...
Cukup lama waktu kami menunggu sebelum dua porsi sate kambing tiba. Maklum,
masih pagi. Warungnya juga baru buka. Banyaknya waktu menunggu, pastinya tak
kusia-siakan. Aku suka mengobrol, begitupun beliau. Sayangnya, aku pelupa. Aku
tidak ingat kami mengobrol apa saja waktu itu.
Setelah makan selesai, bapak memintaku membayar. Hahaha, beliau bergurau.
Tapi, pikirku itu wajib karena sebelumnya aku bilang aku punya uang dan akan mentraktir
bapak. Tapi setelah tahu harganya mentok ke uang yang kubawa saat itu, aku
urung. Di mobil aku mengomel. Kebiasaanku dari dulu selalu menghitung harga.
Apapun itu! Setiap kali bapak pulang bawa barang, makanan, atau apapun itu aku
tanya harganya. Kalau mahal ya aku marah, eh, lebih ke kesal sih. Padahal, mau bagimana
juga aku menerima apapun yang dibawa bapak.
Perdebatan mengenai itu tidak berjalan lama. Bapak bilang tidak apa, toh
bapak yang membayar. Aku sendiri diam. Perutku mulai mual dan aku pikir, sudah
lama sekali kami tidak makan di luar—tentu, bertemu saja jarang.
...
Sesampainya di rumah Ristin,
kami disambut kedua orangtuanya. Ibu Ristin mencoba mengingat nama kami satu
per satu—dan tentu saja beliau tak lupa nama-nama RYFAR, sedang ayahnya
tersenyum lebar penuh ketegaran. Sesaat kemudian, saat kami telah duduk di
karpet panjang yang digelar karena kursi-kursi di ruang tamu tak cukup
menampung jumlah kami, suara ibu Ristin mulai parau. Ia menceritakan sebuah
kisah yang sama-sama kami telah ketahui.
Ristin telah meninggal. Hari
itu tepat seratus harinya. Aku jarang menyebut dia almarhumah karena kupikir
aneh, ini seperti tidak nyata. Kami yang jarang bersama membuat aku tidak bisa
percaya jika sosoknya telah tiada. Ristin, selalu menjadi pelengkap kami. Entah
di dalam RYFAR atau pada lingkup pertemanan yang lebih luas, dia selalu ada.
...
Pencarianku masih berlanjut
hingga aku menemukan sebuah tas plastik berisi kertas-kertas. Kupikir, itu
salah satu milikku. Ternyata bukan. Kertas-kertas di dalamnya lebih usang.
Warnanya pudar. Kuambil beberapa amplop di dalamnya. Salah satunya ada surat
dari sepupuku yang di sana tertuliskan jika kala itu ia tengah berada di Jawa
Tengah. Yang membuat aku takjub adalah kata-kata puitis di dalamnya. Sungguh
lucu jika membayangkan kata-kata itu keluar dari dia saat ini. Jiwa nostalgiaku
muncul. Aku berdiri untuk mengunci pintu kamar. Kemudian menumpahkan seluruh
isi tas plastik itu ke tempat tidur. Tidak begitu banyak. Lainnya hanya
amplop-amplop dan kertas-kertas kosong berwarna merah muda. Sepertinya itu stok
amplop milik ibu.
Aku mengambil sebuah buku
catatan yang juga muncul dari sana. Kubuka pelan. Kertas-kertas menguning di
dalamnya sangat kasar dan kaku. Sekali lihat aku tahu milik siapa itu. Tulisan
tangan ibu yang rapi membuatku selalu iri. Buku catatan itu berasal dari tahun
1988. Melihat betapa berharganya isi tulisan-tulisan itu, aku urung membaca
dan mengambil amplop-amplop yang terselip di dalamnya. Surat dari bapak.
...
Banyak yang kami obrolkan setelah perang dingin yang sedingin malam itu.
Pasien-pasien selajutnya berdatangan. Sedang anak kecil tadi sudah masuk dengan ibunya. Seorang kakek-kakek yang baru datang duduk di kursi depan kami. Bapak memulai obrolan dengan kakek yang belum begitu tua itu. Setelah saling mengenalkan diri, lagi-lagi bapak menawarkan untuk kakek itu masuk lebih dulu. Aku hanya tersenyum melihat kebaikan bapakku ini.
Sesaat kemudian datang pasien anak-anak lainnya. “Itu, nggak sampean tawarin lagi?” sindirku. Bapak mengalihkan pandangannya ke arahku, sangsi, lalu menaikan kaki untuk separuh bersila di kursi kayu yang kami duduki. “Enggak.” Jawab beliau singkat.
...
Dengan tawa khasnya, Pak Eko berkata jika pintu DSB selalu terbuka untuk
siapa saja yang ingin bergabung. Aku merasa senang sampai beliau menambahkan,
“Nah ini, kebetulan sekali ada mbak-mbak dan mas-mas DSB di sini.”
Apa? Aku mengamati orang-orang yang berada di ruangan itu. Pantas saja
sepertinya wajah mereka tidak asing. Mereka itu para pengurus DSB. Oh, Tuhan.
Entah mengapa, malu rasanya. Bukannya datang ke para pengurus tapi malah ke
pembina. Bersama bapak apalagi. Aku merasa benar-benar payah. Jika
diingat-ingat sungguh memalukan.
...
Ah, aku memang selalu memikirkan kemungkinan terburuk, tapi aku tetap melakukan
segala hal seakan semua baik-baik saja. Gunung imaji yang akan kulalui, masih
terlampau kecil dari apa yang bisa kubayangkan. Sebuah tanggung jawab yang
tidak tanggung-tanggung kuterima dengan penuh kesadaran yang kurang pintar.
Kemauan dan kemampuan. Memberi dan menerima mantra-mantra yang tidak pernah
kurapal sehingga tak mempan. Percaya jika semua orang sebaik diriku. Percaya
jika semua orang juga sejahat aku.
Sayang, tega benar takdir membuat aku
tertawa riang saat aku tersesat. Perjalanan yang sangat menyesakan. Setidaknya,
sampai detik ini, sebanyak apapun kesenangan yang kudapat di sana, ada rasa
sakit yang tak akan pernah hilang. Luka-luka yang penuh ketakutan. Pening hati
dan ngilunya kepala, tak ada habisnya. Dan sebanyak apapun narasi sakit yang
benar-benar menyatu dalam diri, si bodoh ini tidak pernah menyesal. Hanya untuk
yang satu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar