Ha-lo. Hahaha :)
It's been a long time. Hahaha.
Halo lagi ya.
Ritual ini masih
sama. Narasi panjang yang harus ada di setiap tahunnya. Satu-satunya hal yang
bisa kulakukan untuk menyenangkan diri sendiri. Aku yang sejujur-jujurnya hanya ada dalam teks. Pada tulisan, aku telanjang.
Hmm, mari
hembuskan napas. Melihat kembali masa lalu, jelas akan memunculkan luka. Aku
hanya sedikit lara yang menghibur kesakitan lewat rasa sakit itu sendiri. Komedi
ya tragedi. Konyol sekali.
Dua puluh lima,
dua puluh enam, atau dua puluh tujuh, berapapun itu, tanggal-tanggal keramat di
bulan Maret selalu sukses membuat aku memikirkan kado apa yang tepat untuk
diriku sendiri. Dan tahulah kalian apa yang telah kudapat sekarang. Setahun
ini, tak lebih dari asa paksa tanpa jeda. Keluh dan peluh jadi gambar aneh yang
menjadi biasa saja. Ah, kenapa aku jadi bodoh begini? Kenapa aku sulit memahami
tulisanku sendiri? Apa aku tak bisa lagi jujur pada curahan yang aku tulis?
Atau bahkan aku terlalu jujur sehingga sulit melihat batas itu? Benarkah?
Tahun ini, aku
kehilangan banyak hal. Salah satunya, diriku sendiri. Aku bukan aku. Entahlah,
aku seperti terjebak pada jurang kesedihan. Kata seorang teman, aku hanya
mencari kambing hitam. Dari masalah-masalah yang dulu, aku terus mencari alasan.
Kenapa jadinya begini?
Sesal tak
berbuah apapun selain sesal. Perkara apa saja, aku telah kalah sepertinya.
Mengingat lebih jauh hanya sakit yang muncul. Membayangkannya ngeri. Betapa aku
telah hilang kendali. Apa ini yang namanya hidup? Dinamis? Lucu. Memperjuangkan
apa yang tak ingin kumiliki dan meninggalkan sebuah tujuan. Ya, ambigu memang.
Aku hanya bisa
tertawa di hari-hari menyebalkan ini. Tak ada kesenangan atau rasa syukur. Hati
dan pikiran telah bekerja sama untuk menjadikan fisik lemah dan otak tumpul.
Tak ada cermin untuk aku berkaca. Apa yang telah kudapat? Tak ada satupun
selain rasa sakit. Kesalahan yang terus terulang.
Bodoh! Menjadi
bodoh untuk mencari peruntungan. Menggadaikan waktu untuk mencari kebetulan.
Bertaruh dengan perasaan untuk mencari perasaan. Berjudi dengan diri sendiri
untuk mencari hal yang tak pernah pasti. Ah, celaka. Padahal semua bisa terjadi
begitu saja.
Saat datang
kehendak bahagia, pengaruh lain datang. Ya tentu yang berseberangan. Tak dapat
menolak, pikiranku telah terbajak oleh suatu hal yang masih kucaritahu, apa
itu. Meski ada kesadaran, tak ada tindakan. Hanya analisis dan analisis. Teori
dan perilaku. Pikiran dan pemikiran. Manusia dan manusia. Mati. Sampai kapan
akan begini? Sakit. Tuhan. Maaf, aku rindu, rindu sekali. Maaf lagi, doa-doaku
masih sebatas teks. Narasi berulang yang sangat singkat. Betapapun
menyebalkannya aku, mauku berlaku. Sebegitu murah nilai doa yang sedikit itu?
Atau mungkin aku saja yang berpuas diri dengan menyimpulkannya begitu saja?
Aku pernah
sangat kebingungan. Mencari jalan yang sebenarnya sudah ada di depan mata.
Haha, aku kehilangannya. Kesempatan dan waktu. Jadi, kenapa sekarang
seakan-akan aku ingin mengulang lagi? Atau mungkin hanya perkiraanku saja yang
berkata tengah mengulang lagi! Tapi nyatanya aku gelisah. Lagi dan lagi. Terus
menerus. Mimpi? Lebih parah. Mungkin hanya jadi mimpi dalam mimpi. Tuhan
mungkin saja sudah memberi banyak kesempatan. Untuk memperbaiki diri dan
membayar penyesalan. Tapi, aku terus saja larut dalam perasaanku sendiri.
Menjadi pesakitan nyatanya lebih menyenangkan. Ya, seperti kata temanku tadi.
Kambing hitam.
Awalnya kujawab.
Aku tak mencari kambing hitam. Aku hanya sedih, sesak dan kecewa. ‘Toh, Aries
bukan kambing hitam!’ Kelakarku pada diriku di pikiran. Lalu setelah banyak bla
dan bla, aku berpikir lagi. Benarkah demikian? Atau temanku itu saja yang salah
dan mempengaruhiku. Aku semakin bingung. Siapa yang bisa kupercaya? Jangan
jawab Tuhan. Ya aku tahu sebagai manusia beragama, percaya ya pada Tuhan. Maksudku,
saat kita hidup di antara beragam manusia yang serba-serbi ini, di mana kesahku
itu bisa kuletakkan? Aku tak kuat, aku tak mampu. Diriku tak cukup mampu untuk
kupercaya lagi. Karena itulah aku bertanya-tanya, siapa?
Aku ingin bebas.
Tidak hanya hidup yang terlihat bebas, tapi benar-benar bebas. Lepas dari
pikiran tidak penting. Keraguan dan analisa bodoh. Harapan yang kubuat sendiri.
Hahaha. Bagaimana bisa-bisanya aku terus berharap pada takdir jika dia selalu
saja menyakitiku? Katakanlah Tuhan yang berkehendak, tapi aku tak merasa
begitu. Kehendak Tuhan tak mungkin salah. Jadi, segala sikapku salah itu takdir
yang ikut campur. Oh! Jadi begini! Jadi ini yang namanya mengkambinghitamkan.
Ah, aku tengah mengkambinghitamkan takdir. Ah!
Sering aku sadar
tapi tetap melakukannya. Ah, lagi dan lagi.
Aku ingin
senang. Aku ingin bahagia. Paling tidak di hari kelahiranku.
Terlambat.
Ingatan pada Sabtu hanya sebatas kelabu. Tunda. Lain hari, aku berjanji lagi.
Sabtu, 28 Maret
2020 1.25 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar