Rabu, 08 April 2020

Aku dan Kisahku

Aku dan kisahku part 2

Halo April. 

Setelah yang lalu, berat hidup tanpa mengeluh. Sesak, terbelenggu kenangan. Ya pastinya tentang masa ter-unpredictable itu haha. Kadang, obatnya menulis. Meredam rindu yang enggak bisa diterkam, lewat teks agar dapat dijangkau mata. Ya tapi, mau sampe kapan? Aku ingin mencoba sejenak menahan komedi itu. Sama-sama mengenang, mungkin kisah asmara lebih menarik.

Mari berkelana ke masa lalu. Jika kuingat, pertama aku menulis di AKU DAN KISAHKU, adalah tentang cinta. Aku berjanji akan melanjutkannya. Jadi, baiklah, mari mulai.

Sebenernya tidak ada yang menarik dari kisah asmaraku. Jika tadi kubilang menarik, itu pemanis saja. Sok manis. Sok. Kupikir kisah cintaku tidak uwu, hanya keren. Ah, kayak punya kisah cinta saja. Apasihh???

Enggak tahu, sebenernya apa definisi cinta. Apa sih cinta? 

Tai dah. 

Oh, tidak. Padahal aku sering menganalisis. Ya pake teoriku. Pandangan dunia yang sebatas drama Korea ini jadi parameter kisah-kisah halu di pikiran. Tapi entah mengapa, aku merasa belum benar-benar merasakannya. Kadang berpikir, apa aku tidak normal? Atau hanya tidak sadar. Ah, mencoba tidak peduli mungkin.

Jika ditarik ke masa lalu, mungkin ada beberapa nama yang pernah terlintas di pikiran. Tapi mungkin hal yang kumaksudkan itu sebatas kisah cinta monyet. Atau persahabatan bocah yang bertemu hampir setiap waktu. Selama hampir enam tahun, pagi bertemu di sekolah, siang main bersama, sore mengaji bersama, malam les bersama, apalagi ketika Ramadhan. Serta ketika kami sama-sama akan lulus TPQ. Uh, malah nginep masjid juga. Kisah-kisah itu kini tinggal kenangan. Tanya saja, mungkin sebagian dari mereka telah lupa hukum ghorib atau cara membaca tajwid. 

Lupakan kisah itu, lanjut ke masa transisi lain. Di sekolah menengah pertama, benar-benar menjadi masa ter-----apa ya? Aku sudah kehabisan kata untuk itu. Awal yang manis ketika punya banyak teman. Ah, hampir semua temanku laki-laki saat itu. Para perempuan sibuk dengan sesuatu yang aku tidak mau tahu. Selama mereka mengajak bicara, aku iya-iya. Toh di kelas satu, aku banyak ilmu. Upss.

Waktu itu teman perempuanku hanya satu. Dia yang tanggal ulang tahunnya hanya berjarak sehari denganku. Selanjutnya, kami bersama-sama masuk ke kelas unggulan. Temanku yang lain, tidak. Kembali lagi berbicara cinta, temanku itu juaranya. Dia bercerita masa-masa pacarannya ketika sekolah dasar. Ah, bangsat! Bisa-bisanya ya. Tapi dia bilang, ketika masuk SMP dia ingin tobat. Baiklah, jadi dia bertemu teman yang tepat. Aku. 

Seperti yang pernah aku ceritakan di kisah sebelum-sebelumnya, kelas dua SMP adalah masa termenyebalkan selama itu. Ya, teman perempuanku itu juga menyebalkan. Aku tidak ingin membahas lagi masalah apa, yang jelas dunia sekolahan tak lagi menarik. Langsung saja di kelas tiga, yang di sana, tak ada apa-apa. Haha. 

Kelas tiga hanya penuh tekad untuk segera hengkang dari sekolah. Cinta? Tak ada. Mungkin ketulusanku menghormati guru kala itu, jadi imbal balik hasil yang lumayan memuaskan. Cintaku pada masa depan tersusun lewat setitik impian. 

Mungkin jika dibilang pernah tertarik, iya. Tapi, cinta? Ah sama sekali bukan. Biar kurangkum. Di masa itu, hanya ada dua nama. Mari ibaratkan A dan B. 

Aku dan A tidak saling mengenal. Yang kutahu tentang dia adalah sebatas nama lengkapnya, siapa teman-temannya dan di mana dia tinggal. Kala itu kelas satu. Kelasnya ada di sebelah kelasku. Tidak, aku tidak stalking. Bagiku, tak ada media untuk mengakses hal itu dulu. Hanya tahu. 

Si B? Ah, seorang teman yang selalu muncul di pikiran. Teman yang tidak dekat sama sekali. Mengobrol pun jarang. Tapi serius, tak ada hal lain selain tertarik. Biar kuberi tahu satu hal unik--atau aneh. Setiap pukul 3 sore, aku selalu menyempatkan berdiri di depan pintu rumah dan menunggu sesorang lewat. Si B, lewat mengendarai motornya dengan cepat. Ya, setiap jam 3 sore. Setahuku jalan ke rumahnya berlawanan arah dan tidak lewat depan rumah. Pun, rumah pacarnya--ya dia punya pacar--juga bukan ke arah itu. 

Tak ada kelanjutan. Ketertarikan sebatas rasa penasaran. Ya meski sampai sekarang pun aku tidak tahu ke mana dia--dan tidak penting, tapi sebuah konflik yang terjadi di kelas dua membuatku hilang respect dan benar-benar tidak peduli. Mungkin pernah sekali dua kali aku penasaran, di mana dia sekarang, dan bagaimana kabarnya. Namun, B seperti hilang ditelan masa. Tidak ada jejak. Bahkan aku tidak tahu di mana dia meneruskan sekolahnya. Pernah juga mencari medsosnya, ya hitung-hitung mempraktekkan kemampuan stalking. Tapi, nama uniknya tidak pernah ketemu.

Baiklah mari berlanjut ke kisah SMA. Suatu masa yang aku tunggu-tunggu kehadirannya. Namun jika membandingkan, kisahnya tak jauh-jauh dari hitam gelap kehidupan. Ah, berlebihan! Hahaha~

Di SMA, aku lebih berhati-hati mengambil sikap. Maksudnya, aku tidak mau ada tafsir aneh-aneh yang menjadikan trauma kelas dua SMP itu terulang. Meski aku masih jadi sosok yang fleksibel dengan kerecehanku, aku lebih membatasi diri. Maaf sebelumnya jika mungkin ada teman SMA yang membaca ini, tapi bukannya aku--atau kami--tidak mau masuk ke lingkup kalian--ah sekarang kata yang populer circle, tapi lebih ke pilihan saja. Frekuensi obrolan kita tidak sama. Maksudnya aku tidak bisa mengikuti arus gibahan kalian yang tidak ada gunanya bagiku. Ya mungkin--pasti sih--aku ada di list kalian. Tapi, biar sudah. Kalian juga ada di list gibah kami.

Ya kami. Satu hal yang kusyukuri ketika masuk SMA adalah RYFAR. Hahaha, aku ingin bercerita tentang mereka di lain kesempatan. Tapi kupikir-pikir lagi, cerita cintaku di SMA ya mereka--dan marching. 

RYFAR adalah gabungan inisal kami. Tiga tahun kelas bersama membuat kami semakin seperti keluarga--kebetulan salah satu dari mereka juga kerabat. Kami datang dari latar belakang yang berbeda. Jika dikotak-kotakkan, maka satu kelas kami hanya datang dari SMP-SMP negeri besar. Salah satunya, SMP-ku, SMP R, dan SMP Y. Tempat tinggal mereka kebanyakan dari lingkungan rumah F dan satu lagi dari tempat jauh di pucuk sana. Jadi intinya, kami (mungkin) berasal dari kumpulan terbuang. Haha. Atau menyeleksi diri. 

Obrolan kami tak jauh-jauh dari tugas sekolah, estrakulikuler masing-masing, gibah, sambat, dan hal-hal lain yang membuat kami senang. R yang pertama dengan kelolaannya, Y yang seperti Google berjalan, F dengan welas asih dan mudah terintervensi, R terakhir yang paling cemerlang dan polos, serta aku yang... seperti ini. Sayangnya, saat ini kami tak lagi berlima. R yang terakhir--dan memang paling muda, telah lebih dulu ke surga. 

Kalo masa SMA ini kalian menuntut kisah asmara, aku tidak yakin ada. Tiga tahun bersama orang-orang yang sama membuat kami sama-sama saling tahu dan biasa saja. Ya meski ada lambe-lambe julid seorang teman laki-laki yang membuat spekulasi masif, hal itu tidak menjadi benar. Hmm istilah lainnya sih, ciye-ciye. Selain itu, beberapa teman dekat laki-laki yang sikapnya kasar--saling kasar sih, membuat sebuah rasa susah muncul. Apalagi aku yang sering kena buli--ada yg serius ada yang bercanda, yang serius sih gak mau kubahas di sini, itu sensitif sekali, kalo yang bercanda, bahkan ada yang bikin aku nangis kejer anjirr. 

Gara-gara aku ikut marching, teman-teman meledeki. Tahu, aku dianggap maniak dan semacamnya. Padahal itu ga lebih dari tanggung jawab. Misal saja aku memang tidak tahu batas dan cara menggugurkan tanggung jawab, tapi bagiku waktu itu sulit untuk melepas. Apalagi aku sudah kadung cinta. Bahkan, saat efek marching membuat nilaiku jeblok--dan endingnya grafik rapot turun, aku tetap suka. That's enough.

Hm, apa mungkin menunggu kisah A dan B yang lain? Ah, mari aku buat seakan kisah itu ada. Jadi, aku harus mengkisahkannya seambigu mungkin. Ya mau bagaimana lagi, lingkup pertemanan SMA-ku sedikit. Dan mungkin orang yang akan kukisahkan sangat dekat. Ciri, tanda dan semua hal tentang dia yang berhubungan denganku harus sangat detail. Jika ingin mengutarakan kisah sesungguhnya, maka akan susah. 

Here we go. Aku sampe mengobrak-abrik pikiran, berharap ada tokoh lain yang membuat aku tertarik. Bahkan, saat kuubrek manusia-manusia di tim marching, masih nihil. Paling-paling senior yang bikin dag-dig-dug karena ilmu yang mereka tularkan. Ya sudah A dan B yang tadi saja. 

Mari, memulai dengan A. Dia, teman. Saling kenal. Lumayan dekat, tapi jarang mengobrol karena dia pendiam. Terus, ah aku takut kebaca siapa orangnya deh :(

 eh, ini blog apa sih kok jadi kek buka aib. 

Haduh, balik lagi dah. Hm gimana ya. Sebentar. Hm. Jadi si A. Hm. Ah, bgst! Hm jadi si A. Em, terlalu complecated ah. Dari awal sampe akhir masa SMA ada terus keknya. Yodah, intinya yang bikin aku mungkin tertarik adalah karena sering ada serendipity gitu loh. Apa-apa dia, dia lagi dia lagi. And that's make me always thinking about him. And I think maybe I, ah enggak. Ada ending lain yang bikin ngakak sambil nangis. Kalo aku sudah punya nyali bakal aku ceritakan deh.

Oke, si B. Aku nggak kenal dari awal banget sih. Cuma tahu. Dia temannya temanku. Lalu, karena pas kelas dua sekolahan bikin majalah, aku ikut gabung. Nah, mulai sana aku kenal. 

Hiks keknya cuma beberapa temen cowok deh yang gabung. Elah, plis kalo ada temen SMA yang kejebak di tulisan gabut gegara corona ini, plis pergi. Atau engga pura-pura ga tahu ya. And this is just a little bit of memories. Just memories!

Oke, kenapa aku tertarik sama B? Mungkin, karena ga banyak cowo yang tertarik ngurusin majalah. Juga, pribadinya yang kalem dan pendiam bikin aku penasaran. Apalagi, waktu itu hampir kelas tiga yang artinya, hidup gue kok gini-gini amat. Majalah pertama selesai. Karena orang baru, di majalah kedua baru aku berkontribusi lebih banyak. Ya liputan dan nulis berita--saat itu cuma jadi jurnalis abal-abal, ga ada yg ngarahin. Ya ngisi rubrik teka-teki, bikin cerpen, ngasih ide rubrik-rubrik baru dan editing. Lainnya, prihal layout, softnews dan lain-lain dikerjain doi, dan seorang temen lagi. Gak tahu sih gimana susunan organisasi itu, kayaknya yg jalan kami bertiga aja. Aku sebagai kuli tinta udah seneng aja gitu ambil bagian. Kayak di marching pun aku ga pernah masuk susunan pengurus. Cuma player cadangan, player, dan pro player hehe. Dan tahu, apa yang bikin aku nyesek di majalah itu? Namaku ga masuk susunan redaksi! Di penulis beritanya juga ga ada! Satu-satunya cuma ada di sebuah cerpen yang ternyata temen editor lain salah sangka jika kisah di dalamnya antara cewek dan cowok. Padahal itu tentang persahabatan, cowok semua. Jadi illustrasinya nyeleneh dari mauku. Mana ga ada editing bersama. Ah, saat itu aku masih kurang peduli dan bodoh. 

Ya balik lagi ke si B. Setelah majalah kedua terbit responnya tidak begitu buruk. Ga seburuk sebelumnya sih. Terkesan bagus. Tapi itu untuk orang-orang yang cuma lihat coverannya sih. Lalu? Hubungan sama si B masih sekedarnya. Sekedar menyapa, saling bertanya dan ke BK bersama. Ehe, bertanya seputar kampus. Tapi, dasar ya aku yang membatasi diri, setelah tidak ada kepentingan, ya sudah. Interaksi sosmed pun nol. Ya gimana ya, mau ngapain juga, hehe. Aku menutup kemungkinan untuk dia membaca tulisan ini karena lingkup kami yang berbeda. Dia ada di kampus yang sama tapi dengan fakultas yang berlainan--fakultas yg kami ingin ambil dulu. Apalagi aku masuk kuliah setahun setelah dia. Pernah sekali kami bertemu di warung mie ayam tersohor di daerah kampus--wah spesifik sekali--dan biasa saja. Sekali lagi aku menutup kemungkinan dia membaca ini. Hidupnya mungkin dipenuhi aksi wqwq. Dan satu hal lagi, kesadaran tentang aku yang tertarik itu, datangnya sangat terlambat.

Wah, ini kisah terpanjang di blog ini. Padahal ada satu lagi. Satu orang. Tidak bisa diinisialkan A atau B karena dia satu-satunya dan selama ini pun hanya inisial. Kupanggil R, karena seningatku namanya diawali huruf R. Tidak kenal dan tidak saling kenal. Hanya, ah mari bikin janji. Di bagian selanjutnya akan kuteruskan tentang dia serta kisah A dan B lainnya. Present. 

Ini sudah lebih dari sepuluh ribu karakter, cerpen kompas saja masih kalah panjang. Eh, satu lagi. Kalo misal dibalik, apa ada yang cinta atau tertarik sama aku? Ah, itu lain cerita.

Selasa 7 April 2020

1 komentar: