Sabtu, 11 Juli 2020

THROWBACK 1



...

Cukup lama waktu kami menunggu sebelum dua porsi sate kambing tiba. Maklum, masih pagi. Warungnya juga baru buka. Banyaknya waktu menunggu, pastinya tak kusia-siakan. Aku suka mengobrol, begitupun beliau. Sayangnya, aku pelupa. Aku tidak ingat kami mengobrol apa saja waktu itu.

Setelah makan selesai, bapak memintaku membayar. Hahaha, beliau bergurau. Tapi, pikirku itu wajib karena sebelumnya aku bilang aku punya uang dan akan mentraktir bapak. Tapi setelah tahu harganya mentok ke uang yang kubawa saat itu, aku urung. Di mobil aku mengomel. Kebiasaanku dari dulu selalu menghitung harga. Apapun itu! Setiap kali bapak pulang bawa barang, makanan, atau apapun itu aku tanya harganya. Kalau mahal ya aku marah, eh, lebih ke kesal sih. Padahal, mau bagimana juga aku menerima apapun yang dibawa bapak. 

Perdebatan mengenai itu tidak berjalan lama. Bapak bilang tidak apa, toh bapak yang membayar. Aku sendiri diam. Perutku mulai mual dan aku pikir, sudah lama sekali kami tidak makan di luar—tentu, bertemu saja jarang. 

...


Sesampainya di rumah Ristin, kami disambut kedua orangtuanya. Ibu Ristin mencoba mengingat nama kami satu per satu—dan tentu saja beliau tak lupa nama-nama RYFAR, sedang ayahnya tersenyum lebar penuh ketegaran. Sesaat kemudian, saat kami telah duduk di karpet panjang yang digelar karena kursi-kursi di ruang tamu tak cukup menampung jumlah kami, suara ibu Ristin mulai parau. Ia menceritakan sebuah kisah yang sama-sama kami telah ketahui. 

Ristin telah meninggal. Hari itu tepat seratus harinya. Aku jarang menyebut dia almarhumah karena kupikir aneh, ini seperti tidak nyata. Kami yang jarang bersama membuat aku tidak bisa percaya jika sosoknya telah tiada. Ristin, selalu menjadi pelengkap kami. Entah di dalam RYFAR atau pada lingkup pertemanan yang lebih luas, dia selalu ada.

...

Pencarianku masih berlanjut hingga aku menemukan sebuah tas plastik berisi kertas-kertas. Kupikir, itu salah satu milikku. Ternyata bukan. Kertas-kertas di dalamnya lebih usang. Warnanya pudar. Kuambil beberapa amplop di dalamnya. Salah satunya ada surat dari sepupuku yang di sana tertuliskan jika kala itu ia tengah berada di Jawa Tengah. Yang membuat aku takjub adalah kata-kata puitis di dalamnya. Sungguh lucu jika membayangkan kata-kata itu keluar dari dia saat ini. Jiwa nostalgiaku muncul. Aku berdiri untuk mengunci pintu kamar. Kemudian menumpahkan seluruh isi tas plastik itu ke tempat tidur. Tidak begitu banyak. Lainnya hanya amplop-amplop dan kertas-kertas kosong berwarna merah muda. Sepertinya itu stok amplop milik ibu.
 
Aku mengambil sebuah buku catatan yang juga muncul dari sana. Kubuka pelan. Kertas-kertas menguning di dalamnya sangat kasar dan kaku. Sekali lihat aku tahu milik siapa itu. Tulisan tangan ibu yang rapi membuatku selalu iri. Buku catatan itu berasal dari tahun 1988. Melihat betapa berharganya isi tulisan-tulisan itu, aku urung membaca dan mengambil amplop-amplop yang terselip di dalamnya. Surat dari bapak.

...

Banyak yang kami obrolkan setelah perang dingin yang sedingin malam itu.

Pasien-pasien selajutnya berdatangan. Sedang anak kecil tadi sudah masuk dengan ibunya. Seorang kakek-kakek yang baru datang duduk di kursi depan kami. Bapak memulai obrolan dengan kakek yang belum begitu tua itu. Setelah saling mengenalkan diri, lagi-lagi bapak menawarkan untuk kakek itu masuk lebih dulu. Aku hanya tersenyum melihat kebaikan bapakku ini.

Sesaat kemudian datang pasien anak-anak lainnya. “Itu, nggak sampean tawarin lagi?” sindirku. Bapak mengalihkan pandangannya ke arahku, sangsi, lalu menaikan kaki untuk separuh bersila di kursi kayu yang kami duduki. “Enggak.” Jawab beliau singkat.

...

Dengan tawa khasnya, Pak Eko berkata jika pintu DSB selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung. Aku merasa senang sampai beliau menambahkan, “Nah ini, kebetulan sekali ada mbak-mbak dan mas-mas DSB di sini.”

Apa? Aku mengamati orang-orang yang berada di ruangan itu. Pantas saja sepertinya wajah mereka tidak asing. Mereka itu para pengurus DSB. Oh, Tuhan. Entah mengapa, malu rasanya. Bukannya datang ke para pengurus tapi malah ke pembina. Bersama bapak apalagi. Aku merasa benar-benar payah. Jika diingat-ingat sungguh memalukan. 

...

Ah, aku memang selalu memikirkan kemungkinan terburuk, tapi aku tetap melakukan segala hal seakan semua baik-baik saja. Gunung imaji yang akan kulalui, masih terlampau kecil dari apa yang bisa kubayangkan. Sebuah tanggung jawab yang tidak tanggung-tanggung kuterima dengan penuh kesadaran yang kurang pintar. Kemauan dan kemampuan. Memberi dan menerima mantra-mantra yang tidak pernah kurapal sehingga tak mempan. Percaya jika semua orang sebaik diriku. Percaya jika semua orang juga sejahat aku. 

Sayang, tega benar takdir membuat aku tertawa riang saat aku tersesat. Perjalanan yang sangat menyesakan. Setidaknya, sampai detik ini, sebanyak apapun kesenangan yang kudapat di sana, ada rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Luka-luka yang penuh ketakutan. Pening hati dan ngilunya kepala, tak ada habisnya. Dan sebanyak apapun narasi sakit yang benar-benar menyatu dalam diri, si bodoh ini tidak pernah menyesal. Hanya untuk yang satu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar