. Ternyata, kaki yang sibuk berlari itu, tidak juga lelah. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan—dengan berbagai konsekuensi dan sakit hati.
Sibuk. Satu kata itu yang bisa menggambarkan situasinya. Aku lupa ada aspek keluarga di dunia ini. Hal yang sangat-sangat aku sesali. Pada akhirnya, memang penyesalan selalu berada di akhir. Kenyataan bahwa bapak telah pergi, adalah pukulan telak bagiku—bagi seluruh keluargaku, tentunya. Kuliahku berantakan. Harapanku hilang.
Pikirku saat itu, di hari akhirnya pun, bapak menyebalkan. Kenapa bapak tidak memberi firasat? Apa aku saja yang tidak menangkapnya? Foto terakhir yang sering di post para kakak itu, kenapa aku tidak merasa? Kenapa aku tidak berpikir dan masih saja memikirkan hal-hal tidak penting? Sial sial sial. Sial sekali. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan berada di sebelahnya saat banyak selang rumah sakit berada di tubuh bapak. Kebaikan hati bapak yang melarang aku untuk tahu, adalah hal tersakit. Keputusan bapak selalu berlawanan denganku. Kami tidak pernah sepakat.
Bapak selalu melarang jika aku berkata akan potong rambut, beliau tidak tahu saja rambutku sudah kupotong pendek. Tentang aku yang belajar menjadi perempuan karena peran, bapak pasti senang. Beliau tidak tahu itu. Aku belum bercerita juga jika aku yang gendut menjadi lebih kurus. Berita baik untukku, tapi entah untuk bapak.
Aku belum siap, benar benar belum siap. Kalo saja aku anak laki-laki, pasti aku tidak sesedih ini. Kodrat seorang anak perempuan ya begini, akan selalu butuh bapak. Aku iri pada kakak-kakak, bapak menyaksikan mereka tumbuh sampai usia mereka sekarang. Sedangkan aku? Aku baru 21 tahun. Benar, itu usia cukup untuk disebut dewasa tapi tetap saja aku iri. Sangat iri. Bapak sempat menimang dan menyayangi anak-anak mereka, sedangkan aku? Aku dulu masih sempat melihat wajah kakek, ayah bapak, sedangkan anakku kelak? Aku jauh dari tipikal orang yang ingin cepat-cepat berumah tangga memang. Aku ingin bermain, mencari pengalaman dan berpergian. Tapi, jika jadinya seperti ini maka aku menagih segala perspektif masyarakat yang harusnya aku alami juga. Aku masih ingin dimarahi bapak yang sangat cerewet dan baik hati.
Tiba-tiba saja aku teringat, aku tidak pernah tahu wajah ayah dari ibu, kakek. Hahaha, anakku kelak mungkin akan menjadi seperti itu. Hanya kisah-kisah masa lalu, kebaikan hati bapak dan segala leluconnya mungkin akan menemani lewat bayangan. Semoga saja, kisah yang terulang-ulang itu tidak benar-benar sama. Ibu, orang yang lebih patah hatinya daripada aku, harus hidup lebih lama dari nenek. Ibu, orang yang benar-benar kehilangan, harus lebih kuat terlepas dengan segala hal di hidupnya yang mau tidak mau berubah atas meninggalnya bapak. Ibu, orang tua satu-satunya yang kumiliki saat ini, harus bahagia.
Prihal hidup bapak yang hampir sama dengan setahunku ini, itu karena sepertinya hidup bapak tidak pernah mudah. Saat kugali rekam jejaknya, itu sungguh berat. Tapi dengan tawanya, kelucuannya, keikhlasan dan kebaikan hatinya, semua terlewati. Segala sakit hati yang kualami, mungkin bentuk hukuman dari Tuhan karena aku sering menyakiti hati bapak. Bapak, segala janji-janjiku belum satu pun terlaksana. Rencana masa depan kami, pupus. Tidak ada lagi asa. Tidak ada motivasi. Ibu cukup kuat untuk sejenak aku lupakan. Kecerdasan ibu menutup segala kesedihan sehingga aku takabur. Aku masih punya seseorang. Tidak utuh. Hatiku juga. Tapi, kata ibu, bapak pasti tidak mau aku kalah begitu.
Akhirnya aku bisa melihat wajah tenang bapak bersama para kakak dan juga adik-kakak beliau sebelum pemakaman dilanjutkan. Bapak bukan orang yang begitu hebat, tapi tanpa bapak rasa percaya diriku hilang. Sekarang, aku harus tersenyum di akhir tahun ini.
Selasa, 31 Desember 2019
Selasa, 24 Desember 2019
AKU DAN BAPAK
1.2 Jember 25 Desember
Berkali-kali aku
membayangkan, bagaimana jika aku mati sebelum pementasan? Apakah teman-teman
akan sedih? Apa pementasan itu akan gagal? Sepertinya tidak. Atau, bagaimana
jika ada sanak keluarga yang meninggal? Apa tetap tidak ada pilihan untuk
pulang?
Saat itu, aku
benar-benar ingin menghilang. Pergi dari duniaku yang sudah carut marut.
Membayar semua kekesalan dengan stok cerita berbulan-bulan kepada orang-orang
rumah. Suatu siang yang lelah, ketika dosen tak kunjung masuk, aku mengirim
pesan teks kepada ibu. “Gak kangen aku to, Buk?” sebelumnya, aku tak pernah
mengirim pesan semacam itu. Balasannya bukan kata “rindu”, tapi sebuah narasi
singkat yang kurang lebih menyatakan, “Ya mau gimana lagi?” ibu tentu rindu. Setelahnya
aku sering mengirim foto diri. Tidak seperti biasanya, aku benar-benar sering
berfoto. Aku ingin menghilang.
Aku memikirkan
skenario untuk lenyap selain mati. Tapi rasanya, apa yang kulakukan dan
terlintas dipikiran ya mati. Entah tertabrak saat menyebrang, keracunan makanan
bahkan kelaparan atau kekenyangan menjadi alibi bodoh untuk mati. Lalu,
kebingungan lain muncul. Bagaimana orang-orang akan mengurus kematianku nanti?
Apa aku akan dibiarkan saja? Apa mereka akan menggunjing? Apa mereka akan mengobrak-abrik
kamarku yang sudah berantakan? Apa mereka akan menghubungi keluargaku? Ah,
orang tua. Seketika, aku tak ingin mati.
Aku ingin bertemu
mereka dan mengatakan semua kenakalanku, apa-apa yang selama ini terjadi di
hidupku. Tentang betapa sulitnya bertahan di tengah-tengah kesakitan yang
datang dari berbagai arah. Aku ingin bercerita banyak, sangat banyak. Hal yang
benar-benar terbersit di benak adalah, aku ingin memeluk bapak. Bapak saja.
Entah, mungkin kisah salah seorang dosen yang ditinggal mati bapak ketika semester
lima serta oedius complex-nya membuat aku kepikiran bapak. Tidak terlalu, hanya
saja rasanya ingin memeluk beliau. Tidak juga terbersit dipikiran jika aku
mungkin saja mengalami hal itu, tidak. Cuma ingin bertemu, menebus rindu. Aku
pulang, atau bapak ke mari, keduanya sangat aku inginkan.
Suatu malam, ada panggilan
masuk. Bapak. Aku bilang aku di luar. Bapak bertanya sebelah mana. Aku
menjawab. Beliau bertanya lagi posisi pastinya. Aku menjelaskan. Lalu saat aku
tanya apakah beliau di sini, bapak menjawab iya. Senang bukan kepalang. Apalagi
mendengar ada suara ibu di sebelah, membuat aku semakin semangat bertanya
posisi mereka. Saat ponsel beralih ke ibu, bapak tertawa terbahak-bahak.
Seketika aku sadar, bapak bohong. Ya, lelucon biasa yang tidak lucu. Betapa aku
sangat rindu mereka.
Sebenarnya aku
lupa kapan pastinya obrolan terakhirku dengan bapak. Entah, saat beliau bertanya
apa saldo pulsaku sudah masuk, atau saat
membikin lelucon itu, atau juga saat bertanya kenapa aku tidak pernah
menghubunginya, yang jelas panggilan terakhirnya selalu kutolak. Beberapa kali
dan itu sebulan yang lalu. Lucu sekali.
Pikiranku selalu
menjawab, “Sebentar lagi pulang, sebentar lagi pulang, tahan tahan tahan.”
Banyak sekali
yang ingin kupamerkan. Tentang perjalanan ke Semarang serta kota Surabaya yang
penuh kenangan; tempat bertemu bapak dan ibu dulu. Juga aku ingin memamerkan beberapa hal lain
yang sudah kucapai. Pun banyak hal lain yang ingin kutanyakan. Semua itu, tak
mampu ditembus dan ditebus oleh waktu.
Terakhir kali aku
pulang ke rumah, tidak banyak waktu yang ada untuk bisa menatap wajah bapak.
Untung sekali aku terjaga saat bapak pulang dari luar kota. Tidak banyak
mengobrol hanya saling... ah aku bahkan lupa apa yang terjadi waktu itu, yang
jelas besok paginya aku balik ke sini lagi. Sangat singkat.
Pertemuan terakhir
itu sangat sangat singkat. Setelahnya penuh dengan sesal---
Kamis, 12 Desember 2019
AKU DAN BAPAK
Here we go.
SEBUAH PENYESALAN
1.1 Kamis, 12
Desember 2019
Tujuh hari setelah bapak berpulang. Aku pikir, kematian harusnya
tidaklah mengejutkan toh setiap manusia akan mati. Tapi sampai sekarang, aku masih
saja berpikir jika ini mimpi. Lucu sekali. Sudah satu minggu dan aku masih
belum bangun. Bahkan, jika pun ini memang benar-benar mimpi, itu pasti adalah
mimpi yang paling menyakitkan.
Sungguh. Akhir
bulan kemarin aku ingin sekali menulis blog ini. Banyak hal terjadi. Pundak dan
hatiku hampir-hampir tak kuat atas bebannya. Satu dua kata tertulis di warung
kopi. Kemudian berhenti. Waktuku tak pernah cukup. Waktuku tak pernah ada untuk
diriku sendiri, menulis. Ah, juga keluarga.
Ingat sekali,
masih di tempat yang sama, saat aku mengeluh tentang keluarga, seorang teman
berkata, “Ya, itu juga tanggung jawabmu.” Ya, selayaknya organisasi atau tetek
mbengek mata kuliah terkutuk itu harusnya pilihanku jatuh pada keluarga.
“Kalo aku sih
milih egois.” Kata temanku yang lain sore tadi.
“Maksudnya?” aku
bingung.
“Aku lebih milih
egois dan pulang.” Ah, begitu rupanya. Ya, dan aku menyesal tidak menggunakan
egoku untuk berbuat demikian. Aku menyesal memilih tanggung jawab yang benar-benar menjungkirbalikkan
hidupku ini, yang benar-benar membuat dadaku sangat sesak bahkan untuk sekedar
berbicara dan tertawa.
Aku bertingkah
sangat sibuk. Entah latihan, entah syuting, entah rapat, entah nugas atau sekedar
diskusi di warung kopi, aku bilang aku sibuk. Saat senggang dan berniat
menghubungi keluarga, ada saja kendala. Tidak diangkat, tidak ada sinyal, sudah
tidur dan masih tidur, atau kesibukanku yang ‘tidak dianggap’ lainnya, dapur
beban.
Suatu pagi,
panggilan masuk dari nomor yang tidak kusimpan. Bapak. Setelah bertanya sudah
bangun atau belum, sudah makan atau belum, mau apa hari ini dan hal-hal template
seperti biasanya, bapak menambahkan, “Sampean kok nggak tau ngehubungi Bapak to,
Nduk?”
Deg. Iya. Aku
menjawab jika aku mengirim pesan ke ibu.
“Yo iku kan
Ibumu, Bapak yo nggak eroh to.”
Sudah.
Setelahnya masih
biasa saja. Aku tidak berniat pulang. Jadwal yang padat dan mulut-mulut gatal
tak memungkinkan untuk aku bersekongkol dengan waktu merencanakan pelampiasan
rindu. Ah, memalukan disebut rindu. Mungkin itu hanya sebuah rasa saja. Entah
apa namanya, aku ingin pulang. Tidak untuk alasan rebahan, menulis, bermain piano
atau sekedar ketemu orang tertentu, tidak. Hanya ingin. Tidak yang benar-benar
ingin, hanya saja, ada rasa yang kuat.
Hari-hari itu,
aku menonton beberapa drama Korea. Tidak sampai benar-benar mengikuti, hanya
sekedar untuk teman makan atau membunuh waktu di kampus yang kadang
mempermainkanku. Seperti biasanya, sedikit banyak cerita kehidupan boleh jadi
pandangan dunia baru. Saat itu juga imanku sedang goyah-goyahnya. Lagi-lagi
dalil kesibukan jadi alasan. Juga jadwal haid yang maju mundur membikin semakin
stres saja. Lagi-lagi, aku meninggalkan jalanku. Bukan kali pertama, tapi saat
dunia masih berjalan dengan manusia-manusia ‘beragama’, kenapa aku tidak
demikian? Selanjutnya, rasa bersalah yang dulu sering kurasakan tidak lagi
mengikuti. Sebagai gantinya, seakan ada gumpalan hitam tersimpan di hati, keras
dan tajam. Aku berhasil lalai.
Hei, aku tidak
sepenuhnya berbalik arah, apalagi murtad, TIDAK! Aku masih sadar sesadarsadarnya. Aku memilih
karena tahu konsekuensi. Aku bertanya, berdiskusi dan bercerita pada beberapa
teman dari latar belakang yang jauh berbeda. Tak ada ketetapan hati. Bahkan,
saat aku tanya ke kakak, aku tidak mendapatkan pegangan. Sekeras itukah hatiku?
Masalah tidak
hanya datang dari diriku. Lingkar kehidupan kampus yang tidak sehat serta drama
bangsat yang terus menerus semakin rumit tiap harinya membuat aku sakit kepala.
Bagaimana tidak, masalah seorang teman yang tidak sengaja kudengar saja bisa
bikin aku tidak bisa tidur semalaman, apalagi hal yang mau tidak mau aku
terlibat di dalamnya. Aku benci pikiranku!
Singkat cerita,
drama itu hampir mencapai klimaks. Tinggal hitungan jari kupikir semua akan
selesai. Aku akan bebas dari jerat tanggung jawab dan ikatan-ikatan palsu itu.
Dalam hati, kutenangkan batin yang semakin berteriak. Sebentar lagi pulang, tahan-tahan.
Aku mulai berbenah. Berdamai dengan logika dan mencoba menjadi aku yang aku.
Tak benar-benar terjawab, tapi paling tidak aku menahan sedikit emosi dan apa-apa
yang ingin aku keluarkan—bahkan sampai saat ini.
Dan taraaa, aku pulang---
Selasa, 29 Oktober 2019
AKU DAN KISAHKU: Sebuah Satu
Telah kukaji berkali-kali tulisan itu. Satu, dua, tiga dan seterusnya, semua bisa dikaca. Asa yang ditiup, berteman sepi dan rindu. Tapi, bagaimana jika tak ada yang dikenang? Atau, kenangannya terlalu buruk dan sakit?
Ditarik aku ke sebuah mimpi. Di sana aku berteman dengan sepi lagi. Dia datang. Dia datang. Dia datang. Aku teriak dalam sepi yang menjadi sepi. Rona bahagia kupancarkan pada diri sendiri. Tak ada yang tahu, tak ada yang mau tahu. Sampai sebuah sudut menjadikannya terlihat berbeda. Pandanganku sepertinya tak pernah sama dengan manusia lain.
Aku tak bisa bangun. Titik itu menyadarkanku tentang satu hal. Ini bukan mimpi. Jika itu sakit maka sakitlah hati. Jika itu suka, maka berlarilah duka. Ceriaku kuharap jadi ceriamu. Dan sakitmu, bagilah padaku. Kuterima itu dengan senyum, dengan tawa, dengan aliran dari mata.
Tak ada yg bisa bersaksi. Toh, orang terdekatku tak pernah tahu rasanya jadi aku. Pun, orang terdekatmu yg tak pernah jadi kamu. Ya, kita dekat. Kita sering sok kuat. Maka, biarlah sebuah perjalanan jadi cerita. Tentang kebodohan yg selalu diulang, tentang kata yg tak bisa dikata. Tentang hidup dan kehidupan.
Kukatakan di sini sajakah? Baiklah. Aku tak bisa menghentikan batuk, seperti halnya tak bisa menghentikan laju kereta ini.
Sebuah asa dan rasa bercampur aduk dalam pikiran. Setan iblis yang selalu menghantui hari haruku, kisah masa lalu dan ploting masa depan, kukira, kekhawatiran itu memang sebuah bom. Aku mencoba pelit air mata. Tapi, kenapa jadinya malah cuma-cuma? Duh, aku takut mati tiba-tiba.
Sebuah satu untukmu. Dua, tiga dan seterusnya, nanti kan kutulis juga.
Ditarik aku ke sebuah mimpi. Di sana aku berteman dengan sepi lagi. Dia datang. Dia datang. Dia datang. Aku teriak dalam sepi yang menjadi sepi. Rona bahagia kupancarkan pada diri sendiri. Tak ada yang tahu, tak ada yang mau tahu. Sampai sebuah sudut menjadikannya terlihat berbeda. Pandanganku sepertinya tak pernah sama dengan manusia lain.
Aku tak bisa bangun. Titik itu menyadarkanku tentang satu hal. Ini bukan mimpi. Jika itu sakit maka sakitlah hati. Jika itu suka, maka berlarilah duka. Ceriaku kuharap jadi ceriamu. Dan sakitmu, bagilah padaku. Kuterima itu dengan senyum, dengan tawa, dengan aliran dari mata.
Tak ada yg bisa bersaksi. Toh, orang terdekatku tak pernah tahu rasanya jadi aku. Pun, orang terdekatmu yg tak pernah jadi kamu. Ya, kita dekat. Kita sering sok kuat. Maka, biarlah sebuah perjalanan jadi cerita. Tentang kebodohan yg selalu diulang, tentang kata yg tak bisa dikata. Tentang hidup dan kehidupan.
Kukatakan di sini sajakah? Baiklah. Aku tak bisa menghentikan batuk, seperti halnya tak bisa menghentikan laju kereta ini.
Sebuah asa dan rasa bercampur aduk dalam pikiran. Setan iblis yang selalu menghantui hari haruku, kisah masa lalu dan ploting masa depan, kukira, kekhawatiran itu memang sebuah bom. Aku mencoba pelit air mata. Tapi, kenapa jadinya malah cuma-cuma? Duh, aku takut mati tiba-tiba.
Sebuah satu untukmu. Dua, tiga dan seterusnya, nanti kan kutulis juga.
Sabtu, 28 September 2019
Aku dan Kisahku
3.48 WIB
Halo, hehe...
Selamat pagi mata. Sambatan biarlah sebatas dengung lagu. Irama balada dengan lirik delik.
Tidak ada hal spesial untuk kisah kali ini. Hanya ingin. Baru saja ingatan berjalan ke masa lalu. Bukan sebatas membaca atau mengenang saja. De javu yang tersengaja. Ah, bangsat sekali hidup ini. Bodohnya ya aku tetap memasang senyum. Iya senyum. Bodoh.
Baiklah, mari berbicara masa lalu yang berhubungan dengan mimpi dahulu. Ya mimpi secara istilah, harfiah atau apapun itulah. Pada dasarnya, kecintaanku pada Korea memang terikat oleh waktu. Rindu playlist lama yang itu-itu saja membawa pada bincang panjang perjalanan remaja. Ngerekam soundtrack drama Korea yang tayang pake hape Nokia 6300 tanpa kartu memori. Terus didengerin deh suara kemeresek itu pas mau tidur. Kedenger tuh suara ibuk pas teriak-teriak bilang jangan nonton TV terus.
Sampai beberapa waktu kemudian suara itu dirindukan. Saat mengingat masa dulu, padatnya aktivitas rumah (memasak, mencuci dan lainnya), tugas dan tanggungan belajar, masih sempat-sempatnya ya nontonin drama Korea sekalian nulis lirik yang tidak jelas itu. Dan dari rekaman menumpuk itu, yang dirindukan tidak hanya lagu, instrumen atau feelnya saja, tapi omelan ibuk. Jika aku sudah terbiasa ditinggal ke luar kota oleh bapak, maka saat itu aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup jauh dengan ibuk.
Saat itu SMP, jamannya City Hunter, 49 Days, Secret Garden, Dong Yi, Bread Love and Dream, The Moon, dan buanyak lainnya. Ga bisa kesebut satu-satu dong. Dan, saat terlewat saja satu segmen atau beberapa detik saja, hancur sudah hariku. Apalagi jika pas sore ada pertandingan bola, bisa sehari aku bakal monyong di depan bapak. Lampu mati itu mimpi buruk. Ah, di tengah-tengah itu semua aku masih ngerjain semua tugas rumah, belajar, bikin-bikin kerajinan tangan aneh-aneh kayak di TV, nulis catatan harian, baca novel, bikin puisi, berimajinasi dan nangis. Sekarang ma apa aku? Bisanya cuma mikirin hal ga penting, hehe.
Masa SMP itu tuh masa paling berkesan. Sekaligus masa-masa yang nggak ingin banget aku alami lagi. Bahkan, jika beneran ada time treveller ngajakin jalan-jalan gratis ke masa lalu, aku tidak ingin!
Bisa lulus dengan nilai empat besar tertinggi pararel dan pernah memenangkan beberapa lomba di kondisi saat itu bener-bener survive rasanya. Tapi, kebanggaanku pada diriku masa itu lebur karena pikiran bodoh yang terus muncul. Ah, bangsat. Kenapa dulu aku tidak berpikir jika orang baik tidak selalu baik?
Jadi, saat kelas VIII, aku masuk ke kelas eee eksklusiflah~ banyak dong murid pinter. Tapi, banyak juga sih yang bacod. Eh, tapi setelah persami, waktu itu, tiba-tiba saja.... ah... bodoh ah... bodo amat dah!
Intinya, selama kelas VIII aku kena buli gegara omongan ga bener anak-anak. Ada yang bilang aku suka sama seorang temen di kelas yang pada kenyataannya sama sekali enggak. Kalaupun iya, ya kenapa juga gitu? Pokoknya kejadian itu bener-bener bikin aku jadi mundur dari pergaulan. Bangsat memang! Dan parahnya lagi, dengar-dengar isu itu muncul dari temen pendiem yang tidak pernah kuduga. Kemudian jatuh pada lambe-lambe julit yang ke sekolah buat nampang doang. Astaghfirullah... hehehe.
Sejak saat itu, aku menghindar dari temen laki-laki. Bahkan, temen-temen deket laki-laki kelas VII dulu kuhindari juga. Aku juga tidak saling sapa dengan teman laki-laki yang sangat dekat sejak kecil di sekolah. Efeknya besar sekali buatku. Gila saja, omongan-omongan goblok itu tersebar ke seluruh angkatan, bangsat. Padahal itu cowok yang dibilang anak-anak tidak begitu mengangumkan. Sampai lulus, hanya beberapa nama yang kuingat menjadi nama baik. Lainnya, hanya tokoh antagonis dan pengikut-pengikutnya.
Jangan dikira SMA beda. Beberapa dedengkot dan bahkan tokoh-tokoh kontroversial dalam masalah itu sialnya satu almamater lagi. Tak ada bahasan mendalam tentang itu. Klarifikasi-klarifikasi hanya untuk orang-orang yang mau berpikir saja. Sisanya ya sama asumsi masing-masing. Gerakku nggak bebas.Mata-mata mereka seakan masih menyorot tajam seperti di kelas dulu. O iya, ada yang satu ekskul pula. Mendebarkannya hidupku.
Untung saja aku bertemu dengan RYFAR, Almh. Ristin, Yesi, Fikoh, Aku dan Rima. Kekanakan memang, tapi dengan mereka aku benar-benar bahagia. Terserah mau bilang kami introver atau apa, toh kenyamanan orang beda-beda. Sampai detik ini sepertinya mereka sendiri tak tahu jika mereka obatku. Cerita kelam yang tidak pernah kuumbar-umbar tentunya. Ah, rindu mereka. Mereka yang tak lagi bersama.
Alasan lain mengapa aku dulu tidak ingin kuliah di universitas negeri terdekat adalah kemungkinan bertemu orang-orang itu. Dan saat takdir membawaku pada masa lain dan dengan orang-orang asing, aku bersyukur. Meski takdir membawa pada tempat yang sama, masa kami berbeda. Itu lebih baik.
Aku ya tetap aku. Dari dulu ya emang begini. Khususnya pas SMA, palingan pas ngereceh gitu diledek dan ditinggal pergi. Siapapun itu, temen yang mana saja. Cuma ya gitu, pas ada ledekan yang bener-bener ga bener. Apapun itu, kadang suka gedek. Setelah kelam-kelam SMP itu sih aku mencoba berpikir positif. SEMUA OMONGAN GA BENER ADALAH GUYON. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang berlebih. Nyali ilang. Seingatku, baru ada satu orang yang pernah kuceritakan kisah ini. Dua, dengan adik sepupu deng. Jelas, ini menyakitkan. Peduli amat misinformasi atau disinformasi, mereka aja ga peduli kok itu info bener nggaknya. Dan, saat aku berani menulis di sini, aku belajar lagi. Tidak, bukan untuk memaafkan, karena maafku murah, mudah. Hanya obat. Saat aku berstatus pasien, Tuhan mengambil obatku. Jadi, saat aku sehat begini (semoga), semoga sakit itu bisa hilang.
Selamat pagi. Adzan Subuh sudah berkumandang 40 menit yang lalu. Ah, lagi-lagi antusias menulis datang saat banyak tugas. Ah... Ah... Ah.... Ya sudah sih. Emang pertolongan pertama pada rasa sakit hati kayaknya menulis deh. Semoga hari yang 'seperti' hari ini tidak menyakitkan lagi. Semoga.
Halo, hehe...
Selamat pagi mata. Sambatan biarlah sebatas dengung lagu. Irama balada dengan lirik delik.
Tidak ada hal spesial untuk kisah kali ini. Hanya ingin. Baru saja ingatan berjalan ke masa lalu. Bukan sebatas membaca atau mengenang saja. De javu yang tersengaja. Ah, bangsat sekali hidup ini. Bodohnya ya aku tetap memasang senyum. Iya senyum. Bodoh.
Baiklah, mari berbicara masa lalu yang berhubungan dengan mimpi dahulu. Ya mimpi secara istilah, harfiah atau apapun itulah. Pada dasarnya, kecintaanku pada Korea memang terikat oleh waktu. Rindu playlist lama yang itu-itu saja membawa pada bincang panjang perjalanan remaja. Ngerekam soundtrack drama Korea yang tayang pake hape Nokia 6300 tanpa kartu memori. Terus didengerin deh suara kemeresek itu pas mau tidur. Kedenger tuh suara ibuk pas teriak-teriak bilang jangan nonton TV terus.
Sampai beberapa waktu kemudian suara itu dirindukan. Saat mengingat masa dulu, padatnya aktivitas rumah (memasak, mencuci dan lainnya), tugas dan tanggungan belajar, masih sempat-sempatnya ya nontonin drama Korea sekalian nulis lirik yang tidak jelas itu. Dan dari rekaman menumpuk itu, yang dirindukan tidak hanya lagu, instrumen atau feelnya saja, tapi omelan ibuk. Jika aku sudah terbiasa ditinggal ke luar kota oleh bapak, maka saat itu aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup jauh dengan ibuk.
Saat itu SMP, jamannya City Hunter, 49 Days, Secret Garden, Dong Yi, Bread Love and Dream, The Moon, dan buanyak lainnya. Ga bisa kesebut satu-satu dong. Dan, saat terlewat saja satu segmen atau beberapa detik saja, hancur sudah hariku. Apalagi jika pas sore ada pertandingan bola, bisa sehari aku bakal monyong di depan bapak. Lampu mati itu mimpi buruk. Ah, di tengah-tengah itu semua aku masih ngerjain semua tugas rumah, belajar, bikin-bikin kerajinan tangan aneh-aneh kayak di TV, nulis catatan harian, baca novel, bikin puisi, berimajinasi dan nangis. Sekarang ma apa aku? Bisanya cuma mikirin hal ga penting, hehe.
Masa SMP itu tuh masa paling berkesan. Sekaligus masa-masa yang nggak ingin banget aku alami lagi. Bahkan, jika beneran ada time treveller ngajakin jalan-jalan gratis ke masa lalu, aku tidak ingin!
Bisa lulus dengan nilai empat besar tertinggi pararel dan pernah memenangkan beberapa lomba di kondisi saat itu bener-bener survive rasanya. Tapi, kebanggaanku pada diriku masa itu lebur karena pikiran bodoh yang terus muncul. Ah, bangsat. Kenapa dulu aku tidak berpikir jika orang baik tidak selalu baik?
Jadi, saat kelas VIII, aku masuk ke kelas eee eksklusiflah~ banyak dong murid pinter. Tapi, banyak juga sih yang bacod. Eh, tapi setelah persami, waktu itu, tiba-tiba saja.... ah... bodoh ah... bodo amat dah!
Intinya, selama kelas VIII aku kena buli gegara omongan ga bener anak-anak. Ada yang bilang aku suka sama seorang temen di kelas yang pada kenyataannya sama sekali enggak. Kalaupun iya, ya kenapa juga gitu? Pokoknya kejadian itu bener-bener bikin aku jadi mundur dari pergaulan. Bangsat memang! Dan parahnya lagi, dengar-dengar isu itu muncul dari temen pendiem yang tidak pernah kuduga. Kemudian jatuh pada lambe-lambe julit yang ke sekolah buat nampang doang. Astaghfirullah... hehehe.
Sejak saat itu, aku menghindar dari temen laki-laki. Bahkan, temen-temen deket laki-laki kelas VII dulu kuhindari juga. Aku juga tidak saling sapa dengan teman laki-laki yang sangat dekat sejak kecil di sekolah. Efeknya besar sekali buatku. Gila saja, omongan-omongan goblok itu tersebar ke seluruh angkatan, bangsat. Padahal itu cowok yang dibilang anak-anak tidak begitu mengangumkan. Sampai lulus, hanya beberapa nama yang kuingat menjadi nama baik. Lainnya, hanya tokoh antagonis dan pengikut-pengikutnya.
Jangan dikira SMA beda. Beberapa dedengkot dan bahkan tokoh-tokoh kontroversial dalam masalah itu sialnya satu almamater lagi. Tak ada bahasan mendalam tentang itu. Klarifikasi-klarifikasi hanya untuk orang-orang yang mau berpikir saja. Sisanya ya sama asumsi masing-masing. Gerakku nggak bebas.Mata-mata mereka seakan masih menyorot tajam seperti di kelas dulu. O iya, ada yang satu ekskul pula. Mendebarkannya hidupku.
Untung saja aku bertemu dengan RYFAR, Almh. Ristin, Yesi, Fikoh, Aku dan Rima. Kekanakan memang, tapi dengan mereka aku benar-benar bahagia. Terserah mau bilang kami introver atau apa, toh kenyamanan orang beda-beda. Sampai detik ini sepertinya mereka sendiri tak tahu jika mereka obatku. Cerita kelam yang tidak pernah kuumbar-umbar tentunya. Ah, rindu mereka. Mereka yang tak lagi bersama.
Alasan lain mengapa aku dulu tidak ingin kuliah di universitas negeri terdekat adalah kemungkinan bertemu orang-orang itu. Dan saat takdir membawaku pada masa lain dan dengan orang-orang asing, aku bersyukur. Meski takdir membawa pada tempat yang sama, masa kami berbeda. Itu lebih baik.
Aku ya tetap aku. Dari dulu ya emang begini. Khususnya pas SMA, palingan pas ngereceh gitu diledek dan ditinggal pergi. Siapapun itu, temen yang mana saja. Cuma ya gitu, pas ada ledekan yang bener-bener ga bener. Apapun itu, kadang suka gedek. Setelah kelam-kelam SMP itu sih aku mencoba berpikir positif. SEMUA OMONGAN GA BENER ADALAH GUYON. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang berlebih. Nyali ilang. Seingatku, baru ada satu orang yang pernah kuceritakan kisah ini. Dua, dengan adik sepupu deng. Jelas, ini menyakitkan. Peduli amat misinformasi atau disinformasi, mereka aja ga peduli kok itu info bener nggaknya. Dan, saat aku berani menulis di sini, aku belajar lagi. Tidak, bukan untuk memaafkan, karena maafku murah, mudah. Hanya obat. Saat aku berstatus pasien, Tuhan mengambil obatku. Jadi, saat aku sehat begini (semoga), semoga sakit itu bisa hilang.
Selamat pagi. Adzan Subuh sudah berkumandang 40 menit yang lalu. Ah, lagi-lagi antusias menulis datang saat banyak tugas. Ah... Ah... Ah.... Ya sudah sih. Emang pertolongan pertama pada rasa sakit hati kayaknya menulis deh. Semoga hari yang 'seperti' hari ini tidak menyakitkan lagi. Semoga.
Sabtu, 10 Agustus 2019
Aku dan Kisahku
Halo, kali ini aku nulis sambil berdiri di bus jalur Jember-Banyuwangi. Biasanya sih kalo naik bus seringnya teler. Enggak pun hape disimpan. Selain takut ilang juga gampang pusing kalo main hape di bus.
Ini kali ketiga naik bus dapat berdiri. Pertama, pas daftar ulang PTN. Inget banget waktu itu berdua doang sama sepupu. Belum biasa naek bis. Eh malah dapat berdiri. Di tengah perjalanan, baru dapet satu tempat dan kongsi sama sepupu.
Kali kedua ya hampir sama kayak sekarang. Pas malam takbiran. Buh, itu bus udah penuh banget! Apalagi waktu itu malam kan. Aku berdua sama temen. Mujur nasib dia. Di tengah perjalanan ada yg turun di sebelahnya dan dia duduk di situ. Sambil merasa kasian sesekali dia noleh ke aku yang terus berdiri sampe terminal terakhir. Hiksss.
Nah, untuk sekarang ini aku mengantisipasi agar tidak penuh macam dulu. Jadi berangkat pas matahari masih nampak. Heladalah, ternyata sama saja. Sat! Tapi nggak tahu kenapa, meski dapat berdiri aku santai. Nggak sebel-sebel banget kayak dulu. Apalagi lihat banyak orang berkumpul dengan berbagai kepentingan dan latar belakang. Malah bisa main hape begini. Sesekali mainin Candy Crush juga. Seneng aja gitu bisa survive. Lebay ah!
Aku nih sebenernya pemabuk (bukan minol loh ya). Nggak pernah naek kendaraan umum tanpa orang tua. Dari kecil tiap mudik ke Jombang tiada pernah tak mabuk. Bahkan sekedar wisata religi ke kota aja teler--untung waktu itu didampingi kakak.
Awal berpergian tanpa ortu dan mengharuskan mandiri adalah ke Jogja. Waktu itu masih SD. Yah, seperti perjalanan pada umumnya sih. Dan tidak mabuk adalah hal yg lebih menyenangkan dari berwisata. Bayangan mabuk perjalanan saat berwisata adalah sesuatu yang pak-puk. Kadang diri malah merugi rasanya.
Selanjutnya ya study tour lagi. Ke Jogja lagi. Pas SMP. Anehnya aku tidak apa-apa lho. Sama sekali nggak mabuk. Padahal sebelum ke Jogja yang kedua itu, aku ke Bali sama bapak, ke Surabaya sama Bapak dan kedua-duanya mabuk parah.
Ketika masuk SMA, beberapa kali ke luar kota untuk lomba marching band. Pertama ke Probolinggo, duh itu perjalanan paling bermasalah selama ini. Gegara makan snack jagung mabuk disepanjang perjalanan. Bahkan, di Probolinggo sana selama tiga hari nggak bisa makan apa-apa karena mual. Untung waktu itu cuma jadi tim hore. Selanjutnya lomba kejurprov di Madiun. Its okay. Aku baik-baik saja. Begitupun saat lagi-lagi study tour ke Jogja.
Haish, ini tadi sudah turun bis. Sudah nggak berdiri, sudah sampai di rumah dan sudah jadi besok. Sekarang bukan kemarin. Oiya, kemarin di perjalanan ketemu sama mbak-mbak sekret tetangga. Kebetulan dia kakak kelas SMAku. Tapi kita nggak pernah kenal sebelumnya. Dan mujur, mbak itu langsung dapat duduk gitu. Meski di depan deket pak sopir paling nggak untunglah ya. Nggak apa-apa sih. Nanti kalo mbaknya ikutan berdiri dan ternyata noob malah kesian.
Gitu aja kali ya, curahan hati kali ini. Aku nggak sempet cerita tentang bapak asongan atau pengamen yg saking seringnya aku naik bis jadi hafal wajahnya. Enggak juga tentang dilema angkot K yg kayak korek api--pas dibutuhkan ilang, pas ga dibutuhin nongol terus. Juga tarif perjalanan PP yg setara tiket bioskop sama doi. Dan masih banyak lagi potongan cerita-cerita di dalam bus. Mungkin di lain kesempatan. Mungkin.
Eh iya, sebenernya ada hal lain yang ingin banget aku tulis. Hal yang sulit untuk diceritakan ke siapapun. Sebuah fakta kalo di lingkar pertemanan banyak hal yang bias. Hal yang membuat seakan-akan diri menjadi bodoh dan bilang "oh", sambil misuh-misuh. Dan kalo salah pilih teman diskusi bisa malah nyakitin hati. Tapi karena belum sempat dan kebetulan kemarin nulis ini di bus, ya ini dulu. Juga, kemarin di perjalanan kepikiran tentang konsentrasi kuliah. Kalo aku bisa nyelesaiin bacotan ini, maka aku bakal stay di sastra. Dan kalo enggaaaa... tetep usaha buat nyelesaiin sih. Hehe. Ini buktinya. Emang terkesan asal-asalan, tapi yaudahlayaa. Hehe.
Senin, 25 Maret 2019
Aku dan Kisahku
23.25 WIB
Tak ada yang spesial hari ini, atau pun besok. Asal tahu saja, 21 tahun yang lalu aku lahir. Haha, menyedihkan. Ah, sebenarnya tidak. Biar kuceritakan kisah-kisah di tanggal keramat itu, 26.
Beberapa jam dari sekarang, dua puluh satu tahun yang lalu aku lahir di rumah sakit jalur eksklusif. Operasi. Jangan dipikir keluarga kami kaya. Ayahku seorang supir taksi di Surabaya, padahal kami tinggal di Banyuwangi. Entah seperti apa kerja keras ayah dulu, yang jelas, untuk membawaku ke rumah reot kami, ibu harus meminta sawah nenek yang harusnya jadi warisan dikemudian hari.
Tentang rumah, itu hanya kotakan dengan gedek pada keempat sisinya. Di dalam hanya ada sebuah ruang besar dan satu bilik kecil berisi dua kasur. Bilik itu biasa disebut kamar. Di dalamnya penuh sesak dengan gombal dan macam-macam yang lain. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingat kejadian di rumah itu. Tapi dalam album foto yang menampakkan aku dan kakak laki-lakiku, aku tahu ada TV tua dengan tombol-tombol besar di sisi kirinya, ada di atas kasur juga. Berbagai macam kalender dan koran tertempel di dinding bambu itu. Juga poster alfabet, nama-nama buah dan nama-nama binatang. Kata ibu, biar nggak ada yang ngintip kita dari luar. Bisa bayangin dong, seberapa besar lubang dari anyaman bambu itu.
Aku dengan lancangnya, lahir di tengah krisis dan menghabiskan banyak biaya. Nenek memang bukan dari keluarga kaya, tapi jika aku melihat paman atau bibi yang punya harapan padasawah mereka aku jadi menyesal. Kenapa aku lahir dengan demikian? Sawah keluargaku, ya aku.
Ayah memang ingin punya anak perempuan. Terang saja, ketiga kakak dan kakak kandungku yang tiada saat dikandungan, semuanya laki-laki. Haha, benar. Ibuku istri kedua ayah setelah bercerai dengan ibu kakak laki-laki yang tumbuh bersamaku sekarang. Kakak yang ada di album tadi. Cerita tentang itu sangat rumit. Lain kali saja.
Sebenarnya, aku tak ingat detail kejadiannya. Menurut potongan-potongan cerita dari sanak dan tetangga, setelah berhenti menjadi supir taksi di Surabaya, beliau bekerja sebagai selep keliling, orang yang mengambil gabah dari rumah ke rumah dan membawanya ke pabrik selepan untuk diolah menjadi beras siap masak. Sangat sedikit memori yang ada saat itu. Hanya sebuah rumah reot dan halaman yang luas, kolam dengan sekat untuk mandi serta kambing kecil yang diikat di belakang rumah. Ah, untung saja ingatanku tidak tajam. Jika iya, maka air mata ini pasti meleleh.
Mungkin umurku empat tahun saat itu, yang jelas aku memakai seragam hijau dengan dalaman putih selutut. TK. Rumah kami pindah. Dari yang awalnya di sebelah kanan rumah budhe jadi ke seberang jalan, jauh di kiri rumah budhe. Rumah baru kami bertetangga dengan bulek. Budhe dan bulek adalah saudara-saudara ibu.
Jangan dipikir pindahnya kami adalah sebuah penyelesaian di cerita ini. Tidak. Konflik saja belum muncul. Aku kuat menjabani cerita ini dengan mata terkantuk-kantuk daripada mengerjakan tugas Kajian Drama untuk besok pagi. Rumah baru itu tidak jauh beda dengan yang lama. Hanya saja setengah ke bawah dindingnya dari bata. Nah, sisanya anyaman bambu juga, haha.
Tapi, entah mengapa rumah itu sangat nyaman. Sangat-sangat aku rindukan. Tak jelas seperti apa bentukan rumah di awal kami menempatinya yang jelas, lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, dari waktu ke waktu, rumah itu dipernyaman dengan tembok bata yang disemen (entah apa namanya) dan dicat sekalian bambu-bambunya. Juga, lantai tanah yang diperhalus dengan semen. Rumah itu adalah rumah ternyaman dalam benak bocah SD.
Waktu terus berlalu. Umurku kian hari kian bertambah. Ayah dengan pekerjaannya di KUD sebagai supir elf atau bis mini, lancar-lancar saja. Setelah wara-wiri coba sana sini, kirim muatan ke luar kota, nyetir tronton yang akhirnya njeglong di depan rumah dan lain-lain, beliau bertahan lama di travel KUD itu. waktu-waktu itu adalah saat bahagia. Saat di mana setiap kali aku ulang tahun selalu diajak makan di luar serta mengajak seluruh keluarga besar dengan bis mininya. Yah, walalupun sebatas warung ayam pedas, bakso, sate atau nasi goreng, aku senang. Apalagi, rezeki seperti itu selalunya ada ketika ulang tahunku. Kalian tahu saja, selalunya saat kakakku yang ulang tahun, ekonomi keluarga kami seret.
Bertambahnya usia membuat aku semakin berpikir luas. Di penghujung masa sekolah dasar, KUD tempat ayah bekerja koleps. Ayah mengantar orang dengan bus mini itu bukan lagi order dari KUD melainkan koneksi ayah sendiri. Saat itu juga ibu punya warung toko yang digelar di ruang tamu. Jadi ruang tamu kami menyusut 50 %. Pikirku masih senang saja, bisa jajan gratis. Padahal, warung itu berisi dagangan bibi yang harus gulung tikar karena melahirkan sepupuku. Aku yang nakal masih saja memanfaatkan hal itu. Comot jajan saat ibu lengah. Apalagi saat di rumah sendiri, aku leluasa berbuat dosa. Pergi ngaji ke masjid diam-diam bawa jajan dan membagikannya ke teman-teman. Pun, ketika kakak yang waktu itu SMP dan jajan tidak pernah sampai lima ribu sehari, aku selalu mengambil paling tidak tiga sampai lima lembar uang dua ribuan. Tentu tanpa sepengetahuan ibu. Jahatnya aku.
Lama-kelamaan aku sadar. Kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik. Ayah punya banyak hutang di KUD sehingga sulit untuk berhenti dan warung toko itu tidak berjalan lancar--gara-gara aku? Selain itu, mataku juga terbuka. Di mana lagi ada rumah yang dindingnya masih bambu selain rumahku? Di mana lagi tetangga yang mandi masih di kubangan air dengan bilik di belakang rumah? Tak ada. keluargaku tertinggal. Status itu menempel jelas.
Bisa melanjutkan sekolah ke SMPN dekat rumah adalah sebuah keberuntungan. Pasalnya, aku yang selalunya ada di tiga besar, tiba-tiba saja mendapat nilai UN tiga terendah. Untung rapot bisa menolong. Di sana, aku mendapati kesedihan semakin terasa. Bahkan, ibu tak mampu membelikan buku tulis. Aku memakai buku sisa-sisa pelajaran SD. Sangat berbeda dengan masa SDku dulu. Saat di SMP juga, ayah pindah ke KUD lain yang lebih jauh. Di sana, ayah menjadi supir umum dengan gaji minim. Ayah tidak keberatan karena hutang-hutang di KUD sebelumnya ditanggung KUD baru itu. Hal itu membuat ibu turun tangan. Ia bekerja di Banyuwangi kota yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Singkat saja, selama ibu bekerja di sana, aku hanya pernah mengunjunginya sekali. Yang sangat terbekas di memoriku adalah saat-saat ibu pulang. Ingat betul saat itu aku tengah menonton The Moon That Embresses The Sun di kamar. Tanpa bilang apa-apa dia pulang. Sayangnya, alasan kepulangan ibu karena sakit telinga.
Ulang tahun ke 13, 14 dan 15-ku selalu diucapkan oleh seorang kawan. Teman yang kudapat saat kelas tujuh itu, lahir sehari sebelum aku. Kami selalu saling memberi selamat. Begitupun sekarang, ah tadi. Aku menginboxnya dari FB. Dia teman terpandaiku di SMP. Dia juga dari keluarga berada. Tapi sayang, dia memutuskan untuk menjadi ibu. Emh, tak apa sih, ehehe.
O iya, di kelas sembilan, ulang tahunku bertepatan dengan UN. Dan kalian tahu, terlepas dari segala tekanan masa SMP, nilai UN-ku lumayan. Empat besar dari hampir dua ratus siswa. Nilai itu membawaku masuk ke SMAN favorit di daerahku.
Kisah berlanjut. Cita dan cita masih terus kubangun. Setiap tanggal dua puluh enam maret, seperti biasanya, aku menuliskan segala harapku. Hanya tentang mimpi dan mimpi. Ya, aku terus bermimpi dan bermimpi.
Mimpiku untuk mengenakan seragam abu-abu berujung di tempat ini. Meski harus menunggu satu tahun setelah kelulusanku, tak apa. Toh, semua juga salahku. Ya, jika tidak pun mungkin karena takdir, kehendak Tuhan.
Sebelum sampai di sini, ada keseruan yang kulewati. Bekerja. Sebelum bosan dengan kegiatan menonton drama korea dan mengetik novel di kamar pengap tanpa jendela, aku tergerak untuk ke Bali. Di sana tempat mudah meraup pundi rupiah serta pengalaman. Dengan tawaran menggiurkan dari kakak sepupu, aku nekat ke sana. Menaiki motor dengan orang asing kenalan kakak itu. Tepat seminggu setelahnya aku pulang. Tak kuat. Hal mistis menjadi alibi mental recehku.
Di rumah aku dapat kado indah. Persetan dengan sweetseventeen, saat itu aku sudah umur delapan belas tahun dan rumah kami baru memiliki kamar mandi. Miris.
Setelahnya aku mendapat pekerjaan. Buruh di pabrik roti. Berat memang, tapi latar belakang pendidikanku yang lumayan dari mayoritas di sana membuatku sedikit berani berargumen. Namun, norma, jam terbang dan senioritas masih sering membungkamku. Apapun itu, aku gali sebanyak-banyaknya rupiah dari sana. dalam pikiranku, hanya ada sebuah smartphone yang belum pernah aku miliki dan tabungan untuk kuliah.
Di penghujung tahun 2016, aku mengajak kakak membeli ponsel. Saat itu tabunganku lebih dari cukup untuk membeli android seperti milik teman-teman di SMA dulu. Tapi, kakak masih melarang. Dia bilang nanti saja, terus begitu. Katanya beli yang mahal sekalian biar awet. Padahal waktu itu aku butuh. Ya buat main blog begini.
Akhirnya kakak kalah. Kami ke gerai ponsel dengan seorang keponakan yang mafhum dengan tetek mbengek begituan. Tabunganku terkuras habis. Dua setengah juta singgah di konter itu. Namun sayang, sepertinya konfik baru dimulai. Ponsel yang baru kudapat itu, hilang begitu saja. Ingat betul, saat itu tanggal 1 Februari.
1.20 (Pindah laptop karena yang sebelumnya eror)
Ya, kembali ke hari itu. Hari di mana aku akan bertemu teman SMA untuk mengambil uang bantuan yang dijanjikan dulu sekolah dulu du bank. Ternyata, tidak ada. Tidak ada dana itu, pun saat aku ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang kebetulan berkunjung untuk menyaksikan pensi dies natalies, semua seakan membuatku muak saja. Pikiranku kacau hari itu.
Aku dan seorang teman mampir ke warung bakso. Setelah sampai rumah, aku sadar hapeku hilang. Lagi-lagi seperti mimpi. Mendapatkannya seperti mimpi. Hilangnya pun seperti mimpi. Apa kabar berbagai draft tulisan yang kusimpan di sana? Foto-foto selama bekerja di pabrik? Rupiah dari keringatku ;( Apalagi waktu itu mendekati hari pernikahan kakakku. Sedih sekali saat aku sudah berangan-angan akan mengabadikan momen bahagia itu memori itu. Nyatanya, tetap saja air mata yang membanjiri. Ya, aku menangis di KUA. Bukan lagi karena ponsel itu, tapi karena merasa akan kehilangan kakak. Laki-laki kedua di hidupku.
Kembali ke titik masalah. Aku kembali menghitung-hitung tabungan. Cuma sedikit. Tak cukup bahkan untuk membeli hape baru murahan, apalagi membayar kuliah. Jadi, aku tunda rencana berhenti bekerja. Setidaknya aku harus menabung sedikit lagi untuk UKT awal.
Dan benar, semakin lama memang gajiku semakin bertambah. Pekerjaan tentu semakin muda karena jam terbangku tinggi. Bicara soal Maret, saat itu sudah masuk bulan Maret. Seorang teman kerja yang usianya jauh di bawahku tengan berulang tahun. Dia bekerja sudah sejak umur 15, berhenti sampai SMP. Ibunya meninggal setelah sakit-sakitan saat aku baru bekerja di sana dulu. Ia tidak pernah bertemu ayahnya dan tinggal bersama neneknya. Dia juga harus membiayai adik yang akan masuk SMA, itu tekatnya.
Ingat betul, saat itu kami kerja di shift malam. Aku sedang menjalankan mesin korin untuk mempacking roti dan dia jauh di belakang memilah hasil packing yang buruk. Seperti yang kubilang, latar belakang pendidikan sangat menentukan. Mesin korin yang kupakai ini dulunya dia yang menjalankan. Aku menatapnya, mengamatinya, tentu sambil bekerja. Dia menoleh dan tersenyum. Jam besar yang masih saja terlihat kecil di sisi tembok baru menujukkan angka dua belas. Aku membuka masker. Dan memainkan mulut berucap, "HeBiDi," Dia yang maskernya memang sudah terbuka tersenyum. Dia mengerti maksudku. Aku senang.
Kebimbangan untuk bekerja atau kuliah semakin menjadi. Namun, aturan pabrik yang tiba-tiba semakin rumit membawaku pada hengkang. Aku tak peduli dengan tabungan lagi. Aku hanya ingin diterima kuliah.
Dengan persiapan seadanya, aku berangkat. Setelah A,I,U,E dan O, esoknya aku pulang. Malam harinya aku merayakan segala yang telah aku lewati dengan menonton drama. Senang bukan kepalang, aku berdiri dan meloncat ke kasur, tanpa sadar headphone masih di telinga. Notebook yang aku gunakan saat ini jatuh bebas tanpa halangan. Sakit.
Tiga hari berlalu aku menyalakannya, tapi baterainya rusak. Biaya mengganti sekitar limaratus ribu. Ah, uang manalagi? Tapi, kalau aku tidak memperbaikinya, gimana aku mengerjakan tugas-tugas kuliah?
Aku lupa mana dulu, entah pengumuman lolos atau memperbaiki laptop, yang jelas aku lolos di tempat ini dan bateraiku baru. Namun sayang seribu sayang, masalah bukan hanya di baterai tapi di laptop ini sendiri. Luka yang kubuat masih membekas sampai sekarang. Dia sering mati kalau panas upss... Baterainya juga cepet habis. Sedih deh...
Belum setahun tingal di sini, aku menemukan banyak teman baru. Sebuah kejutan pertama aku dapat di umur duapuluh, tahun kemarin. Sehari sebelum hari H aku masih PJTD di luar kampus.Eh, pas tanggal 26 semua temen-temen santai aja gitu. Juga temen deketku dari SMA yang juga satu kampus. Apalagi badmood gegaa tugas.
Besoknya pas siang-siang, seorang temen bilang mau ngikut ke kos. Tumben sekali anak ini. Terus si temenku yang dari SMA ini bilang mau beli es batu dulu jadi kutinggal. Dan setelah kami masuk kamar, aku dan dua orang yang lain, ada ketukan dari gerbang. Empat orang temen termasuk si yang bilang beli es tadi bawa-bawa pisang goreng banyak dengan lilin gitu. Uhh.
Kejutan nggak berhenti. Malamnya ada kelas dan aku janji ke temen-temen buat pake rok. Sayangnya si temenku dari SMA ini ga ada kelas. Jadi dia ga bisa lihat dong. Eh, pas seorang temen minta tolong ngantar ke sekret, ke belakang, si temen SMA ini dari kegelapan kantin muncul dengan kue kecil-kecil dan lilin. Nangis dong akunya. My tweenty.
Untuk saat ini aku ga buat permintaan di blog. Cuma pengen nulis dan pas di hari ini aja. Buat ke tujuh temen kuliahku, thanks udah pernah bikin aku bahagia. Permasalahan yang sering kita alami itu ya jalan buat kita semakin deket. BTW, sorry buat yang ultah baru-baru ini aku nggak ngucapin atau ngasih selamat. Apalagi yang Desember itu, kita yang salah paham dan malah berantem. Kalian juga sih, ultah pas liburan dan bareng pula. Masa iya lima orang deketan ultahnya. Nah, sulit buat aku sama dua yang lain ngasih kejutan. Kita bertiga udah buat rencana dari jauh-jauh hari juga. Tapi belum terlaksana sampe sakarang. Sampe aku ultah lagi. Uhuuu sorry. Mungkin PKL di Bali bulan depan kami bisa melancarkan segalanya. See you.
Eh hampir kelupaan. Rumahku sekarang bukan yg dulu. Hal ini aku kaget. Masa setiap mau pulkam dilarang. Heladalah ternyata rumahnya dibongkar. Katanya acara pemerintah tapi yg datang ya orang-orang itu. Soal itu ada cerita tersendiri. Sudah ah, semakin malam. Besok kuliah isuk.
Eh, semoga ga temen-temenku ga ada yang baca. Semoga.
Thanks God. Happy tweenty one.
Selasa, 26 Maret 2019
Tak ada yang spesial hari ini, atau pun besok. Asal tahu saja, 21 tahun yang lalu aku lahir. Haha, menyedihkan. Ah, sebenarnya tidak. Biar kuceritakan kisah-kisah di tanggal keramat itu, 26.
Beberapa jam dari sekarang, dua puluh satu tahun yang lalu aku lahir di rumah sakit jalur eksklusif. Operasi. Jangan dipikir keluarga kami kaya. Ayahku seorang supir taksi di Surabaya, padahal kami tinggal di Banyuwangi. Entah seperti apa kerja keras ayah dulu, yang jelas, untuk membawaku ke rumah reot kami, ibu harus meminta sawah nenek yang harusnya jadi warisan dikemudian hari.
Tentang rumah, itu hanya kotakan dengan gedek pada keempat sisinya. Di dalam hanya ada sebuah ruang besar dan satu bilik kecil berisi dua kasur. Bilik itu biasa disebut kamar. Di dalamnya penuh sesak dengan gombal dan macam-macam yang lain. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingat kejadian di rumah itu. Tapi dalam album foto yang menampakkan aku dan kakak laki-lakiku, aku tahu ada TV tua dengan tombol-tombol besar di sisi kirinya, ada di atas kasur juga. Berbagai macam kalender dan koran tertempel di dinding bambu itu. Juga poster alfabet, nama-nama buah dan nama-nama binatang. Kata ibu, biar nggak ada yang ngintip kita dari luar. Bisa bayangin dong, seberapa besar lubang dari anyaman bambu itu.
Aku dengan lancangnya, lahir di tengah krisis dan menghabiskan banyak biaya. Nenek memang bukan dari keluarga kaya, tapi jika aku melihat paman atau bibi yang punya harapan padasawah mereka aku jadi menyesal. Kenapa aku lahir dengan demikian? Sawah keluargaku, ya aku.
Ayah memang ingin punya anak perempuan. Terang saja, ketiga kakak dan kakak kandungku yang tiada saat dikandungan, semuanya laki-laki. Haha, benar. Ibuku istri kedua ayah setelah bercerai dengan ibu kakak laki-laki yang tumbuh bersamaku sekarang. Kakak yang ada di album tadi. Cerita tentang itu sangat rumit. Lain kali saja.
Sebenarnya, aku tak ingat detail kejadiannya. Menurut potongan-potongan cerita dari sanak dan tetangga, setelah berhenti menjadi supir taksi di Surabaya, beliau bekerja sebagai selep keliling, orang yang mengambil gabah dari rumah ke rumah dan membawanya ke pabrik selepan untuk diolah menjadi beras siap masak. Sangat sedikit memori yang ada saat itu. Hanya sebuah rumah reot dan halaman yang luas, kolam dengan sekat untuk mandi serta kambing kecil yang diikat di belakang rumah. Ah, untung saja ingatanku tidak tajam. Jika iya, maka air mata ini pasti meleleh.
Mungkin umurku empat tahun saat itu, yang jelas aku memakai seragam hijau dengan dalaman putih selutut. TK. Rumah kami pindah. Dari yang awalnya di sebelah kanan rumah budhe jadi ke seberang jalan, jauh di kiri rumah budhe. Rumah baru kami bertetangga dengan bulek. Budhe dan bulek adalah saudara-saudara ibu.
Jangan dipikir pindahnya kami adalah sebuah penyelesaian di cerita ini. Tidak. Konflik saja belum muncul. Aku kuat menjabani cerita ini dengan mata terkantuk-kantuk daripada mengerjakan tugas Kajian Drama untuk besok pagi. Rumah baru itu tidak jauh beda dengan yang lama. Hanya saja setengah ke bawah dindingnya dari bata. Nah, sisanya anyaman bambu juga, haha.
Tapi, entah mengapa rumah itu sangat nyaman. Sangat-sangat aku rindukan. Tak jelas seperti apa bentukan rumah di awal kami menempatinya yang jelas, lebih baik dari sebelumnya. Apalagi, dari waktu ke waktu, rumah itu dipernyaman dengan tembok bata yang disemen (entah apa namanya) dan dicat sekalian bambu-bambunya. Juga, lantai tanah yang diperhalus dengan semen. Rumah itu adalah rumah ternyaman dalam benak bocah SD.
Waktu terus berlalu. Umurku kian hari kian bertambah. Ayah dengan pekerjaannya di KUD sebagai supir elf atau bis mini, lancar-lancar saja. Setelah wara-wiri coba sana sini, kirim muatan ke luar kota, nyetir tronton yang akhirnya njeglong di depan rumah dan lain-lain, beliau bertahan lama di travel KUD itu. waktu-waktu itu adalah saat bahagia. Saat di mana setiap kali aku ulang tahun selalu diajak makan di luar serta mengajak seluruh keluarga besar dengan bis mininya. Yah, walalupun sebatas warung ayam pedas, bakso, sate atau nasi goreng, aku senang. Apalagi, rezeki seperti itu selalunya ada ketika ulang tahunku. Kalian tahu saja, selalunya saat kakakku yang ulang tahun, ekonomi keluarga kami seret.
Bertambahnya usia membuat aku semakin berpikir luas. Di penghujung masa sekolah dasar, KUD tempat ayah bekerja koleps. Ayah mengantar orang dengan bus mini itu bukan lagi order dari KUD melainkan koneksi ayah sendiri. Saat itu juga ibu punya warung toko yang digelar di ruang tamu. Jadi ruang tamu kami menyusut 50 %. Pikirku masih senang saja, bisa jajan gratis. Padahal, warung itu berisi dagangan bibi yang harus gulung tikar karena melahirkan sepupuku. Aku yang nakal masih saja memanfaatkan hal itu. Comot jajan saat ibu lengah. Apalagi saat di rumah sendiri, aku leluasa berbuat dosa. Pergi ngaji ke masjid diam-diam bawa jajan dan membagikannya ke teman-teman. Pun, ketika kakak yang waktu itu SMP dan jajan tidak pernah sampai lima ribu sehari, aku selalu mengambil paling tidak tiga sampai lima lembar uang dua ribuan. Tentu tanpa sepengetahuan ibu. Jahatnya aku.
Lama-kelamaan aku sadar. Kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik. Ayah punya banyak hutang di KUD sehingga sulit untuk berhenti dan warung toko itu tidak berjalan lancar--gara-gara aku? Selain itu, mataku juga terbuka. Di mana lagi ada rumah yang dindingnya masih bambu selain rumahku? Di mana lagi tetangga yang mandi masih di kubangan air dengan bilik di belakang rumah? Tak ada. keluargaku tertinggal. Status itu menempel jelas.
Bisa melanjutkan sekolah ke SMPN dekat rumah adalah sebuah keberuntungan. Pasalnya, aku yang selalunya ada di tiga besar, tiba-tiba saja mendapat nilai UN tiga terendah. Untung rapot bisa menolong. Di sana, aku mendapati kesedihan semakin terasa. Bahkan, ibu tak mampu membelikan buku tulis. Aku memakai buku sisa-sisa pelajaran SD. Sangat berbeda dengan masa SDku dulu. Saat di SMP juga, ayah pindah ke KUD lain yang lebih jauh. Di sana, ayah menjadi supir umum dengan gaji minim. Ayah tidak keberatan karena hutang-hutang di KUD sebelumnya ditanggung KUD baru itu. Hal itu membuat ibu turun tangan. Ia bekerja di Banyuwangi kota yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Singkat saja, selama ibu bekerja di sana, aku hanya pernah mengunjunginya sekali. Yang sangat terbekas di memoriku adalah saat-saat ibu pulang. Ingat betul saat itu aku tengah menonton The Moon That Embresses The Sun di kamar. Tanpa bilang apa-apa dia pulang. Sayangnya, alasan kepulangan ibu karena sakit telinga.
Ulang tahun ke 13, 14 dan 15-ku selalu diucapkan oleh seorang kawan. Teman yang kudapat saat kelas tujuh itu, lahir sehari sebelum aku. Kami selalu saling memberi selamat. Begitupun sekarang, ah tadi. Aku menginboxnya dari FB. Dia teman terpandaiku di SMP. Dia juga dari keluarga berada. Tapi sayang, dia memutuskan untuk menjadi ibu. Emh, tak apa sih, ehehe.
O iya, di kelas sembilan, ulang tahunku bertepatan dengan UN. Dan kalian tahu, terlepas dari segala tekanan masa SMP, nilai UN-ku lumayan. Empat besar dari hampir dua ratus siswa. Nilai itu membawaku masuk ke SMAN favorit di daerahku.
Kisah berlanjut. Cita dan cita masih terus kubangun. Setiap tanggal dua puluh enam maret, seperti biasanya, aku menuliskan segala harapku. Hanya tentang mimpi dan mimpi. Ya, aku terus bermimpi dan bermimpi.
Mimpiku untuk mengenakan seragam abu-abu berujung di tempat ini. Meski harus menunggu satu tahun setelah kelulusanku, tak apa. Toh, semua juga salahku. Ya, jika tidak pun mungkin karena takdir, kehendak Tuhan.
Sebelum sampai di sini, ada keseruan yang kulewati. Bekerja. Sebelum bosan dengan kegiatan menonton drama korea dan mengetik novel di kamar pengap tanpa jendela, aku tergerak untuk ke Bali. Di sana tempat mudah meraup pundi rupiah serta pengalaman. Dengan tawaran menggiurkan dari kakak sepupu, aku nekat ke sana. Menaiki motor dengan orang asing kenalan kakak itu. Tepat seminggu setelahnya aku pulang. Tak kuat. Hal mistis menjadi alibi mental recehku.
Di rumah aku dapat kado indah. Persetan dengan sweetseventeen, saat itu aku sudah umur delapan belas tahun dan rumah kami baru memiliki kamar mandi. Miris.
Setelahnya aku mendapat pekerjaan. Buruh di pabrik roti. Berat memang, tapi latar belakang pendidikanku yang lumayan dari mayoritas di sana membuatku sedikit berani berargumen. Namun, norma, jam terbang dan senioritas masih sering membungkamku. Apapun itu, aku gali sebanyak-banyaknya rupiah dari sana. dalam pikiranku, hanya ada sebuah smartphone yang belum pernah aku miliki dan tabungan untuk kuliah.
Di penghujung tahun 2016, aku mengajak kakak membeli ponsel. Saat itu tabunganku lebih dari cukup untuk membeli android seperti milik teman-teman di SMA dulu. Tapi, kakak masih melarang. Dia bilang nanti saja, terus begitu. Katanya beli yang mahal sekalian biar awet. Padahal waktu itu aku butuh. Ya buat main blog begini.
Akhirnya kakak kalah. Kami ke gerai ponsel dengan seorang keponakan yang mafhum dengan tetek mbengek begituan. Tabunganku terkuras habis. Dua setengah juta singgah di konter itu. Namun sayang, sepertinya konfik baru dimulai. Ponsel yang baru kudapat itu, hilang begitu saja. Ingat betul, saat itu tanggal 1 Februari.
1.20 (Pindah laptop karena yang sebelumnya eror)
Ya, kembali ke hari itu. Hari di mana aku akan bertemu teman SMA untuk mengambil uang bantuan yang dijanjikan dulu sekolah dulu du bank. Ternyata, tidak ada. Tidak ada dana itu, pun saat aku ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang kebetulan berkunjung untuk menyaksikan pensi dies natalies, semua seakan membuatku muak saja. Pikiranku kacau hari itu.
Aku dan seorang teman mampir ke warung bakso. Setelah sampai rumah, aku sadar hapeku hilang. Lagi-lagi seperti mimpi. Mendapatkannya seperti mimpi. Hilangnya pun seperti mimpi. Apa kabar berbagai draft tulisan yang kusimpan di sana? Foto-foto selama bekerja di pabrik? Rupiah dari keringatku ;( Apalagi waktu itu mendekati hari pernikahan kakakku. Sedih sekali saat aku sudah berangan-angan akan mengabadikan momen bahagia itu memori itu. Nyatanya, tetap saja air mata yang membanjiri. Ya, aku menangis di KUA. Bukan lagi karena ponsel itu, tapi karena merasa akan kehilangan kakak. Laki-laki kedua di hidupku.
Kembali ke titik masalah. Aku kembali menghitung-hitung tabungan. Cuma sedikit. Tak cukup bahkan untuk membeli hape baru murahan, apalagi membayar kuliah. Jadi, aku tunda rencana berhenti bekerja. Setidaknya aku harus menabung sedikit lagi untuk UKT awal.
Dan benar, semakin lama memang gajiku semakin bertambah. Pekerjaan tentu semakin muda karena jam terbangku tinggi. Bicara soal Maret, saat itu sudah masuk bulan Maret. Seorang teman kerja yang usianya jauh di bawahku tengan berulang tahun. Dia bekerja sudah sejak umur 15, berhenti sampai SMP. Ibunya meninggal setelah sakit-sakitan saat aku baru bekerja di sana dulu. Ia tidak pernah bertemu ayahnya dan tinggal bersama neneknya. Dia juga harus membiayai adik yang akan masuk SMA, itu tekatnya.
Ingat betul, saat itu kami kerja di shift malam. Aku sedang menjalankan mesin korin untuk mempacking roti dan dia jauh di belakang memilah hasil packing yang buruk. Seperti yang kubilang, latar belakang pendidikan sangat menentukan. Mesin korin yang kupakai ini dulunya dia yang menjalankan. Aku menatapnya, mengamatinya, tentu sambil bekerja. Dia menoleh dan tersenyum. Jam besar yang masih saja terlihat kecil di sisi tembok baru menujukkan angka dua belas. Aku membuka masker. Dan memainkan mulut berucap, "HeBiDi," Dia yang maskernya memang sudah terbuka tersenyum. Dia mengerti maksudku. Aku senang.
Kebimbangan untuk bekerja atau kuliah semakin menjadi. Namun, aturan pabrik yang tiba-tiba semakin rumit membawaku pada hengkang. Aku tak peduli dengan tabungan lagi. Aku hanya ingin diterima kuliah.
Dengan persiapan seadanya, aku berangkat. Setelah A,I,U,E dan O, esoknya aku pulang. Malam harinya aku merayakan segala yang telah aku lewati dengan menonton drama. Senang bukan kepalang, aku berdiri dan meloncat ke kasur, tanpa sadar headphone masih di telinga. Notebook yang aku gunakan saat ini jatuh bebas tanpa halangan. Sakit.
Tiga hari berlalu aku menyalakannya, tapi baterainya rusak. Biaya mengganti sekitar limaratus ribu. Ah, uang manalagi? Tapi, kalau aku tidak memperbaikinya, gimana aku mengerjakan tugas-tugas kuliah?
Aku lupa mana dulu, entah pengumuman lolos atau memperbaiki laptop, yang jelas aku lolos di tempat ini dan bateraiku baru. Namun sayang seribu sayang, masalah bukan hanya di baterai tapi di laptop ini sendiri. Luka yang kubuat masih membekas sampai sekarang. Dia sering mati kalau panas upss... Baterainya juga cepet habis. Sedih deh...
Belum setahun tingal di sini, aku menemukan banyak teman baru. Sebuah kejutan pertama aku dapat di umur duapuluh, tahun kemarin. Sehari sebelum hari H aku masih PJTD di luar kampus.Eh, pas tanggal 26 semua temen-temen santai aja gitu. Juga temen deketku dari SMA yang juga satu kampus. Apalagi badmood gegaa tugas.
Besoknya pas siang-siang, seorang temen bilang mau ngikut ke kos. Tumben sekali anak ini. Terus si temenku yang dari SMA ini bilang mau beli es batu dulu jadi kutinggal. Dan setelah kami masuk kamar, aku dan dua orang yang lain, ada ketukan dari gerbang. Empat orang temen termasuk si yang bilang beli es tadi bawa-bawa pisang goreng banyak dengan lilin gitu. Uhh.
Kejutan nggak berhenti. Malamnya ada kelas dan aku janji ke temen-temen buat pake rok. Sayangnya si temenku dari SMA ini ga ada kelas. Jadi dia ga bisa lihat dong. Eh, pas seorang temen minta tolong ngantar ke sekret, ke belakang, si temen SMA ini dari kegelapan kantin muncul dengan kue kecil-kecil dan lilin. Nangis dong akunya. My tweenty.
Untuk saat ini aku ga buat permintaan di blog. Cuma pengen nulis dan pas di hari ini aja. Buat ke tujuh temen kuliahku, thanks udah pernah bikin aku bahagia. Permasalahan yang sering kita alami itu ya jalan buat kita semakin deket. BTW, sorry buat yang ultah baru-baru ini aku nggak ngucapin atau ngasih selamat. Apalagi yang Desember itu, kita yang salah paham dan malah berantem. Kalian juga sih, ultah pas liburan dan bareng pula. Masa iya lima orang deketan ultahnya. Nah, sulit buat aku sama dua yang lain ngasih kejutan. Kita bertiga udah buat rencana dari jauh-jauh hari juga. Tapi belum terlaksana sampe sakarang. Sampe aku ultah lagi. Uhuuu sorry. Mungkin PKL di Bali bulan depan kami bisa melancarkan segalanya. See you.
Eh hampir kelupaan. Rumahku sekarang bukan yg dulu. Hal ini aku kaget. Masa setiap mau pulkam dilarang. Heladalah ternyata rumahnya dibongkar. Katanya acara pemerintah tapi yg datang ya orang-orang itu. Soal itu ada cerita tersendiri. Sudah ah, semakin malam. Besok kuliah isuk.
Eh, semoga ga temen-temenku ga ada yang baca. Semoga.
Thanks God. Happy tweenty one.
Selasa, 26 Maret 2019
Minggu, 03 Maret 2019
Aku dan Kisahku
Aku dan Kisahku part 1
Perkenalkan, aku si tidak
dikenal sedang memperkenalkan diri. Ya, sila sebut aku si upik abu atau figuran
karena pada kenyataanya aku ya begini-begini saja. Bahkan hal remeh yang
dimiliki setiap pecundang—bakat—tak akan pernah kumiliki tanpa keyakinanku
sendiri dan tangan Tuhan. Ah, pecundang.
Di sini, aku ingin berbicara
soal cinta. Topik klise yang tak ada matinya. Cinta, aku penasaran dengan kata
itu. Kenapa tak bisa pergi barang sejenak dari hidupku bahkan saat aku tak
punya cinta, tak pernah punya cinta. Padamu kuberitahu, aku bosan menghias
tulisan tak penting ini dengan kalimat indah. Kenapa? Karena pada akhirnya aku
sendiri yang akan mengagumi tulisanku. Bodoh! Bukannya bodoh yang bodoh hanya
saja aku bodoh!
Kembali ke cinta. Tak akan
aku membual macam caption cantik di setiap sosmed beridentitas aku. Muak tapi
penuh candu. Ya, begitulah setan. Datang dalam bentuk kenikmatan. Lihat saja
sekarang, karena bentuk tak kasat mata itu, produktivitasku menulis mencapai
nol persen! Cintaku hilang! Haruskah aku menyalahkan situasi seperti Spongebob
Squarepants yang mendramatisir hidupnya untuk menunda tugas dari Nyonya Puft?
Dia menyalahkan orang-orang disekelilingnya juga. Padahal apa? Semua
ketidakmampuan ya berasal dari dirinya sendiri.
Tiba-tiba saja aku
teringat pada Tere Liye. Ya saat itu aku sedang kacau. Tidak ada yang salah.
Hanya sisi internalku sedang rusak. Tak ada ide menulis. Otakku seluruhnya
terpaku pada kesenangan sesaat saat itu. Alasan yang sama, penuh ketakutan dan
kesakitan ketika aku mulai berpikir dan menggali ide. Sejenak melupakan
bagaimana manisnya ketika rekaan cerita terekam pada teks dan dengan senyum
mengembang, aku puas. Tidak waras waktu itu. Hingga kemalasan yang lagi-lagi
ditangani oleh Tuhan membawaku pada motivasi Tere Liye tentang menulis.
Semangatku kambuh. Sesaat. Dan bahkan masih pada tahap memikirkan saja,
perlahan semua kembali pudar.
Aku tahu tak ada usaha
yang menghianati hasil. Hanya berpikir realistis, aku yang sekarang tak sengoyo
aku yang dulu. Sontoloyo memang takdir. Membawaku pada cerita yang amburadul.
Bolehkan aku rindu pada tangis? Mungkin ada yang akan menjawab, “Silakan, tapi
ada baiknya kau rindu Tuhanmu dulu.”
Tuhan? Ya, kerinduanku
akhir-akhir ini belum juga terbayar. Aku sholat dan berdoa, tapi tak ada niat
tulus selain menggugurkan kwajiban—sepertinya. Cintaku pada Tuhan tergeser oleh
kesibukan tak penting di dunia fana ini. Persetan dengan niat abal-abal
berasaskan janji. Hanya perlu A dan B seterusnya menggila. Ah, dimana letak
cinta yang kumaksudkan tadi?
Oh iya, tentang aku dan
cinta akan kuceritakan pada kesempatan lainnya saja.
31 Januari 2019
Langganan:
Postingan (Atom)